Mardo masih terkagum-kagum dengan penampilan Betty dan laki-laki yang disebut Pria Idola, ketika bahunya ditepuk. Seketika ia menoleh dan melihat wajah ramah yang tersenyum.
"Rupanya kamu di sini bersama Vana, yuk ke sana bersama teman-teman."
Richi mengajak Mardo dan Vana ke tempat di mana banyak teman yang berkumpul.
"Hei Mardo, Hei Vana."
Semua menyapa saat mereka datang. Mardo dan Vana membalas dengan senyum dan lambai.
"Alhamdulillah acaranya berjalan lancar."
Ketua panitia yakni putra kepala sekolah mereka, tersenyum bahagia. Ia dan teamnya saling berjabat tangan
dan berpelukkan. Ia
Ruangan itu adalah tempat para panitia berkumpul. Ada bang Mangara juga. Membuat Mardo tenang. Ia bisa pulang bersama bang Mangara nanti. Ia malah sudah menggamit tangan abangnya dan berpesan agar mengajaknya pulang jika ia sudah selesai. Abangnya hanya mengangguk.
"Mardo minumanmu."
"Oh, terima kasih Rich, aku sudah dapat snack tadi."
Tapi Mardo menerima juga gelas minuman dari Richi yang sangat perhatian. Beberapa waktu panggung
diisi oleh acara bebas. Mereka yang ingin menyumbangkan lagu dipersilahkan. Terdengar suara Betty
kembali bernyanyi. Lagu yang yang sedang digemari remaja saat itu. Mardo mengintip dari balik panggung, Vana juga ikut-ikutan.
"Keren ya Betty."
"Iya, dia banyak hapal lagu."
"Do, sebentar lagi aku pulang duluan ya. Adik-adik menungguku soalnya."
"Oh, nanti aku sama siapa Van? tunggu sebentar lagi."
"Ada Richi kan."
Vana mengerling, menggoda. Jelas kalau Richi sangat perhatian pada Mardo.
"Ich, aku pulang denganmu aja Van, sepertinya abangku pulangnya larut malam."
Akhirnya Mardo dan Vana memutuskan pulang, Richi mengantar mereka hingga pintu gerbang gedung pertemuan. Vana berbelok ke kiri sedangkan Mardo ke kanan. Ia berjalan sendirian ke rumahnya yang tidak terlalu jauh. Mardo
menyebrang dan berjalan di tepi. Tiba-tiba cahaya mobil menerpa tubuhnya, juga klakson. Gadis itu menolehi
orang iseng tersebut. Mobil yang lampunyanya menyilaukan itu berjalan menyusul dan berhenti dengan menutup
jalannya.
"Hello Mardo!"
Mardo tercekat, ia melihat laki-laki yang tadi bernyanyi dan bermain gitar bersama Betty turun dari mobil dan mendekatinya. Meski gelap dan sepi tetapi cahaya lampu mobil membuat Mardo mengenalinya.
"Masih ingat aku kan?"
"Iya, kamu yang di bandara waktu itu?"
Laki-laki itu tersenyum, "Yang menelponmu juga."
"Kenalkan namaku Raka Bramantyo."
Dia mengulurkan tangannya, sementara Mardo ragu dan malu. Tiba-tiba tangannya disentuh oleh laki-laki itu. "Mardo Prameswari kan?"
Laki-laki yang telah menggenggam tangannya, menyebut namanya dengan benar. Mardo menarik tangannya,
"Lepasin, aku harus pulang."
"Sebentar aja kok, kan katanya nggak mau nerima telpon kalau nggak kenal, makanya kita kenalan."
"Gimana penampilanku tadi, keren banget kan? gadis-gadis bersorak dan memanggil-manggilku, kamu juga ya? ayo ngaku, Keren dan ganteng kan?"
"Sudah malam, aku mau pulang."
Mardo tak mengomentari laki-laki yang bernama Raka itu. Tak mungkin dia bilang terus terang dihadapannya bisa-bisa tambah gede kepala.
"Wah! masa gitu! cowo ganteng gini, keren, idola gadis-gadis dikacangi sih."
Mardo membalikkan badannya mulai melangkah meninggalkan Raka yang terbengong.
"Gila tuh cewe cool banget, masa tak mempan dengan kegantenganku. Bikin penasaran aja."
Raka mengejar, "Tunggu dong, kuantarin ya. Banyak culik loh. Bahaya kalau jalan sendirian, diculik orang pedalaman baru tau."
Mardo terdiam dan menghentikan langkahnya, Ia sering juga mendengar kejadian yang menimpa para pendatang di tanah Papua. Entah benar atau tidak tetapi katanya ada suku pedalaman yang menculik dan menjadikan tawanan bahkan dibunuh dan dimakan. Terdengar sangat mengerikan, ada kanibal di dalam hutan-hutan maha luas yang berpindah-pindah. Gadis itu berpikir-pikir, rumahnya sekitar dua ratus meter lagi. Sejauh itu, kiri dan kanan
merupakan hutan belantara. Ada jarak yang lumayan jauh dari rumah-ke rumah.
Raka menyandarkan tubuhnya pada kap mobil, menumpukkan kakinya dan agaknya tengah tersenyum menikmati bagaimana Mardo mulai ketakutan dan mengharap pertolonganya. Beberapa kali ia lihat gadis belia itu menatap ke rumahnya, lalu menolehinya. Mardo berpikir, bahwa ia bisa mempercepat langkah kakinya sementara ada Raka di sana yang melihatnya. Ia akan jadikan itu sebagai keberaniannya. Maka Mardo mempercepat langkah kakinya bahkan mulai berlari.
"Uh, dia tak mempan ditakut-takuti."
Raka mendengus kesal, ia masuk ke mobil dan melajukan mobilnya. Ia mengikuti gadis itu.
"Lari-lari malam nih ye."
Ledek Raka membuka kaca mobilnya. Mardo tak memperdulikan, meski napasnya terdengar ngos-ngosan sebab telah berlari cukup jauh. Keringatnya mengucur, ia melihat lagi rumahnya dan tersenyum, sebentar lagi sampai.
"Dikit lagi sampai, selamat istirahat ya, oia kapan minta maafnya?"
Mardo menolehi sekejap, ia telah sampai dan menaiki undakkan menuju ke atas. Ia tidak tau kemana laki-laki itu pergi setelah menemaninya he he he. Usai menganti bajunya dan naik ke tempat tidur. Ia mendengar denting-denting gitar yang menyelusup manis ke telinganya.
"Oh, dia masih di depan rumah."
Mardo tak bisa memejamkan matanya, ia lantas turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Ia mengintip dari balik gorden. Dikejauhan ia melihat sosok Raka yang tinggi dengan rambut yang sedikit gondrong tengah memetik gitar di depan swalayan yang tutup. Mobilnya parkir tak jauh.
Denting-denting gitar yang menyentuh hati paling dalam. Mardo meraba dadanya yang berdebar, hingga ia terkejut sebab Papi membuka kamar dan berjalan ke belakang. Mardo buru-buru mengendap ke kamar. Hampir saja jantungnya copot.
***
Pagi-pagi sekali terdengar kring kring kring di atas meja. Tidak ada seorang pun yang mengangkat. Terpaksa Mardo keluar dari kamarnya dan mengangkat teleponnya.
"Hello Mardo, bagaimana tidurmu? nyenyak ya?"
Suara yang sangat dikenalnya. Mardo memeriksa rumah dengan matanya. Kenapa sepi sekali. Papi tak terdengar suaranya. Juga Mami, Patricia dan Mangara.
"Kamu sedang sendirian kan? mau kutemani."
Belum lagi dijawab Raka sudah bertanya lagi. Membuat Mardo gelagapan aja.
"He he he, kok tau? iya lah. Papi kamu sedang main tenis sama Mangara, terus Mami dan adikmu sedang belanja di pasar."
Raka merocos tanpa ia menjawab sepatah katapun.
Buru-buru Mardo menutup teleponnya, laki-laki itu mematainya. Kenapa ia tau kegiatan Papi dan Mami hari ini?
gadis itu menutup wajahnya. Kring kring kring! membuat jantung Mardo copot. Ia lari ke kamarnya. Untunglah tidak ada telpon lagi. Namun sore harinya saat ia baru saja selesai mandi, kembali telpon berdering. Semua sedang pergi. Dia lagi. Mardo sudah menduga. Dadanya berdebar-debar.
"Hello."
Mardo akhirnya mengangkatnya.
"Hemmm wanginya, habis mandi ya carku."
Mardo berdegup, kok dia tau ya.
"Kok kamu tau!"
Pertanyaan itu tak tertahankan lagi. Ia gadis lugu yang tidak tau apa-apa.
"Papi, Mami dan adikmu pergi ke undangan kan? Mangara abangmu lagi pergi sama temannya, kamu tinggal sendirian lagi he he he."
"Ih, kok kamu tau?"
"Tau dong carku."
"Apaan tuh carku."
"Calon pacarku he he he."
Brak! Mardo menaro telponnya dan berlari ke kamarnya. Ia takut dengan laki-laki itu. Raka terbengong. Apa caranya salah. Maklum Raka juga belum pernah punya pacar. Tidak tau tehnik mendekati seorang gadis. Ia mengaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
***
Pesta telah berakhir meninggalkan banyak hal untuk dibicarakan. Diam diam Mardo merasa simpatik pada remaja kota eksotik. Banyak diantara mereka memiliki bakat luar biasa, Pertunjukkan seratus remaja putri bermain gitar. Pembacaan puisi, tarian khas Papua dan banyak lagi. Mereka semua keren dan hebat
Hari berikutnya sekolah dan kelas sepi. Agaknya mereka membolos karena kelelahan. Kepala sekolah dan guru memaklumi. Anak-anak dibiarkan bersantai dan beristirahat memulihkan diri. Minggu berikutnya sekolah dan kelas normal kembali. Kecuali bangku di sebelah Mardo yang telah lama kosong.
Sudah lama Nona Black Sweet tak masuk sekolah. Hal tersebut membuat wali kelas mereka prihatin. Ia sengaja menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan murid-muridnya tentang nona Black Sweet atau Halima Haremba
.
"Bapak ingin kalian menjenguknya, barangkali dia sakit atau terjadi sesuatu."
Sayangnya tidak ada yang tertarik untuk pergi menjenguk Halima. Kebanyakkan memiliki seribu alasan untuk tidak pergi. Akhirnya Mardo menunjuk tangan dan bersedia menjenguk Halima.
Beberapa teman langsung melaranyanya.
"Hei nona pendatang! urungkan niatmu itu. Tempat Halima itu sangat jauh di pedalaman, berbahaya!"
"Iya. jangan kesana! kamu nggak akan sanggup."
Tetapi Sarah Lee membela Mardo. Ia mendukung gadis itu yang ingin pergi menjenguk teman sebangkunya. Sarah Lee juga merindukan sahabat dekatnya.
"Tidak apa apa Mardo, saya mau menemanimu, jangan takut! pastinya Halima tidak akan sampai di kelas tiga SMP jika tidak aman."
"Iya Sarah Lee benar, aku juga mau menemanimu nona pendatang."
Seorang murid penduduk asli yang bertubuh tinggi besar berdiri dan mau pergi bersama Mardo.
Akhirnya ada lima anak yang akan menjalankan misi mengajak Halima kembali ke sekolah.
Sarah Lee, Sulaiman, Hasan Rumadau, dan Wiliam.
Ketika istirahat Mardo menemui Richi dan teman temannya. Ia menceritakan tentang Halima.Tak di duga Richi bersedia ikut misi tersebut. Juga Vana. Mereka berjanji akan mengadakan pertemuan dan persiapan di rumah Richi. Hasan Rumadau yang sudah pernah ke rumah Haremba, mengatakan mereka harus menyebrang ke sebuah pulau. Mendaki perbukitan, melalui hutan rimba, ladang dan kemudian perumahan penduduk asli. Mereka harus menyiapkan beberapa perlengkapan untuk perjalanan ke sana. Richi bilang akan menyiapkan perahu motor dan awaknya yang akan menemani mereka memasuki rimba belantara.
Saat hari minggu, Mardo bersama Vana ke rumah Richi. Bibi pelayan membukakan pintu dan menyilahkan masuk. Richi sedang sarapan. Namun Richi muncul dengan wajah yang ceria.
"Kalian sudah sarapan? yuk ikut aku sarapan sebentar."
Richi setengah memaksa.
"Aku sudah Rich."
Mardo menolak, ia sudah sarapan nasi goreng buatan Mami, malah membawa bekal juga.
"Kalau begitu minum dan kue kue saja ya, sambil di bawa buat Halima."
Richi masuk ke dalam mengambilkan beberapa piring kue kue.
"Kata Mami aku kita boleh bawa semua."
Richi meletakkan piring kue kue tersebut di meja dan menyiapkan tasnya juga. Ia kemudian pamit meneruskan sarapannya.
Lalu terdengar suara salam. Mardo dan Vana sama menoleh dan menjawab. Ternyata pak Bramantyo dan Raka. Pria itu tersenyum pada keduanya
"Ini Mardo kan anak pak Wijaya, apa kabar? Minggu depan Om sama Papi kamu akan main tenis lagi, Om mau membalas kekalahan Om, minggu ini om Kalah ha ha ha."
Pak Bramantyo duduk di depan mereka dan tertawa terkekeh oleh kekalahannya. Oh, Rupanya Papi Richi teman bermain tenis Papi.
"Bilang pada Papimu ya, minggu depan Om samper ke rumah biar sama-sama ke tempat tenisnya. Papamu suka telat kalau tak di samper."
"Ok Om, nanti Mardo sampaikan."
Sedang Raka juga duduk di dekat Papinya dan menghirup minuman.
"Pi, agaknya Richi dan teman-teman perempuannya mau pergi, kemana tuh?"
Raka membisiki Papinya. Sembari Raka menatapi Mardo tak berkedip. Gadis kecil yang mulai bertumbuh menjadi seorang gadis remaja. Wajahnya yang cantik dengan rona kemerahan, bulu mata yang panjang dan lentik, sebentuk bibir indah berwarna pink.
Pagi ini Mardo mengenakan celana jeans biru, kaos biru disertai jaket, membuatnya terkesan ceria nan cantik. Tak berkedip Raka memandangi sosok itu. Rambutnya yang sebahu diikat sebagian di tengah, sisanya dibiarkan terurai membuatnya kian mempesona mata Raka.
"Raka, ambilkan minuman Papi sana."
Suara Papi mengejutkannya, segera ia berdiri untuk mengambil minuman yang biasa tersedia di meja kerja Papi.
"I-iya Pi siap."
Raka membenci dirinya yang kebingungan setiap kali berada dekat gadis itu. Gemuruh dadanya.
Tak lama Raka kembali membawa gelas pak Bramantyo yang berisi air putih.
"Kamu tidak menawarkan minuman atau apa pun pada gadis gadis ini?"
Pak Bramantyo menegur Raka, "Oh iya kalian mau minum apa?"
Vana yang mendongak dan menjawab, "Tidak usah repot kak Raka, tadi Richi sudah pesan sama bibi."
Oh, baiklah, Raka melirik Mardo yang sedang mengemasi kue kue, sama sekali tak hirau padanya.
Richi muncul dari dalam. Tersenyum pada Papi sekalian duduk di sebelahnya. Sementara Raka menghempaskan tubuhnya tak jauh dari tempat itu.
"Papi, Aku pinjam perahu motor sekalian dengan pak Arsyad ya."
"Oh. kalian jadi menjenguk teman tersebut. Ok, tapi hati hati ya Nak."
"Tenang saja Pi, kan ada pak Arsyad."
Pria itu mengangguk angguk.
"Papi, Richi tak pernah ke hutan. Kenapa Papi mengijinkannya.?"
Tiba Tiba Raka berdiri merasa keberatan.
"Justru itu aku sekarang ke hutan, lagian aku bersama teman temanku kok."
"Sudah, nggak apa apa. Richi bisa menjaga dirinya."
"Belajar itu bukan hanya di sekolah, tetapi alam juga memiliki pelajaran untuk kalian.
Papi membela putra bungsunya.
"Tapi Pi," Mata Raka tiba tiba terarah pada Mardo, Raka tiba tiba tak rela Mardo pergi bersama Richi.
"A-apa dia bisa menjaga, teman teman perempuannya? di hutan ada ka.."
Raka menghentikan mulutnya sebab, Papi menatapnya tegas.
Terjadi sedikit ketegangan, namun Papi memberikan dan dorongan kepada anak bungsunya.
Apa lagi, Sulaiman, Hasan Rumadau, Wiliam serta Sarah Lee sudah datang pula bergabung. Richi segera mengajak mereka ke belakang. Di sana ada pelataran untuk turun ke perahu.
"Kita berangkat Mas Richi?"
Pak Arsyad dan seorang lagi temannya yang bernama pak Hayamu telah menunggu di perahu. Sulaiman serta yang lain bergantian turun ke perahu.
Richi mengulurkan tangannya untuk pegangan Mardo serta Vana saat ke perahu. Lantas mereka mengambil posisi duduk yang enak. Raka bergegas ke belakang. Hatinya mendidih melihat Mardo pergi bersama Richi. Apa lagi gadis itu sama sekali tak mau berkomunikasi dengannya. Beberapa kali mereka bertemu, gadis itu mengabaikannya. Dan ia sendiri kehilangan kata kata untuk memulai. Raka meremas jemarinya.
Satu jam berikutnya mereka semua sudah berlompatan ke pantai. Selanjutnya menaiki undak undak batu keatas.
"Hati hati ya Do."
Richi perhatian sekali pada Mardo. Ia selalu mendekati dan berjalan di sisinya. Vana yang melihat perhatian itu mengalah dan kemudian jalan berdua dengan Sarah Lee. Husen Rumadau bersama pak Arsyad dan pak Hayamu berada di depan. Ketiganya membawa parang besar untuk menebas ilalang yang menjulur menutup jalan setapak. Sulaiman dan Wiliam berada paling belakang.
Suatu saat mereka sampai di tanah lapang. Banyak pohon pohon yang tengah berbuah. Dan juga banyak burung Yakob. Burung Yakob adalah burung yang hanya ada di hutan Papua. Agak mirip dengan burung kakak tua. Burung Yakob berbunyi Yakob Yakob Yakob, itulah sebabnya di beri nama burung Yakob. Bulu bulu burung Yakob berwarna warni, indah sekali.
Mardo takjub karena burung yakob hinggap di atas pohon di pinggir jalan yang mereka lewati. Burung burung itu berhinggapan pada ranting yang rendah. Jinak dan sepertinya mudah di tangkap. Nyatanya saat Sulaiman dan Wiliam akan menangkap, burung Yakob langsung terbang. Semua tertawa melihat hal itu. Tapi kedua anak itu yakin akan mendapatkan burung Yakob.Jadi sepanjang jalan mereka menunggu dan mengawasi pohon pohon.
Sedang asyik berjalan tiba-tiba Pak Arsyad memberi aba aba berhenti. Anak perempuan langsung menjerit melihat ada ular besar di tengah jalan. Mardo tak sadar meraih lengan Richi yang berada sangat dekat dengannya. Ia pegang kuat kuat lengan cowo itu sembari mendekatkan badannya.
Richi yang merasakan lengannya diremas dan napas yang lembut di dekatnya menoleh menatap pada Mardo. Perasaan yang aneh dan menyenangkan menjalari dirinya.
"Nggak usah takut hanya ular sanca, tidak berbisa."
Richi berbisik, Mardo tersipu sipu dan melepaskan tangannya.
"Nggak apa apa kok di pegang juga he he he."
Richi mesem mesem.
Ular itu lumayan besar. Pak Arsyad mengangkatnya dan anak anak perempuan menjerit melihat tubuh ular yang berkilau. Kemudian Ular itu diletakkan di sebrang. Mereka melanjutkan lagi perjalanan.
Ular sebesar itu tidak berbahaya. Tetapi hati hati dengan ular kecil seukuran lengan bayi. Namanya ular bulan, sangat berbahaya. Ular bulan hampir setiap hari membunuh perambah hutan yang tidak berhati hati.
Bisa racunnya akan membunuh hitungan detik. Sangat mengerikan. Ular bulan biasanya muncul saat bulan purnama. Bentuknya jika ia melingkar seperti bulan. Karena itu disebut ular bulan. Dan hanya ada di hutan Papua.
"Ich ngeri ya ular bulan itu. Mardo merinding."
Dan akhirnya mereka sampai di ladang Pala. Di hutan kota Fak-fak banyak penduduk asli menanam pohon Pala.
Penduduk kota eksotik itu sangat menghargai buah pala. Bahkan pohon Pala mereka anggap seperti ibu. Menebang pohon pala sama artinya membunuh ibu. Mereka penduduk pedalaman tidak pernah menanam pohon Pala tetapi tumbuh dan merawat sendiri dirinya dari alam. Penduduk pedalaman juga meyakini bahwa burung-burung telah menyebarkan biji pala di seluruh penjuru.
Indah sekali pemandangan kebun pala yang berada di dataran lembah juga pada perbukitan. Setelah hamparan kebun pala mulai terdengar suasa perkampungan. Bunyi tetabuhan serta suara nyanyian sayup terbawa oleh angin. Kata Husen Rumadau, rumah Halemba sudah dekat. Mardo menatap pada kejauhan.
Hutan dan kemudian rumah penduduk. Belum pernah Mardo melihat rumah-rumah penduduk asli Papua.Ternyata sangat unik. Terbuat kayu dan atapnya jerami. Ada yang berbentuk bundar dan mungil tapi ada juga yang panjang
seperti persegi panjang.
Penduduk kota eksotik ini sudah banyak yang memeluk agama islam, sehingga pada pintu gerbang terlihat bangunan besar. Agaknya itu adalah tempat pertemuan dan ibadah. Husen dan Sarah Lee memandu di depan.
Keduanya sama-sama berkulit hitam. Husen memang asli Papua sedangkan Sarah Lee campuran. Ayahnya asli Papua dan ibunya orang Jawa.
Mereka berhenti di sebuah rumah sederhana namun lebih besar. Sudah menggunakan kayu-kayu dan seperti rumah di kota. Ada beberapa rumah seperti itu. Sebab kata Sarah Lee ayah Halima merupakan ketua suku di tempat itu. Pendidikannya sudah lumayan.
"Halima!!! torang ada di rumahkah?"
"Halima, ini teman sekolahmu datang."
Sebuah kepala menyembul di pintu, lalu menghilang.
"Mama, itu Husen Rumadau mau apa? mereka datang ke sini mama, kitong malu, kitong mesti bagaimana?"
Halima panik, tak menyangka teman-teman sekolahnya datang.
Beberapa pria penduduk asli telah mengelilingi mereka. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan koteka. Penduduk asli mengawasi penuh tanda tanya. Husen bicara pada mereka dalam bahasa yang tidak dimengerti. Dan mereka berbisik bisik dan menganggukkan kepala.
Ada yang lantas pergi. Tapi ada yang tetap tinggal. Sarah Lee masuk ke dalam rumah. Ia menemui Halima yang hesteris.
"Kenapa torang bawa mereka kesini?" untuk apa?"
"Tenang Halima, kami hanya ingin menjengukmu."
Agak lama barulah Halima keluar. Wajahnya malu-malu. Beberapa pria membawakan tikar jerami dan dibentangkan di bawah pohon di samping rumah Halima. Tak lama orang tua Halima muncul. Ayah Halima mengenakan kemeja dan celana panjang. Ibunya juga berbaju gamis dan menutupi rambutnya. Keduanya menyambut ramah teman-teman Halima. Rupanya kecantikan Halima berasal dari ibunya. Halima mirip sekali ibunya.
Husen lantas menyampaikan maksud kedatangan mereka. Ayah Halima mengangguk angguk dan menyerahkan keputusan pada Halima. Semula Halima menolak kembali ke sekolah. Sampai ibunya menceritakan sebuah kejadian kalau kapal mereka terbalik sebulan yang lalu. Tas dan buku bukunya hanyut, juga sepatu. Bajunya juga sobek. Ayah Halima belum berhasil memperbaiki kapal itu. Sementara jarang ada kapal motor datang ke tempat itu.
Sebulan sekali mereka ke kota untuk menjual pala serta hasil kebun.
Husen yang menterjemahkannya.
"Oh begitu, kapal motornya terbalik, Ya Allah untung tidak apa-apa torang Halima."
Mereka semua tertegun mendengar cerita ibu Halima. Mereka tidak menyangka perjuangan Halima ke sekolah sangat berat. Beruntunglah guru-guru tidak begitu memperhatikan ketidak hadirannya. Yang terpenting anak-anak pedalaman mau datang ke sekolah itu sudah bagus. Dan anak-anak itu mendapatkan prioritas di sekolah. Selalu naik kelas meski sering tidak hadir.
"Jangan khawatir Halimah, aku mau bicara dengan Papiku tentang kapal kalian. Mudah-mudahan Papi bisa membantu."
"Kau harus sekolah lagi ya Halima. Biar kita sama-sama lulus dan lanjut ke smu, katanya kau ingin menjadi guru."
Mardo menyambung Richi. Sarah Lee cerita kalau Halima bercita-cita jadi guru.
Semua menasehati dan membesarkan hati Halima. Akhirnya Halima memutuskan kembali ke sekolah.
Vana, Sarah lee juga Mardo berjanji akan memberi Halima seragam yang baru.
"Halima, aku akan membeli dua seragam baru di koperasi, satu untukmu dan satu untukku."
"Terima kasih nona Ekslusif, kau baik sekali."
"Hei kenapa kau memanggil dengan nona ekslusif?"
"Oh, kalian satu sekolah memanggilku nona black sweet, dan Mimi menyebutmu nona ekslusif."
"Mimi bilang begitu."
Tapi Mardo tak mempermasalahkan, sebab beberapa wanita datang membawa ubi jalar yang panas. Tempat minuman beserta gelas-gelas. Menyusul pisang, kacang tanah dan bubur sagu. Banyak sekali hidangan yang
mereka sajikan. Semuanya dari alam. Minuman segar yang diambil dari pohon Ara, rasanya manis segar.
Mereka sangat senang oleh kunjungan itu.Tetabuhan dibunyikan dan pria pria yang bertelanjang dan hanya memakai koteka mulai bernyanyi.
Diru diru nina ya ya ya ya
Diru diru Nina ya ya ya ya
Mardo juga memberikan kue kue yang sangat banyak. Halima membagikan kue kue tersebut kepada semua keluarganya. Hampir semua yang tinggal di sekeliling rumah Halima adalah saudara. Kelihatan sekali mereka senang dengan kue kue mahal yang enak itu. Untung Richi mengingat unutk membawa oleh oleh. Mardo sendiri malu pada dirinya tak terpikir untuk membawakan Halima sesuatu.
Nyanyian itu menghantar kepulangan mereka. Banyak hadiah dan oleh oleh. Mardo mendapatkan tas anyaman yang lucu. Vana dan Sarah Lee juga. Sulaiman dan Wiliam mendapat burung Yakob. Sulaiman memberikan burung Yakob kecil itu untuk Mardo, membuat Richi cemburu.
Wiliam memberikan burung yakob lainnya pada Vana.
Diru diru nina ya ya ya diri diru nina ya ya ya.
Ini Teluk kami, laut kami.
Kami lahir untuk negeri ini.
Na na na na na
Lagu yang indah itu menyelusup hingga ke lembah. Halima mengantar teman temannya ke balik lembah. Ia sangat bahagia hingga air matanya mengalir dan jatuh ke pipi.
'Nona Mardo dan teman-teman, terima kasih telah mengingatku.'
Bisik hati Halima lalu berlari bahagia ke kampungnya
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
keren bgt kak
2022-03-02
0
Manami Slyterin
gadis papua eksotis
2021-08-28
0
Yeni Eka
Keren
2021-07-22
0