Masih remang, matahari belum lagi naik dari peraduannya. Mardo keluar dari kamar ingin merasakan suasana pagi di kapal. Ia dengar tadi sudah banyak suara suara awak kapal dan penumpang yang mengobrol. Para awak kapal sangat disiplin dan rajin. Setiap waktu terlihat mereka bekerja. Kadang di bagian buritan, lalu di dek, tempat tempat bersantai. Selalu di kontrol dan dipastikan nyaman. Terkadang mereka juga beratraksi. Seolah olah ada badai,dan mereka bergotong royong mengatasinya. Mardo terpesona pada awak awak kapal. Sungguh mereka semua terlatih dan bekerja dengan sungguh sungguh.
Mardo terhanyut oleh suara suara awak kapal yang bekerja. Ia bersandar di dinding kapal tak jauh dari kamarnya. Ia tarik piyamanya ke dada mengusir dingin. Ia menghirup udara yang segar. Laut menghitam oleh malam yang belum juga beranjak. Buih buih putih dan ombak menampari badan kapal.
Baru saja Mardo hendak beranjak ketika sesosok tubuh tiba tiba bersandar juga seperti dirinya. Hal yang menghalangi gadis itu pergi. Mardo menolehi cowo itu yang tidak tau kalau keberadaannya menutup jalan untuk kembali ke kamar. Jika ia pergi ke sebelah kiri itu artinya memutar sangat jauh. Mardo harap cowo itu tak berlama lama di sana. Mardo kembali menikmati pemandangan laut yang mendebarkan.
Hemmm.
Cowo itu berdehem kearahnya. Mardo melirik deg, jantungnya mau copot. Karena itu adalah kak Raka. Mardo meremas jemarinya.
Hemmm
Berdehem lagi, dan mendekat. Mardo mengerutkan keningnya.
Hemmm, menolehi Mardo.
"Kalau seret minum dulu sana."
Mardo akhirnya tak tahan berdiam diri.
He he he, terdengar renyah suara tawa cowo di sebelah.
Hemmm. menelan ludah.
"Sudah sekian lama ya, sejak kejadian di bandara, tidak ada kata kata."
Cowo itu berbalik membelakangi lautan, menghadap ke dinding.
"Kata kata apa.?"
Mardo menyambar.
"Ya apalah, minta maaf gitu."
Mardo menoleh, berubah wajahnya.
"Minta maaf?, nggak kebalik yaa?."
"Oh ya udah, aku yang minta maaf deh. Maafin ya."
"Huh, itu buat yang di bandara, yang buat kena kulit mangga?"
"Oh iya, sekali lagi minta maaf ya, sekalian kita kan belum resmi kenalan."
Sembari bergeser makin mendekat, sekarang berbalik lagi menghadap ke laut. Raka menyodorkan tangannya. Mardo melirik sekilas.
"Mardo."
Kata cewe itu, tak menyambut jemari Raka.
"Raka."
"Salaman dong."
"Nggak boleh!!!"
Oh, Raka menarik tangannya dan mendekap dada.
"Pinggir!!!"
"Apa?"
"Aku mau ke kamarku, pinggir, nggak bisa lewat."
"Ngapain ke kamar, enak di sini. Atau mau lihat yang di atas sana yuk."
"Nggak mau, makasih."
Raka terdiam, ia bergeser sedikit. Tapi masih sempit untuk dilewati.
"Di atas sana asyik, bisa melihat semuanya."
"Iya, terima kasih."
Masih bersikap dingin dan memusuhi.
"Boleh lewat nggak? kalau nggak boleh, ya udah aku memutar saja."
Mardo membalikkan badannya, terpaksa ia berjalan memutar menuju kamarnya.
"Hei tunggu, silahkan lewat."
Raka bergeser memberikan jalan.
Mardo menatap lekat lekat, setelah yakin barulan Mardo bergegas melewati Raka.
Raka menghembuskan napasnya, ia merasa lega. Sudah terbuka sedikit komunikasi dengan gadis cinta pertamanya. Bibirnya tersenyum lebar. Pagi yang sangat indah.
Vana sedang menelpun saat Mardo masuk, Ia langsung ke kamar mandi.
"Papa Brengsek!"
Terdengar Vana marah marah.
"Ada apa Van?" Mardo yang mendengar Vana hesteris replek bertanya.
Tapi Vana hanya menunduk menggigit bibirnya.
Mardo melihat Vana yang duduk bersandar pada lemari. Vana setengah terisak isak.
"Van, Vana!"
Mardo ikut berjongkok di hadapan Vana. "Ada kabar apa Van?"
Vana mengeleng-gelengkan kepalanya, "Nggak ada, biasa Do, Papa bikin kesal."
"Oh, sabar ya Van."
"Helloooo, Richi menunggu kita,ayoo ayooo.."
Terdengar suara Sarah Lee dan Halima yang membangunkan teman temannya.
"Iya kami menyusul."
Mardo membuka pintu kamar dan berteriak.
Ok.
Tampak cewe cewe itu berlarian keluar. Agaknya mereka akan ke Dek. Kata Richi kemarin setiap pagi ada acara senam erobik. Ada pembimbingnya. Pokoknya seruu.
Richi mengajak teman temannya menikmati olah raga pagi.
Tapi Vana tak mau ikut. Wajahnya tak bersemangat.
"Aku ingin sendiri."
Kata Vana dengan wajah sedih.
"Biar kutemani ya," tapi Vana menggeleng-gelengkan kepala.
"Pergi saja Do, aku nggak apa apa, sebentar lagi aku menyusul."
"Ok, aku harap semua baik baik ya."
Mardo menepuk nepuk pipi sahabatnya
"Aku pergi ya."
Vana menganggukkan kepalanya.
Gadis imut itu menggigit bibirnya. Tega Papa melakukan itu.
Terbayang perlakuan lelaki itu padanya. Pak Malik, ayah Vana memanggilnya untuk bicara berdua.
Vana datang ke kantor Pak Malik, Vana pikir mungkin menyangkut adik-adik atau Boni.
Alangkah kaget Vana mendengar lelaki ayahnya akan menikah lagi.
"Adik-adik memerlukan seorang ibu, juga kamu. Keluarga kita membutuhkan seorang ibu,
"Tapi Pah, aku bisa mengurus adik adik, mengurus rumah, juga mengurus Papa. Memangnya ada yang kurang Pah? Sudah kulakukan seperti yang Mama lakukan."
Pak Malik kesal sekali pada Vana. Tapi ia tak bisa menjelaskan tentang kebutuhan lain. Vana tak mengerti hal tersebut. "Adik -adikmu membutuhkan ibu."
"Tidak! adik-adik tidak membutuhkan ibu, ada aku dan juga Boni."
Vana berteriak-teriak di kantor Papa.
Vana gelisah, sudah larut tapi Papa tak juga pulang. Ia akhirnya tak bisa menahan kantuk dan menyuruh Boni menunggu pak Malik. Boni yang membukakan pintu untuk pak Malik. Pria itu berterima kasih pada Boni dan menyuruhnya pergi tidur. Ia melihat anak anaknya yang masih kecil.
Beberapa menit, pak Malik membersihkan dirinya. Lalu pergi ke kamarnya.
Bunyi hujan deras serta pohon pohon yang terhempas membuat malam itu mencekam.
Vana tertidur pulas, angin yang dingin membuatnya semakin nyenyak. Ia merasakan tubuhnya melayang dibawa kesebuah tempat. Vana terkesiap saat merasakan sesuatu yang berat menimpa tubuhnya.
"Pah, Papah, apa yang papa lakukan?"
Laki-laki itu membeku di sisinya. Vana meraba tubuhnya yang telanjang bulat.
"Papah! kau memperkosaku!"
Vana sangat hancur, ia menangis terisak isak.
"Ini salahmu! kau tak membolehkan Papah menikah, memangnya kau mau melayani kebutuhan yang satu itu? pikirkan permintaan Papa!"
Vana, semakin menangis, ia benci sekali laki laki itu, ia mengutuk pak Malik.
Terhuyung Vana kembali ke kamarnya.
Buk! buk! Vana memukuli lemari dengan tangannya.
Bayang bayang Papa yang menindihnya dan ucapan dingin yang menyakitkan hati.
"Aku benci pada Papa! aku benci Papa."
Berkali kali Vana mengucapkannya. Air mata bercucuran di pipinya.
Ingin rasanya Vana bunuh diri, tidak berguna lagi dirinya. Dan ayahnya sendiri yang memberikan noda itu.Namun tangisan Riri, Titi, Dede, juga Lili membuatnya harus melupakan kemalangannya.
Vana harus bertahan, dan berusaha melupakan perbautan Papa.
Gadis itu tetap bersikap seperti biasanya. Mengurus adik-adiknya yang masih kecil kecil. Memberi Boni tugas sehari harinya, belajar dan menyiapkan keperluan Papa. Tidak ada yang berubah. Hanya saja dalam hatinya sekarang ada bara api kebencian.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Mommy Gyo
10 like hadir sy, 🥰
2021-09-19
0
Sis Fauzi
Minggu malam Pranaja berkunjung bawa bintang buat kamu Puan ❤️
2021-05-30
1
Neti Jalia
nyicil boom like lagi🤗🙏
2021-05-26
0