Petani Berkuasa
Seorang gadis berusia 25 tahun bernama Joan sedang asyik bermain game di komputer pada sebuah cafe langgannannya tanpa menyadari bahwa seseorang yang sesungguhnya adalah rekan kerja yang selama ini dipercayainya sudah mempersiapkan rencana untuk membunuhnya.
Rekan kerjanya sudah memasang bom pada tempat-tempat tertentu di dalam cafe tersebut, karena Joan terlalu asyik bermain, dia tidak menyadari bahwa orang-orang di dalam cafe itu sudah meninggalkan tempat itu sehingga ia sendirian di tempat itu.
Tiba-tiba.......
"Blar......."
Ledakan yang kuat mengguncang tempat itu, Joan hanya sempat melihat dengan mata yang terbelalak saat melihat ledakan yang sangat kuat yang segera menghancurkan tubuhnya bersama seisi ruangan tersebut...
Tubuh Joan tercabik-cabik oleh ledakan tersebut dan darah yang mengalir itu membasahi liontin giok yang ada pada kalung di leher nya yang jenjang.
Sebuah sinar yang menyilaukan mata terpendam dari liontin giok tersebut bercampur dengan asap dari ledakan bom tersebut.
"Ahh"
.Rasa sakit yang kuat mengguncang kepalanya. Gadis kecil berusia 12 tahun itu berjongkok dan menaruh kepalanya di antara kedua kakinya sedangkan kedua tangannya memegang kepalanya untuk melindungi dirinya dari pukulan bertubi-tubi dari tongkat kayu yang diarahkan oleh seorang wanita paruh baya kepadanya
"Dasar pencuri kecil, tidak tahu malu. Rasakan ini, biar kamu tidak berani pagi melakukannya lain kali"
Semua orang yang ada di sana memandang gadis itu dengan belas kasihan tetapi tidak ada seorangpun yang berkomentar atau mencoba menolongnya kecuali seorang gadis kecil yang hampir sebaya dengan dia yang menarik baju wanita itu dengan menangis dan mencoba untuk membuat wanita itu berhenti memukuli gadis itu....
"Ibu berhenti, Joan tidak salah. Aku yang menyuruhnya untuk mengambil sisa-sisa padi itu".
Tetapi wanita itu tidak mau mendengarkan kata-kata anaknya malah semakin keras ia mengayunkan tongkatnya ke kepala anak itu...
Kepala anak itu mulai berdarah dan tidak lama kemudian anak itu terkulai lemas dan tergeletak di tanah yang basah itu.
Melihat anak gadis itu sudah terbaring di atas tanah, wanita itu membuang tongkat nya dan sambil mengutuk, dia menyeret anaknya yang terus menangis untuk pulang kembali ke rumah nya.
Anaknya memandang teman gadisnya yang terbaring di tanah dengan tidak berdaya. Dia mau memberontak dan melepaskan diri dari tangan ibunya tetapi kekuatannya tidak cukup sehingga dengan terpaksa dia mengikuti langkah ibunya yang menyeretnya pergi.
Segera orang-orang yang menonton kejadian itu bubar dengan sendirinya tetapi sebelumnya seseorang yang mengenal anak gadis itu segera berlari untuk memberitahu keluarga gadis itu.
Tidak lama kemudian seorang pria paruh baya berlari dengan tertatih dengan tongkat kruk yang membantunya berjalan dan menghampiri anak itu. Dia mengangkat tubuh yang lemah itu memondongnya dengan susah payah dan berjalan kembali ke rumah nya.
Di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Ibu dan dua anak laki-laki berusia 10 dan 9 tahun serta seorang anak gadis kecil berusia 5 tahun sedang menunggu mereka.
Mereka segera berlari menyambut ayah yang menggendong Joan dan ibu sambil menangis mengambil alih untuk menggendong Joan yang pingsan.
"Jun, cepat pergi panggil mantri Sun"; kata ayah kepada anaknya yang nomor dua.
Anak ke dua dengan cepat berlari seperti panah yang lepas dari busurnya ke rumah mantri Sun.
Tanpa berkata-kata ibu membawa Joan, membersihkan tubuhnya dengan air hangat, mengganti bajunya dan membaringkannya di tempat tidur.
Setelah selesai, ibu keluar dari kamar itu dan menemukan ayah dan ke tiga anaknya duduk di ruang tamu mereka yang kecil. Mereka sedang membicarakan kejadian yang menimpa Joan.
" Ibu Wang itu kok kejam sekali yah, memukuli kakak sampai seperti itu. Katanya, kakak mencuri padinya, padahal itu kan sisa-sisa padi yang jatuh dari gerobak sapinya"; kata anak ketiga yang namanya Jono.
"Sudah, tidak perlu membicarakannya lagi, itu sudah terjadi. Kalian jangan bermain dekat ladang Tuan Wang, nanti bibi Wang akan marah lagi'; kata ayah tidak berdaya.
"Iya, kita orang miskin, tidak bisa berperkara dengan mereka. Mereka justru akan memutarbalikkan cerita kalau kita melaporkan masalah ini ke kepala desa'; ibu berkata dengan pasrah.
Tidak lama mereka menunggu, mantri Sun yang disertai oleh anak ke dua yang mengekor berjalan di belakangnya dengan membawa tas perlengkapan tabib Chen.
"Terimakasih tabib Sun sudah datang, tolong periksa anakku"; kata ibu sambil memimpin mantri Sun ke dalam kamar.
Mantri Sun tanpa berkata apapun segera memeriksa tubuh Joan, menaruh jarinya di depan hidung Joan dan memegang tangan kanannya untuk memeriksa nadinya.
Mantri Sun mengernyit dan menggelengkan kepalanya.
Ibu yang melihat reaksi mantri Sun merasa takut dan gelisah.
"Ada apa mantri Sun, apakah dia dapat diselamatkan".
"Ya, mantri Sun, apa yang sebenarnya terjadi"; kata ayah menambahkan.
"Denyut nadinya sudah sangat lemah, mungkin dia tidak akan bertahan lama. Maafkan aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Kalian bisa bersiap untuk pemakamannya'; kata mantri Sun dengan lugas.
Mantri Sun adalah orang yang tidak suka bertele-tele dan apa adanya. Jadi dia tidak merasa bersalah dengan mengatakan hal itu.
Ayah terdiam sedang ibu dan ke tiga anaknya mulai menangis terisak-isak.
"Menangis lah tetapi tidak usah terlalu bersedih, mungkin ini yang terbaik baginya"; kata ayah mengingat bahwa Joan adalah anak yang terbelakang mental.
Meskipun selama ini kerjanya hanya bermain-main saja tetapi bagi mereka Joan adalah anak yang menyenangkan dan tidak menjadi beban bagi mereka.
Tapi ayah dan ibunya selalu mengkuatirkan masa depan putrinya, bagaimana dengan hidupnya saat mereka sudah tidak ada, jadi meskipun kematian Joan menyedihkan hati mereka tetapi mereka bisa menerima itu sebagai jalan terbaik yang diberikan Tuhan.
"Kalau begitu, aku akan pulang dulu dan tidak perlu membayar biaya pengobatan karena tidak ada yang kulakukan disini'; kata mantri Sun sambil berpamitan.
"Jun, antarkan tabib Chen kembali"; kata ayah kepada anak ke duanya.
Sambil sedikit terisak, Jun mengambil tas mantri Sun dan mengikuti mantri Sun kembali ke rumahnya sambil membawa tas perlengkapan mantri Sun.
Ayah dan ibu beserta anak ke tiga duduk di ruang tamu sambil terdiam, tidak ada seorangpun dari mereka yang berkata-kata.
Mereka mengingat kenangan dan kelucuan Joan, karena meskipun dia terbelakang mental tetapi Joan sangat rajin membantu ibunya dan tidak pernah merepotkan mereka.
Joan selalu berjalan kemana-mana kalau tidak ada hal yang dia kerjakan di rumahnya dan banyak tetangganya yang menyenangi anak itu karena Joan selalu tersenyum kepada setiap orang yang dia temui.
Joan memiliki wajah yang cantik dan manis dengan lesung Pipit di kedua pipinya, berkulit putih bagai giok.
Joan berteman baik dengan anak dari tuan Wang, yang bernama Meli. Meli berbeda dengan ibunya yang congkak, ia anak yang baik. Meskipun tahu bahwa Joan terbelakang mental namun dia tidak pernah membullynya bahkan seringkali kali membela Joan saat Joan diganggu teman yang lain
Saat Joan dipukuli ibunya, Meli lah yang membawa Joan untuk melihat pegawai-pegawai ayahnya yang sedang memanen padinya dan Meli mengajak Joan untuk mengambil sisa-sisa tangkai bulir padi yang berjatuhan di pinggir ladang.
Karena keasikan mengambil tangkai padi, Joan tanpa sadar mengikuti gerobak sapi yang mengangkut padi hasil panenan ke gudang padi milik tuan Wang.
Disanalah Joan bertemu dengan Nyonya Wang yang kemudian menuduhnya mencuri padinya dan memukulinya
Meli yang sadar bahwa Joan menghilang dan mengetahui Joan mengikuti gerobak sapi itu segera menyusulnya karena takut Joan akan bertemu ibunya.
Ketakutan nya terbukti dan Meli berusaha mencegah ibunya memukuli Joan.
Saat mereka sedang terdiam di ruang tamu, tuan Wang dan Meli datang mengetuk pintu mereka. Berbeda dengan isterinya, justru tuan Wang, orang yang ramah dan baik.
"Permisi, bapak dan ibu Joko, maaf saya mengganggu"; kata tuan Wang.
Ayah dan ibu serta anak ke tiga bangkit berdiri dari kursinya dan menyambut tuan Wang .
"Silahkan masuk tuan Wang, ada keperluan apa bapak kemari"; kata ayah sambil menahan emosi.
"Maaf, aku mendengar dari anakku kalau Joan dipukuli ibunya. Apakah Joan baik-baik saja"; tanya tuan Wang.
"Joan.....".; Ibu tidak lagi bisa menahan kesedihannya dan meraung meluapkan emosinya
Ayah segeralah memeluk ibu untuk menenangkannya
Tuan Wang terdiam, tidak bertanya-tanya lagi, dia mengerti apa yang sudah terjadi dari reaksi ibu Joan.
Tanpa berkata apa-apa, dia segera berbalik dan setengah berlari kembali ke rumahnya tanpa membawa Meli kembali.
Meli tanpa permisi lagi segera berlari ke kamar Joan dengan menangis. Ayah dan ibu tidak berusaha menghentikannya. Mereka hanya memandangnya pergi ke kamar Joan
Mereka tahu Meli juga pasti bersedih melihat sahabat baiknya pergi meninggalkannya .
Meli berlutut di samping tubuh Joan dan memegang tangan Joan dan menggoyang-goyangkannya sambil memanggil-manggil nama Joan.
"Joan-joan bangun, jangan menakuti ku. Ayo bangun, kita bermain bersama lagi"; seru Meli
Adik bungsu Joan di sisi yang lain juga memegang tangan Joan yang lain sambil menangis dalam diam, memandang wajah kakaknya yang cantik dengan berlelehan air mata ......
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Tiwi
keren
2024-08-18
0
@Intan.PS_Army🐨💜
aku balik lagi nie baca novel mu kak hihi
2024-03-13
1
Melia Siska
baru mulai baca sih,, kayaknya seru di lanjut boleeeh
2023-04-11
1