Mardo menjalani hari hari di kota Eksotik. Dan ia penasaran dengan teman sebangkunya. Sejak pindah ia
belum bertemu teman semejanya. Mardo. menanyakan siapa yang duduk di bangku sebelahnya. Rusi gadis imut yang ramah menjawab, bahwa itu adalah bangku Halima Haremba. Seorang gadis asli Papua.
Mardo senang mendengar hal itu. Rupanya ia bersebelahan dengan gadis Papua. Tak terbayang kalau ia bersisian dengan gadis Papua. Tak sabar menunggu kehadiran Halima. Pasti teman temannya di Jakarta mau melihat seperti apa gadis Papua temannya itu.
Hingga suatu hari saat ia tengah memeriksa pr di mejanya. Seseorang berdiri di dekatnya. Mardo mengangkat
wajahnya dan bertemu pandang dengan seorang gadis Papua. Ia sama sekali tak tersenyum melainkan menatap
bangku kosong di sebelah Mardo. Serta merta Mardo berdiri dan memberikan jalan untuk gadis itu ke bangkunya.
"Hallo Halima Haremba, senang kamu sudah masuk sekolah. Aku selalu menantikanmu."
Mardo menyambut teman sebangku yang setiap hari ia tunggu. Gadis penduduk asli tersebut menatapi
Mardo, agak lama barulah ia menyambut uluran tangan itu. Dia sangat berhati-hati dan berusaha
meraba apakah Mardo teman yang baik. Begitu perasaan Mardo. Ada beberapa teman sekelas yang juga
asli Papua. Mereka seperti Halima, tertutup dan sulit sekali diajak berkomunikasi.
"Kamu kenapa sering tak masuk sekolah? nanti ketinggalan pelajaran."
Mereka sudah duduk bersisian. Halima duduk di dekat dinding dan bersandar. Gadis Papua itu menolehinya
namun tak menjawab.
"Rumahmu jauh ya?"
Mardo tak menyerah mengorek tentang teman sebangkunya itu. Halima menggoyangkan kepalanya, bibirnya
yang mungil tersenyum tipis. Agaknya ia tak mau membicarakan hal tentang dirinya.
Halima Haremba gadis yang manis. Wajahnya tirus, dan bibirnya tipis. Ia berbeda dengan kebanyakkan gadis Papua.
Kulitnya meski hitam namun halus dan bagus. Rambutnya panjang keikalan, tidak gimbal layaknya gadis gadis Papua. Ia memakai kemeja lengan panjang yang dimasukkan kedalam rok model rimpel. Lumayan modis dan bergaya. Teman teman memanggilnya nona Black Sweet.
Menurut Rusi, Halima itu suka mengamati gadis gadis pendatang yang ia sukai. Selanjutnya ia meniru gaya berpakaian serta sikapnya. Rusi sebenarnya sudah menasehati Halima agar menjadi dirinya sendiri. Karena Halima pernah mempermalukan diri sendiri saat meniru seseorang. Dan itu sangat lucu. Tidak sesuai untuk Halima.
Gaya berpakaian Halima yang sekarang meniru Vana. Kemeja lengan panjang dan rok rimpel lebar.
Oh, benar juga. Mardo mengangguk angguk mengingat Vana yang memang selalu mengenakan kemeja lengan panjang, rok rimpel dan sepatu kets. Tak lupa tas sekolah yang besar. Halima meniru seluruhnya dan tidak buruk. Vana mungil dan terlihat lebih besar dengan pakaian seperti itu. Sedangkan Halima menjadi lebih modis. Gadis Papua yang pintar. Ia dan Rusi saling memperlihatkan jempol.
Selanjutnya Halima Haremba selalu hadir di sekolah. Ternyata ia berteman dekat dengan Sarah Lee. Ia bisa
bicara bebas, tertawa terkekeh bahkan hesteris saat Sarah Lee menganggunya. Halima jika gemas pada
Sarah Lee ingin memeluk dan meremasnya kuat-kuat. Sebab itu Sarah Lee menghindar dan berlarian di kelas.
Halima mengejarnya.
"Ampun Halimah! torang jangan peluk beta."
Sarah Lee berteriak ketakutan meski juga ada senyuman tergantung di sudut bibirnya.
"Makanya torang jangan bikin beta marah! itu mulut dijaga jangan sampe bikin kuping merah hah!"
Galak sekali Halima saat ia mengancam temannya itu. Dan berakhir dengan saling berpelukkan sambil
berteriak-teriak dan tertawa kegelian. Ternyata dibalik diam dan tertutup Halima juga punya sisi hesteria dan suka bercanda. Tetapi hanya dengan Sarah Lee ia bisa bebas bereksperesi seperti itu.
Setelah berhari-hari masuk sekolah, tiba-tiba Halima membolos kembali. Tidak ada kabar berita sama sekali.
Anak-anak dengan pelajaran serta kegiatan yang banyak melupakan Halima. Kesibukkan serta banyaknya
tugas membuat semuanya tidak sempat memikirkan Halima. Begitu juga Mardo.
Sesekali saat Mardo melihat kursi Halima, ia terpikir kenapa Halima membolos lagi? apakah terjadi
sesuatu hingga ia tak bisa ke sekolah? ia lantas bertanya pada Rusi. Tapi gadis itu menggeleng. Ia tidak
tau. Menurut Rusi rumah Halima sangat Jauh menyebrangi laut dan melewati hutan serta kebun. Akhirnya
Mardo juga perlahan tak lagi mengurusi teman sebangkunya itu.
Mardo juga sudah memiliki teman berangkat dan pulang sekolah yakni Vana. Gadis yang ditiru model
berpakaiannya oleh Halima Haremba. Saat itu Ia terlambat pulang sebab pak wali kelas memanggilnya
ke kantor dan membicarakan tentang roknya yang terlalu mini. Di jakarta gadis-gadis remaja sedang
mengandrungi rok mini dengan sepatu kets tinggi.
Mardo masih menggunakan baju seragamnya dari sekolah yang lama. Terutama rok kesayangannya
yang pendek. Sebenarnya di sekolah yang lama, masalah seragam diserahkan kesukaan masing-masing
yang penting warnanya sama. Ada yang senang menggunakan rok panjang, tapi sebagian besar anak-anak
yang tengah memasuki usia remaja lebih suka rok diatas lutut, atau pas selutut.
Geng pertemanan Mardo membuat rok seragam mereka di atas lutut. Tidak terlalu mini, terlihat cute
dan manis. Tapi menurut pak wali kelas roknya itu terlalu pendek. Ia menawarkan membeli seragam
di koperasi sekolah. Mardo bilang ia harus mengatakannya pada Mami.
"Jangan marah dan sakit hati ya Nak, bapak hanya menjaga jangan sampai kau mengalami suatu
penyesalan nanti. Di sini berbeda dengan di jakarta. Harap kau mengerti Nak."
Pak wali kelasnya tersenyum penuh arti. Mardo hanya mengangguk kemudian pamit pulang. laki-laki
berwibawa itu membiarkannya pergi. Pipi Mardo bersemu merah. Baru sekali ini ada laki-laki
yang keberatan dengan rok mininya.
Mardo keluar dari gedung sekolah dengan keadan yang sepi. Kenderaan tidak ada. Terpaksa Mardo
berjalan kaki. Belum lagi jauh saat ia melihat di depannya seseorang berjalan dengan payung.
Tak berpikir panjang ia mengejar gadis remaja sebesar dirinya itu.
"Tunggu!"
Ia berteriak dan memanggil-manggil. Gadis berkuncir itu membalikkan tubuhnya ke belakang dan
lantas menunggu dengan bibir tersenyum.
"Hei Mardo, telat pulang juga?"
"I-iya. Kamu sudah tau namaku?"
Mardo terbengong sementara gadis itu terkikik kegelian.
"Tentu saja, kedatangan kalian disiarkan oleh operator radio kota Fak-fak, om Sibuk."
"Yang benar?"
"Iya, bahkan sampai sekarang sesekali om Sibuk masih menyebut keluargamu, jadi semua penduduk
tau dirimu, kakak dan juga adikmu."
"Oh, kami tak pernah menyetel radio."
Lalu keduanya saling berpandangan.
"Aku Vana."
Gadis itu mengulurkan tangannya, dan mereka berjabat tangan.
"Apakah jam segini tidak ada taxi yang lewat, panas sekali."
Mardo mengeluh meski Vana sudah berbagi payung dengannya.
"Siang seperti ini taxi jarang. Lagi pula sebagian besar anak-anak dijemput dan antar. Sebagian lagi
bawa kenderaan sendiri."
Mardo membenarkan, hanya sedikit taxi dan kenderaan angkutan. Sebagian besar antar jemput atau
mengenderai sendiri. Tak berbeda dengan sekolahnya di Jakarta. Cara serta pergaulan remaja kota
terpencil itu tak kalah dengan di Jakarta. Kecuali rok mini yang dipermasalahkan wali kelas.
Vana dan Mardo merasa cocok, mereka mengobrol tentang berbagai hal. Mardo juga
menceritakan tentang nona black sweet. Mardo menyebutnya kembaran Vana, sebab baju
seragamnya, gaya memakainya serta tas dan sepatunya juga sama. Gadis itu lagi-lagi terkikik
kegelian.
"Kau ini, memang beta hitam apa? kembaran hi hi hi."
"Dia mengidolakan dirimu Van."
"Hi hi hi, Halima Haremba si nona black sweet itu, dia memang peniru."
Keduanya berbincang-bincang tentang Nona black sweet. Dia gadis Papua yang cantik.
Sangat berbeda dengan gadis Papua lainnya. Bibirnya mungil dan wajahnya oval, rambutnya
berombak dan sering di kepang untuk kerapian.
Vana bilang di kelasnya juga ada teman yang asli Papua tetapi dia tidak secantik Halima Haremba, juga tidak
populer. Banyak sekali yang menyukai Halima bahkan ia diberi julukkan Nona Black Sweet.
Tak terasa Mardo melihat rumahnya yang berada di ketinggian.
"Vana, mari mampir aku kenalkan dengan mami dan adikku yuk."
Vana tak menolak, mereka berlarian menaiki undakkan, kemudian sampai di hamparan rumput di halaman
serta pohon jeruk dan ceri. Mardo memasuki teras dan mengucapkan salam. Pat membukakan pintu.
"Ayo Van sini masuk, duduklah aku ambilkan minum, panas sekali hari ini."
"Mam, Mami!"
Masuk sembari memanggil-manggil Mami yang rupanya sedang sholat. Ia baru muncul saat Mardo sudah
membuatkan sirup jeruk untuk Vana dan dirinya. Vana dan Mami saling tersenyum dan berpandangan. Patriacia juga menyalami Vana.
Mami menawari Vana makan siang menemani Mardo, tapi Vana menolak, ia harus buru-buru pulang karena sudah
telat dari jam kepulangan. Vana bilang rumah sudah tak jauh, dekat dengan gedung pertemuan. Besok mudah-mudahan bisa berangkat kesekolah berbarengan.
***
Kring! Kring! Kring!
"Hello mau ke siapa?"
Patricia terdengar mengangkat telepon. Kebetulan Mardo sedang membaca di sofa dan melihat adiknya
yang lari mengangkat telpon rumah yang terletak di sudut ruang tamu.
"Oh, ada. Kak katanya mau bicara denganmu."
Patricia memberikan telepon pada Mardo. Tetapi gadis itu menyuruh Patricia menanyakan siapa namannya.
"Namamu siapa?"
Sembari Patricia tersenyum geli.
"Bilang aja dari orang ganteng dan keren."
"Kak, namanya ganteng dan keren!"
"Ich! siapa sih?"
Patricia melemparkan gagang telpon pada Mardo dan ia ke kembali asyik dengan permainannya.
Mardo mengangkat telepon dan ia mendengar denting-denting gitar.
"Siapa ya? aku kenal nggak ya?"
"He he he, aku mengenalmu tapi kamu nggak kenal aku."
Terdengar suara seorang laki-laki serak-serak basah di sebrang sana.
Mardo terdiam, ia belum pernah mengobrol dengan seorang laki-laki kecuali dengan Papi, Mangara
dan teman sekolahnya Richi, Sulaiman serta Umar. Itu juga pembicaraan biasa saja.
"Bagaimana? betah ya di Papua? kayaknya betah banget."
"Gimana lagi, Papi aku kan bertugas di sini. Betah nggak betah, oia iya kamu siapa?"
"He he he, nanti juga kamu tau kok. Pokoknya orang ganteng dan keren. Pria Idola gitu."
"Idih, kok bilang dirinya sendiri ganteng dan keren sih? Pria Idola lagi, belum tentu kali."
Mardo sinis, ia merasa iseng dan menaggapi saja laki-le he he, mending memuji diri sendiri, dari pada nggak ada yang memuji."
"Ih kasihan deh kamu."
"Nggak juga kok, gadis-gadis kota Eksotik yang bilang he he he, tanya aja Pria Idola, semua
gadis-gadis tau."
"Ngapain, nggak perlu. Ya udah ya."
Mardo akan memutus teleponnya, tapi laki-laki di sana menghentikannya.
"Tunggu! tunggu!"
"Apa? aku nggak kenal kamu percuma."
"Ayo kenalan, aku Pria Idola."
Mardo langsung meletakkan gagang teleponnya. Tapi kembali terdengar suara kring-kring.
Gadis itu mengacuhkannya. Hingga akhirnya berhenti sekali.
Jauh di sebuah tempat laki-laki muda itu tersenyum ceria.
"Dia menggemaskan sekali, dasar pemarah he he he."
'Tapi meski begitu, aku kok suka ya. Teringat terus padanya dan ingin menelpon mendengar
suaranya yang cempreng itu. He he he apa kabar ya buah dadanya? apa masih sakit."
Laki-laki muda itu melebarkan bibirnya lantas berbaring di tempat tidur king size. Ia bebas
telentang dengan kaki membuka selebar-lebarnya. Ia berpikir untuk kembali ke kota Eksotik
agar bisa bertemu dengan gadis itu. Tapi bagaimana jika Papi bertanya. Kemarin ia sudah
sebulan penuh menghabiskan liburan di kota Eksotik.
Tetapi pucuk dicinta ulam tiba. Papinya menelpon dan menanyakan apakah ia bisa pulang
ke kota kecil itu. Bapak bupati mengundangnya di acara ulang tahun kota Eksotik. Kontan
laki-laki muda itu bersorak dalam hati.
"Bisa Pi, kebetulan kuliahku baru dimulai dua minggu lagi. Tidak ada kegiatan apa-apa."
"Kalau begitu segera pulang ya Nak, acaranya malam minggu lusa."
"Ok Pi, aku pulang."
Ceria sekali laki-laki muda itu. Ia memberitahu temannya bahwa ia harus kembali ke kota
eksotik. Dan kedua temannya hanya terbengon, lantas berteriak, "Iya kami juga pulang!"
***
Ulang tahun kota Eksotik selalu dirayakan secara meriah. Sekolah-sekolah mendapat undangan
untuk merayakannya di sebuah lapangan. Dan malam harinya pesta seni dari berbagai instansi
dan juga sekolah.
Sebagai sekolah nomer satu di kota itu sekolah Mardo mendapat kehormatan sebagai penyelenggara
acara malam pesta ulang tahun kota tercinta. Berbagai latihan persiapan diadakan. Di sela belajar dan
mengajar. Saat istirahat atau pulang sekolah, murid-murid pilihan berlatih di aula sekolah.
Waktu terus berjalan. Semua menyenangkan dan tidak ada problem. Pelajaran berjalan dan latihan juga. Mardo mendapat nilai bagus di semua pelajaran. Ternyata pelajaran di sekolah itu lebih lambat jika dibandingkan di Jakarta. Tak aneh jika Mardo memperoleh nilai-nilai tinggi. Hal yang membuat Yulianti dan Mimi cemburu.
Yulianti dan Mimi sangat tak nyaman pada keberadaannya. Dua cewe itu kerap berbisik bisik sembari memandang sinis pada Mardo. Apa lagi melihat kedekatan Mardo dan Richi, dua cewe itu seperti terbakar, merah membara. Mereka sepakat mencari cara untuk menjatuhkan Mardo.
"Dia orang belum tau kita siapa, lihat saja nanti."
Mimi mengepalkan tangannya, menahan kebencian.
"Ia Mi, nggak sabar mengerjainya!, sok cantik! sok pintar! sok populer huh!"
"Sabar Yan, ikuti aja dulu tingkah lakunya yang menyebalkan itu."
Tiba tiba seorang cewe menghampiri," hei kalian bisik bisik apa sambil menatap nona pendatang?"
"Eh Lee, sana jangan ikut campur!"
Yulianti mendorong cewe bernama Sarah Lee itu. Tapi Sarah Lee kembali ingin ikut berbisik bisik bertiga tapi Mimi dan Yulianti tak menginginkan kehadiran cewe itu. Jadilah mereka saling dorong mendorong dan berakhir dengan tertawa.
"Kalian sudah dengar?"
Sarah Lee masih berusaha berada diantara dua cewe yang bergaya dan modis itu.
"Apa? kalau mau kasih tau cepat bilang? jangan bikin pala berbie pusing."
"Pria Idola datang di acara ulang tahun kota kita!."
"Serius?"
"Wauuuu, Pria Idola pulang!"
Ketiga gadis itu saling berpandangan, wajah mereka dan senyum di bibir begitu sumringah.
Ada apa ya? kok mereka begitu senang.
Mardo sempat melihat tingkah laku ketiga teman sekelasnya itu. Tapi kemudian ia mengacuhkannya. Bukan urusannya. Lagi pula ia merasa tak cocok berteman dengan mereka. Hanya sekedar teman sekelas saja. Berbeda dengan Vana. Ia merasa nyaman. Tapi jelas tadi ia dengar Mimi menyebut-nyebut Pria Idola. Jadi memang benar ada Pria Idola di kota ini.
Apakah ia perlu bertanya pada Vana tentang Pria idola? Kalau Vana tak tahu masih ada Betty Sapacua gadis yang rumahnya tak jauh dari Vana. Tanya Vana atau Betty ya?
Saat istirahat Mardo mencari Vana dan Betty. Tetapi mereka tidak ada di kelas. Hanya dua gadis yang
lantas mengajaknya ke kantin sebab Vana dan Betty tadi pamit ke kantin. Gadis itu Zam-zam dan Rosse.
Mereka bertiga pergi ke kantin.
Suasana sekolah dan kota eksotik terasa berbeda.Kelas kelas seperti berlomba menyiapkan sajian istimewa. Ada yang berkelompok, ada yang berduet, solo, ada yang berbaur antar kelas. Sekolah sekolah lain pun juga sama. Mardo dengar acara itu tiga malam. Akan dihadiri oleh bapak dan ibu Bupati serta para pejabat pejabat, pengusaha dan banyak lagi. Panitia sangat disibukkan oleh acara akbar tersebut. Pesta itu adalah perwujutan persatuan remaja kota Eksotik.
Semua cewe cewe membicarakan pesta itu.
"Kitong orang berharap dapat pacar di pesta."
"Ya, kitong juga."
"Biarlah tak dapat pria idola, yang biasa saja tak apa."
"Ha ha ha, menyerah ya."
"Apa kamu tak menyerah?"
"Sekedar idola biarlah, cinta sendiri."
Cewe cewe itu tertawa sepertinya mentertawakan kemalangan mereka.
Tak habisnya pembicaran tentang pesta itu. Cewe cewe berbelanja kosmetik, gaun malam, sepatu dan tas.Semua ingin menjadi yang tercantik. Seperti ada seorang pangeran yang akan memilih putri. Mardo menjadi tak sabar ingin tau seperti apa pesta itu. Teman-teman mengajaknya ikut terlibat tapi Mardo menolak, ia lebih suka menjadi pengamat saja. Lagi pula ia masih sangat baru di kota tersebut.
Dan akhirnya tiba. Pesta meriah ulang tahun kota Eksotik. Acara besar-besaran di pagi hari di lapangan. Lantas
lempar bunga ke laut raya. Pesta raya bersama bapak bupati serta para pengusaha kota eksotik. Menjelang dhuhur barulah acara itu selesai. Malamnya akan berlanjut di gedung pertemuan. Gedung kebanggaan penduduk kota
itu. Gedung megah yang memuat seribu lebih manusia.
Sejak sore sekelompok demi sekelompok siswa berdatangan ke gedung pertemuan. Papi juga mendapat undangan ke acara tersebut. Rencananya setelah sholat magrib ia berangkat bersama Patricia. Mami sedang tak enak badan. Mardo menunggu jemputan Vana dan Betty.
Pintu gerbang gedung di jaga oleh cewe cewe panitia yang berbaju indah dan fantasi. Setiap tamu yang datang di sambut dan diantar ke tempatnya. Begitu pun ketika Papi dan Patricia tiba segera di sambut hangat. Mardo dan teman temannya berada tak jauh di belakang Papi. Tiba tiba Mardo mendengar banyak suara yang memanggil namanya. Gadis itu tercekat. Cowo cowo dari sekolah lain banyak yang tahu namanya. Mereka melambai ke arah Mardo sembari menyebut namanya. Gadis itu jengah lantas buru buru mengajak teman temannya duduk tak jauh dari barisan Papi. Masih di bagian depan. Di panggung beberapa penari sudah bergantian muncul. Tari tarian khas kota Papua. Tetabuhan serta jerit jerit penarinya. Indah sekali tarian mereka dan nyanyian tentang kota itu.
'Ini Negeri kami ya Tuhan.
Biarkanlah kami tetap berjalan, bersama janjimu ibu leluhur sampai napas ini berakhir.
Idung idung marina kami selalu hidup dengan tenang
Idung idung marina kami selalu hidup dengan damai.
Ini Teluk kami, laut kami, kami lahir untuk negeri ini.
Ini gunung kami tanjung kami, bukan pilihan tapi karena takdir
Di bangun atas falsapah satu tungku tiga batu.
Negeri ini akan selalu menghiburmu'
Semua remaja mengikuti lagu tersebut, betapa mereka mecintai kota eksotik. Lagu itu di putar berulang ulang hingga acara berakhir. Bapak bupati dan rombongan telah menempati bangku masing masing. Hening serta hikmat saat doa pembuka dibacakan.
Selanjutnya berjalan santai. Acara demi acara diselingi hiburan dari remaja kota eksotik. Lalu terdengar gadis gadis hesteris. Ada apa lagi nih? Mardo penasaran.
"Pria Idola kota eksotik, kak Raka! kak Raka!"
Vana dan Betty ikutan hesteris.
"Siapa dia Van?"
Mardo berbisik di telinga Vana.
"Kak Raka, dia penyanyi dan pemain gitar handal kota Eksotik, dia Pria idola gadis-gadis Do."
Sahut Vana dengan mimik senang. Di pintu gerbang ramai sekali serta hesteris gadis-gadis. Semua
mata menatap ke sana. Seorang laki-laki muda yang di jaga beberapa body guard. Mardo tak berkedip
menatap ke arah iring-iringan itu.
"Pria Idola telah tiba, kita sambut yang meriah, Pria Idola!"
Usai Host berkata terdengar hesteris gadis-gadis yang berada di gedung itu.
Sementara iring-iringan lelaki itu berhenti di depan bapak bupati. Terjadi salam menyalam dan berpelukkan.
Rupanya pria idola itu tengah memohon restu untuk naik ke panggung.
Sorai sorai semakin meriah. " Raka, Raka Raka!"
Gadis gadis memanggil namanya.
Hemmm, Mardo terpaku dan terhanyut oleh suasana gegap gempita, Pria Idola! pria Idola.
Diakah si penelepon misterius itu? Gadis itu tak bisa berkata-kata. Ia tertegun menatap dan
menikmati permainan gitar laki-laki muda di sana.
Lagu selamat ulang tahun dilantunkan indah. Dan seluruh yang ada di gedung itu ikut menyanyi. Dan Mardo
baru menyadari kalau Betty sejak lama tak ada. Betty bernyanyi di depan bersama si Pria Idola. Suara Betty
sangat merdu. Ia menolehi Vana.
"Betty pemenang kedua lomba penyanyi kota Eksotik tahun ini."
"Wah."
Mardo terkesiap, ia tak menyangka Betty adalah seorang calon penyanyi berbakat. Suaranya lantang
tinggi dan ia bisa mengimbangi permainan gitar si pria Idola. Gadis-gadis hesteris dan tak berhenti bersorak dan bertepuk tangan.
"Hei, tak memberi tepukkan buat kak Raka, dia pria idola kota ini loh. Bapak bupati yang memberinya nama itu."
"Jadi, Pria idola itu nama pemberian dari bapak bupati?"
"Iya."
Terdengar lagi hesteris gadis gadis. Sosok itu sekarang sudah mulai memetik gitarnya.
Terdengar nada panjang yang menyayat-nyayat. Membuat semua dalam gedung itu terpukau dan tersihir. Permainan gitarnya dan sesekali lantunan lagu memang luar biasa.
Hingga lagu terakhir ia mainkan dengan penghayatan, Merpati putih, membuat semua yang hadir di gedung itu nyaris menangis seolah turut merasakan pedihnya isi syair tersebut. Lantas gedung pertemuan itu serasa roboh oleh hesteris dan tepuk tangan bergemuruh. Pria idola membungkukkan tubuhnya lantas turun meninggalkan panggung. Pak bupati menyambut dan memeluknya hangat. Ia duduk diantara rombongan bapak bupati.
Memang benarlah, bapak bupati menyukai Pria Idola.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
nita Kim. ( Sean nita)
Iya cih, akun aku yang satu yang Sean nita tidak bisa di buka
2021-09-14
0
Yeni Eka
Like
2021-07-22
0
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
lanjut
2021-06-04
0