Hai, assalamualaikum pembaca Mangatoon
Selamat membaca kisah kasih dari kota Fak-fak, Papua
Raka dan Mardo. Semoga kalian suka ya, jangan lupa tinggalin jejak
Like, komen dan vote yaa, aku pasti membalas.
***
Meski semua anggota keluarga menentang kepindahan ke kota primitif, namun pada akhirnya keputusan ada di tangan Papi. Tak terbantahkan. Kepindahan itu adalah tugas negara. Pilihan hanya satu menerima penugasan atau dipecat.
"Kalian mau Papi dipecat? sekolah kalian akan terhenti, tidak ada uang saku, uang belanja. Kita akan hidup susah! kalian mau?"
Kalau sudah seperti itu barulah anak anak dan istrinya diam. Tidak ada yang lebih penting dari memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup.
Akhirnya keluarga itu berangkat pada dini hari yang dingin. Percuma terus menerus meminta Papi agar mengerti dengan pelajaran. Sebentar lagi sudah kelulusan, Mangara akan kuliah dan Mardo masuk SMU. Keduanya takut kalau pelajaran mereka terpengaruhi. Papi meyakinkan semua akan baik baik saja.
Nanti di kota tersebut anak anaknya akan mendapatkan pengalaman baru, udara yang lebih bersih dan segar. Paru paru juga akan sehat. Bahkan kalau perlu papi akan memanggil guru privat jika pelajaran menjadi alasan.
Tidak ada hal yang mencegah Papi mengajak keluarganya pindah ke kota Eksotik.
Sepanjang perjalanan Mangara membisu dan melipat tangan di dada. Mardo juga memejamkan mata. Ia Sedih harus berpisah dengan teman akrabnya. Memang mereka berjanji akan terus berhubung. Mangara dan Mardo masih kesal pada Papi yang tidak membiarkan mereka tinggal di Jakarta.
Beberapa jam berikutnya pesawat mendarat. Mardo pikir sudah sampai kota tujuan. Ternyata mereka transit di bandara Patimura. Mardo mengambil foto fotonya pertanda ia pernah ke bandara tersebut. Sekitar satu jam beristirahat selanjutnya mereka naik ke pesawat dan terbang.
Menjelang senja barulah mereka mendarat di bandara Zepman. Kata Papi, terpaksa mereka menginap satu malam di hotel dekat bandara. Tak ada lagi penerbangan ke kota tujuan. Hanya satu kali penerbangan setiap hari ke kota itu. Sudah bagus, kalau dulu seminggu sekali baru ada penerbangan. Orang yang akan ke kota Eksotik mesti menginap di hotel selama seminggu jika ia ketinggalan pesawat pas hari keberangkatan.
Bandara Zepman saat itu berada di tengah belantara dan dekat pantai. Mardo sempat melihat barisan penduduk asli berdiri mengawasi bandara. Tak terlalu jelas. Namun wajah dan tubuh mereka diberi warna serta hiasan hiasan mencolok. Kadang terdengar tetabuhan dan nyanyian yang timbul tenggelam terbawa angin. Entah apa yang mereka kerjakan. Mungkin merasa aneh dengan pesawat pesawat yang datang dan pergi ke langit.
Awalnya Mardo takut, tapi Papi bilang penduduk asli itu masih sangat lugu. Justru mereka yang takut dengan pendatang. Lantas dua pria penduduk asli menghampiri. Keduanya menawari hotel dan membawa koper koper. Agaknya Papi mengenal kedua pria asli Papua itu. Papi menyerahkan koper koper untuk dibawa dan mengajak keluarganya ke hotel.
"Hotel terbaik ini nona, Papi sudah pernah menginap di hotel itu."
Salah seorang dari pria Papua itu meyakinkan Mardo.
"Nanti kami mau ke restoran, ada ikan dan lobster segar?"
Papi memesan makanan di restoran, pria itu berjanji akan ke restoran melihat pesanan Papi.
Kamar yang luas dan nyaman. Papi tau Mardo sangat suka tidur di hotel. Ketika kecil, saat sakit atau rewel selalu minta tidur di hotel. Setiap akhir tahun Papi selalu berusaha pergi ke luar kota membawa keluarga kecilnya. Mereka akan menginap di hotel dua hingga tiga malam.
Yang paling senang tentunya adalah Mardo. Ia sangat menikmati tidur di kamar hotel yang dingin, bersih serta punya fasilitas lengkap. Maka kali ini papi memilihkan kamar yang besar dengan balkon menghadap ke laut. Papi harap anak gadisnya tersenyum lagi.
Upaya papi tak sia sia, kamar hotel itu sangat nyaman. Sayup sayup terdengar debur ombak di kejauhan. Mardo membuka pintu balkon, ada dua kursi mungil serta meja untuk menikmati pemandangan. Gadis itu menghirup angin laut yang menerbangkan rambut dan bajunya.
Mata gadis remaja itu menyipit menatap ombak yang berkejaran ke pantai. Ada beberapa anak yang masih bermain bersama ayahnya. Mardo lantas mendengar telpun kamar berdering. Patricia berlari mengangkatnya. Ia dengar pembicaraan mami dan adiknya.
"Setelah istirahat lalu mandi, Papi sudah pesan masakkan seafood di restoran."
"Ok mom, siap!"
Sahut Patricia, segera ke kamar mandi, kalau soal makanan apa lagi seafoot Pat jagonya. Ia bisa menghabiskan satu udang lobster yang beratnya sekilo. Dia lebih dulu mengambil kesempatan mandi dan berganti baju.
Benar saja Papi sudah memesan makan malam di sebuah restoran tak jauh dari hotel. Lobster terhidang kemerahan serta menggugah selera. Dagingnya yang kenyal putih serasa sudah ada di mulut. Ikan tuna bakar serta bumbu kecap menyusul pula.
Beserta tambahan lain yang memenuhi meja. Mami mengambilkan dan mengisi piring Papi dan anak-anak. Terakhir baru piring Mami. Selanjutnya Mardo dan saudaranya memilih lauk yang disukai. Patricia mengambil satu lobster dan menaro di piring. Senyum merekah di bibir gadis kecil itu bakal menikmati makanan kesukaannya.
Manggara juga mengambil lobster, dan saosnya. Papi bilang lobster serta ikan tuna berlimpah, jadi harganya murah. Pertama kali mereka menikmati lobster bakar saat papi pulang dari kota eksotik. Seumur umur baru sekali itu mereka tau rasanya udang besar itu.
Rasanya enak luar biasa, di cocol dengan sausnya, ketagihan. Sampai papi mencari di restoran jakarta yang harganya ternyata sangat mahal. Beberapa kali papi membawa lobster ke Jakarta saat bersiap untuk kepindahan sekeluarga.
Papi melihat rumah, mobil serta fasilitas yang diberikan. Membeli beberapa barang untuk mengisi rumah dinas. Sehingga saat istri dan anak anaknya datang sudah siap. Pulangnya ia pasti membawa lobster.
Sekarang saatnya menikmati langsung lobster di restoran terbaik. Petani lobster langsung membawa lobster ke restoran. Masih hidup serta segar. Membuat rasanya enak gurih.
Kenyang sekali. Sampai nambah tiga kali he he he.
Sebelum masuk kamar, mereka sempat duduk duduk di lobbi hotel. Kebetulan ada yang sedang menyanyi. Suara pria itu lumayan merdu. Membuat orang orang menoleh lantas berhenti untuk ikut menikmati suara emas si penyanyi.
Papi, Mami dan Mangara hanya sebentar, mereka bergegas ke kamar. Sedangkan Mardo dan Pat terpukau oleh suara merdu itu. Tak sadar telah tiga lagu. Hingga akhirnya pria tersebut berhenti dan turun dari permainan pianonya. Ia tiba tiba mendekati Mardo dan Pat. Memandangi lekat lekat.
"Oh! kalian ini seperti anak anak om. Mirip sekali."
Mardo dan Patricia saling pandang.
Pria itu duduk di dekat mereka. Agaknya ia juga menginap di hotel tersebut.
"Kenalin, saya Ramon." Sembari menjulurkan tangannya.
Patricia yang ceria dan pemberani menyambut uluran tangan itu, "Patriacia, itu kakak Mardo namanya."
Mardo mengangguk dan tersenyum.
"Nama nama yang cantik, seperti orangnya, anak Om satu seusia kamu dan satunya juga sama. Makanya Om serasa bertemu mereka."
"Oh begitu ya om, makanya kita kaget tadi didatangi oleh om."
Pria itu tersenyum, " Sudah setahun Om tak balik ke Bandung."
"Kenapa tak balik om? kasihan anaknya pasti kangen."
"Pekerjaan om belum selesai, tanggung."
Mereka mengobrol beberapa menit, Mangara menjemput dan menyuruh segera tidur.
Mangara menatap curiga pada laki laki yang mengobrol dengan adik adik perempuannya. Mardo bilang, om itu hanya rindu anak anak perempuannya di Bandung. Oh, hanya itu jawaban Mangara, dia memang cuek.
Nyenyak sekali tidur Pat dan Mardo sampai sampai tak mendengar dering telpun dari Mami. Akhirnya gantian papi yang mengetuk ngetuk pintu. Barulah Mardo terbangun. Papi bilang penerbangan mereka tak lama lagi. Mesti bersiap dari sekarang.
"Ok Pi," kata Mardo setengah mengantuk.
Akhirnya mereka bergegas ke ruang pemberangkatan. Mardo berjalan paling belakangan, ia sedang menjawab telpun dari Putri yang menanyakan apakah sudah sampai di kota Papua?
"Belum, kami akan naik pesawat sekali lagi dan akhirnya sampai."
Agaknya Putri mengakhri telpunnya. Dan Mardo menaro ponsel tersebut ke dalam tas. Sepatunya terasa tak nyaman. Agaknya kemasukkan batu kecil. Saat menutup tas dan memeriksa sepatunya saat itulah.
Buk!
Auuu!, Mardo merasakan dadanya sakit dan ia terhuyung ke belakang. Jatuh terjerembab.
Raka sangat terkejut. Mendadak di depannya seorang gadis tengah berusaha bangun dan menatap kepadanya sangat marah.
"Dasar ceroboh! jalan tak hati hati sampai menabrak orang, sakit tau!"
Kontan Mardo berteriak dengan mata membesar dan bersorot marah. Terlihat jelas bibirnya meringis
dan mengigit bibir bawahnya.
"Ngapain kamu di situ? nanti kena injak baru tau!"
Ucapannya dingin dan merasa tak bersalah. Hal yang membuat gadis itu buru-buru bangun dan menyalak.
"Heh! kamu menabrak saya! pasang matanya! nggak usah gaya di bandara.
Mata dibalik kacamata hitam itu membesar. Ia terkejut oleh suara yang membentaknya. Membuat
jantungnya mau copot. Seumur-umur baru sekali itu ada yang marah dan hesteris kepadanya.
Baru saja ia akan membalas saat ia mendengar di belakangnya suara laki-laki.
"Mardo! cepat, kamu mau ketinggalan pesawat ya?"
Gadis itu menepiskan tanah di celana jeansnya, sekali lagi menatap Raka dengan pandangan setajam silet.
"Jalan slengean, untung bukan nenek-nenek yang ketabrak. Dasar cowo ceroboh!"
Sembari berlari kecil menyusul laki-laki yang tadi memanggilnya.
"Hei, tunggu! kita belum selesai!"
Tapi Mardo sudah menghilang di belokkan.
"Gadis gila, dia yang meleng aku yang dituduh jalan slegean, dasar dia!"
Kejadian itu membekas sangat dalam. Raka tak bisa melupakan wajah cantik, putih bersemu merah, bibir berbentuk ketipisan yang mungil. Suara mengaduh kesakitan dan kemudian tatapan kemarahan. Seumur hidup belum ada gadis yang membuatnya berhenti serta terpana. Bahkan ia kena marah seperti anak kecil. Belum ada kejadian seperti itu. Raka sempat kebingungan sesaat.
“Apa kah kita hanya berdiri saja di sini
Dua teman yang menemani perjalanannya berbisik bisik. Barulah ia tersadar dan menatap ke duanya
bergantian
“Kalian! kenapa diam saja? Cewe itu teriak teriak di mukaku seperti aku ini seorang pecundang, kalian malah diam saja seperti patung!"
Dua orang itu saling tatap
“Ma-masalahnya kami pun terkejut dan bagai tersihir, bukan begitu Den"
"Iya benar.
“Hah! Kalian ini!”
Mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Namun pria yang belakangan memungut sesuatu dan
menggenggamnya. Raka melihatnya dan meminta benda itu, agaknya sebuah hiasan rambut.
Di dalam pesawat menuju Jakarta, dua orang tadi masih membicarakan teman mereka.
“Agaknya hukum karma memang berlaku. Selama ini dia yang meneriaki gadis gadis.
Berlaku kejam dan galak."
“Gadis tadi mampu membuatnya terdiam seribu bahasa.”
"Dasar ceroboh! ha ha ha."
Dua teman pria yang bernama Raka Bramantyo itu tertawa sembunyi sembunyi."
“Mungkin itu jodohnya, gadis tadi meski kelihatan lembut tapi ia punya aura penakluk.”
“Huu, jangan bicara jodoh. Kita masih terlalu muda. Perjalanan masih sangat panjang."
"Tapi kita bertiga belum pernah punya pacar," mereka saling bertatapan.
"Bagaimana kalau Raka punya pacar? wah! tidak boleh terjadi!"
Keduanya lantas terdiam, sementara orang yang mereka bicarakan sedang tenggelam dalam lamunan. Ia berdebar saat mengingat kejadian tadi. Ia dan gadis belia itu saling menatap. Ia terpukau sementara si gadis meneriakinya. Kalau gadis lain sudah ia dorong. Tapi kenapa rasanya seperti tersihir?
“Dasar ceroboh!”
Terdengar teriakkan itu. Berulang ulang di telinganya. Tapi terdengar merdu di telinganya.
Suara yang cepreng, halus dan lembut, tak terdengar serta tak terasa kalau itu kemarahan. Ia tadi terpana, terpesona oleh kecantikan belia gadis itu. Rambutnya yang tergerai menjuntai mengikuti geraknya. Begitu sempurna dan menawan. Tapi pertemuan mereka kenapa seperti itu? Gadis belia itu sangat marah.
Jelas bukan hanya dirinya yang telah membuat ledakkan kemarahannya. Memang ia menabrak tubuh gadis itu yang lunak dan lembut.
"Oh," mendekap mulut.
'Aku mengenai sesuatu yang lembut di dadanya. Oh apa itu buah dadanya?'
Senyuman geli terukir dibibirnya, "Oh, pantaslah ia begitu marah."
Temannya hanya geleng geleng kepala melihat tingkah aneh itu.
“Hari ini ia sangat berbeda. Bukan Raka Bramantyo yang biasa.”
"iya,kau benar."
Raka masih terus mengingat benda lembut yang mengenai lengannya, bibirnya melongo
ia berdebar-debar.
"Dasar ceroboh!" mengikik geli diam diam dan menyembunyikan tawa mereka.
Terdengar ledekkan dua temannya yang duduk di sebrang. Ia melempar keduanya temannya
dengan kertas yang diremas.
***
Sementara itu.
Mardo dan keluarganya baru saja tiba di sebuah landasan pesawat di tengah hutan. Banyak penduduk asli pedalaman berambut gimbal. Pesawat merupakan benda yang aneh dan luar biasa bagi mereka. Jika ada pesawat yang datang, mereka bermunculan dari balik hutan.
Menonton apa saja yang dilakukan pendatang. Jika sudah selesai mereka pun hilang di balik hutan. Mardo sempat melihat orang orang itu dan merasa takut. Mereka tidak memakai baju, melainkan telanjang. Memang ada sebuah benda yang diikatkan di pinggang dan tongkat yang bagian bawahnya berbentuk bulat menutup kelamin.
Apakah itu yang dimaksud dengan koteka? teman temannya di jakarta ribut membicarakan koteka saat tau ia akan ke Papua. Mardo tak tahan untuk tidak tersenyum. Mereka bilang, betapa beruntungnya Mardo. seusia dirinya sudah melihat barang laki laki. 'Kurang ajar mereka, ia tersipu mengingat kejahilan teman temannya.
"Kenapa senyum senyum Non, ada yang lucu kah?"
Tiba tiba laki laki yang membawa barang barang menegurnya. Laki laki itu juga berkulit hitam, rambut gimbal dan bibirnya tebal. Dia juga penduduk asli Papua. Namun sudah berpendidikan di kota. Pastinya ia sekolah dan bekerja di kantor.
"Apakah itu yang dipakai koteka?"
Mardo berbisik sembari menatap pada penduduk asli yang berjajar di tepi bandara.
Anak muda asli Papua itu mengikuti arah mata Mardo, lantas mengangguk.
"Iya non, mereka memakai koteka."
Sebagian besar penduduk Papua masih berada di pedalaman hutan hutan. Mereka masih mempertahankan adat istiadat leluhur. Hanya sebagian kecil saja yang sudah mengikuti kebiasaaan dan kehidupan orang orang yang tinggal di kota.
"Apa mereka tidak takut digigit nyamuk?"
Mardo penasaran betapa kuatnya mereka di alam terbuka seperti itu.
"Ha ha ha."
laki laki itu tertawa, "Mereka sudah kebal non."
Oh, Mardo hanya melongo.
Mereka telah berhasil menuruni terjalnya batu karang. Di hadapan mereka terbentang lautan biru yang luas. Sebuah perahu motor bersandar di bibir batu karang. Papi dan Mami berpegangan tangan turun ke bawah.
"Ayo Mi, tidak apa apa hanya sebentar."
Mami dan anak anak memandangi lautan tak bertepi, dalam dan penuh rahasia.
"Iya, maaf Bu. Hanya ini jalan menuju kota. Memang pemerintah sedang memecah batu untuk membuat jalan, setahun lagi baru selesai."
Laki laki yang menjemput menjelaskan pada Mami. Terpaksa mereka semua masuk ke dalam perahu motor yang memuat sepuluh hingga lima belas orang. Setelah semua naik ke perahu, berputarlah perahu tersebut dan bergerak cepat menuju kota eksotik.
Hanya beberapa menit terlihatlah pemandangan kota Fak-fak. Papi dan keluarga lebih suka menyebutnya kota eksotik. Bangunan pembatas yang tinggi di pelabuhan seperti pintu gerbang memasuki kota. Ada kapal besar yang sedang bersandar. Serta ratusan perahu motor memenuhi pantai sekaligus pelabuhan. Mereka menunggu sebentar hingga bisa mendekat ke bibir dermaga.
Beberapa laki laki dan perempuan sudah menunggu di halaman dermaga. Mereka adalah rombongan karyawan tempat Papi berdinas. Setelah saling bersalaman rombongan itu menuju sebuah rumah mewah. Rumah milik seorang pengusaha perkapalan.
Mereka akan bersantai serta makan siang di rumah pengusaha tersebut.
Di halaman rumah megah itu berdiri menyambut si pengusaha bersama istri dan putranya. Rombongan di ajak masuk ke sebuah ruangan besar. Minuman segar dan kue kue yang enak telah terhidang. Sejenak mereka berbincang bincang santai, tertawa dan mengucapakan selamat bertugas. Akhirnya makan siang.
Mangara dan adik adiknya terpisah. Mereka di temani Richi yang ramah.
"Ayo coba dicicipi masakkan ibuku, semua ini ibuku yang memasak."
Richi tak canggung menjamu serta mengajak berbincang bincang, sehingga mereka berempat cepat akrab. Mardo
mengambilkan Patricia daging ikan bakar, sekalian buat dirinya juga.
"Hemmm, enak sekali daging ikan ini, kemarin kita juga makan ikan ini di bandara Zepman, tak bosan loh."
"Oh, kalian sudah menikmati ikan laut Papua ya. Ikan tuna ini banyak sekali di sini."
"Jika sore banyak nelayan yang menjual ikan bakar atau goreng di pantai. Banyak keluarga yang berjalan jalan menikmati senja di pantai. Kadang mereka menikmati ikan tuna bakar di sana, kadang membelinya untuk di rumah."
Richi menjelaskan panjang lebar.
"Pat, mumpung di sini banyak ikan. Kamu harus banyak makan ikan agar sehat dan pintar."
Kata bang Mangara.
"Iya, di sini ikannya besar besar dan dagingnya enak, aku suka. Di Jakarta ikannya kecil kecil banyak durinya."
"Itu ikan kembung Pat, Mami seringnya masak ikan kembung he he he."
Perempuan cantik ibu Richi menghampiri mereka. Dia bilang sebenarnya punya dua anak laki laki. Hanya yang satunya baru saja berangkat ke Jakarta tadi pagi. Ia bertiga dengan temannya. Mardo merasa kakak Richi tersebut adalah laki laki yang telah menabraknya di bandara.
Setelah selesai makan siang selanjutnya rombongan mengawal Papi dan keluarganya menuju ke daerah puncak. Jika di lembah dibangun pusat kegiatan perkapalan, tempat lelang ikan, pertokoan serta pasar. Juga pariwisata pantai.
Maka bagian yang berbukit bukit di atas, merupakan pusat pemerintahan kota tersebut. Sekolah, rumah sakit, gedung pertemuan, mall juga kompleks serta perumahan pejabat berada di bagian atas. Mobil beriringan menuju puncak. Komplek rumah dinas Papi namanya Puncak kapas. Berada di bagian paling atas kota tersebut.
"Wau, seperti villa."
Gumam anak anak, saat turun dari mobil dan menatap rumah cantik di atas. Batuan berwarna hitam dipahat berundak undak untuk jalan naik ke rumah.
"Ok bapak dan ibu, silahkan beristirahat. Kami pulang dulu, sampai bertemu kembali."
Kembali bersalam salaman. Orang orang itu lantas pergi. Tinggal dua anak muda penduduk asli Papua. Mereka membantu membawa barang barang ke rumah. Setelah selesai mereka juga pergi.
Tinggallah Mardo dan keluarganya. Kata Papi, mereka bisa menempati kamar masing masing untuk beristirahat.
Patricia sangat senang dengan kamarnya, ia tak keluar keluar lagi. Begitu juga Mangara.
Mardo meregangkan tubuhnya, ia sangat kelelahan dan makan cukup banyak. Ia mengambil baju tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah mandi, Mardo menguap lantas naik ke pembaringan dan tertidur.
Ini adalah hari pertamanya tidur di kota terpencil. Namun ia mengakui bahwa kota itu sepintas sangat cantik, unik dan eksotik. Ia merasa jatuh cinta dan suka pada kota tersebut.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Alcander
mantappp
2022-09-03
0
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
bs detail gt tmpt ny kak
2022-02-28
0
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
jd pgn lobster 😍
2022-02-28
0