"Tenang ya Do, kakakku akan mengurus masalah ini. Mereka sudah menemukan Vana. Kita akan bertemu lagi dengannya."
Richi berusaha menenangkan Mardo yang terus menerus menggigit bibir dan mondar mandir tak bisa diam. Ia memikirkan Vana, ada apa dengan temannya itu?"
Vana menunduk dan menatap kepergian Mardo beberapa saat yang lalu. Kembali teringat kata kata Papa di telpun.
"Itu semua kesalahanMu. Bukan kesalahan Papa!!!"
"Papa tak pernah merasa bersalah! bahkan atas kematian Mami!"
"Jangan bawa bawa Mami yang sudah tenang di sisi Allah, Ini masalah sekarang."
"Papi akan menyesal!"
Vana menutup handphonenya. Air matanya kembali mengalir. Teringat kematian maminya yang tragis. Gantung diri di kamarnya. Oh Mami, kenapa kau lakukan itu. Vana menangis lagi.
Ia memang tidak tau yang terjadi. Karena ia sedang sibuk dengan teman-temannya. Pelajaran dan sekolahnya. Ia jarang ada di rumah. Mami mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendirian. Mereka memang memiliki satu pelayan laki laki. Namanya Boni. Dia seorang remaja penduduk asli Papua. Semula Boni bekerja di kantor Papi. Dia rajin dan cekatan. Juga tak malu mengerjakan apa saja. Papa kemudian mengajak Bona bekerja di rumah, Untuk mengurus mobil, kebun dan untuk keamanan. Tapi berjalannya waktu sekarang Bona mengerjakan semuanya. Termasuk memasak dan memberi makan adik adiknya.
Seminggu sebelum kepergian Mami, mereka sempat bicara. Mami memanggil Vana dan mengatakan sesuatu.
"Van, kamu anak mami yang paling besar. Seorang kakak untuk empat orang adik."
"Iya Mi, Vana tau."
Jawabnya acuh tak acuh.
"Mami harap kamu lebih perhatian pada adik adik, rumah dan Papa. Jangan sibuk mengurus diri sendiri saja."
"Vana kan sibuk belajar Mi, sebentar lagi ujian kenaikan kelas."
"Iya Mami ngerti, Ini kan untuk kedepannya. Sebagai seorang kakak, jangan lupa memberikan perhatian di rumah."
Mami menatap dirinya. Saat itu Vana hanya mengangguk. Mami tersenyum sangat manis, lalu meraih kepalanya dan memeluknya.
Ternyata, itu adalah pesan Mami terakhir. Suatu sore sepulang sekolah Vana terkejut melihat rumah ramai oleh tetangga. Dan adik adiknya menangis ketakutan bersama Boni.
"Ada apa?" Jantung Vana berdetak kencang. Ia menerobos masuk ke kamar Mami dan mendekap mulutnya melihat tubuh Mami sedang diturunkan dari gantungannya. Kengerian menyekap Vana. Ia menjerit hesteris Mami!!.
Hari itu jiwa Vana terguncang. Serasa sebelah jiwanya pergi bersama ibunya.
Ia mulai menyadari sesuatu.Mami kesepian dan merasa terabaikan. Papa yang sibuk di luar kota dan jarang pulang. Dan dia juga yang tak pernah perduli pada Mami dan adik adiknya. Vana menyesal sangat menyesal. Tak habisnya Vana menangis dan bersedih.
Papa juga terguncang, tetapi setelah satu tahun kepergian Mami segalanya berubah. Papa kembali sibuk dengan proyeknya di luar kota. Dan yang membuat Vana marah karena Papa beberapa hari yang lalu bilang ingin membawa ibu baru bagi mereka. Vana menentang keras. Ia sudah berusaha keras menggantikan Mami. Ia mengurus adik adik, rumah dan melayani keperluan Papa. Semua serasa sia sia, Papa tak menganggap sedikit pun pengorbanannya. Dan malam itu, Papa menggendongnya ke kamar. Vana tersadar saat tubuh besar dan berat itu menindihnya."
"Oh, aku tak sanggup lagi."
Gadis belia itu berdiri lantas berjalan ke pintu. Selanjutnya Vana berjalan sembari merasakan hatinya yang perih.
Tidak ada yang memperhatikan gadis itu. Tidak ada penumpang yang perduli. Masing masing mengurus diri mereka sendiri. Setelah menyusuri jalan-jalan di kapal akhirnya Vana sampai di Buritan.
Di sana sepi, ada beberapa orang yang tersembunyi oleh dinding. Vana pergi ke sudut, ia berusaha tidak menarik perhatian. Vana menikmati angin laut yang menerbangkan rambutnya. Baju-bajunya. Lantas Vana melepaskan sendalnya, perlahan dia mulai naik ke atas dinding. Saat yang sangat menegangkan ketika para awak kapal berdatangan ketempat itu. Salah seorang menarik perhatiannya dengan bicara. Seorang lagi dengan sigap melompat dan meraih tubuh Vana. Keduanya bergulingan di lantai. Drama itu berakhir dengan awak kapal membawa Vana ke ruang berobat.
"Vana di ruang perawatan!"
Richi berteriak sembari menarik lengan Mardo berlari ke ruang perawatan.
Keduanya muncul di pintu, ada kak Raka, Deni, Sammy dan dua awak kapal yang telah menyelamatkan Vana.
Raka melihat kedatangan Mardo bersama Richi. Mereka sedang menunggu dokter memeriksa Vana.
"Untung saja tidak terlambat, Vana ingin melompat ke laut. Saat kami datang Vana sudah naik ke dinding, Uch ngeri membayangkannya."
Awak kapal menceritakan kronologi Vana yang ingin melompat ke laut. Raka berdehem menolehi Richi dan Mardo.
"Agaknya teman kalian ada masalah, sebaiknya lebih memperhatikan dan jangan meninggalkannya sendirian."
"Baik kak, terima kasih atas pertolongannya."
Richi mengucapkan terima kasih, Mardo hanya menunduk, tak habis pikir, ada apa dengan Vana. Kenapa ia nekat melakukan kebodohan itu.
Raka lantas bergegas pergi dan tak menoleh lagi. Ia merasa dadanya seperti di pukul dengan godam besar. Ia tak menyukai pemandangan tadi. Saat Richi dan Mardo masuk ke kamar perawatan. Keduanya berpegangan tangan. Ketika ia menolehi dengan mata yang tajam, barulah Richi melepaskan jemarinya.
Deni dan Sammy saling menatap, " Bagaimana ini? apakah akan terjadi perang dunia ke tiga?"
"Bisa saja, dan itu sangat mengerikan."
Brrr!, kedua cowo itu bersikap seperti ketakutan dan kedinginan.
Mardo menggigit bibirnya, ia menatap Vana yang masih belum siuman. Ia bingung bagaimana mengabarkan hal itu pada keluarga Vana. Sementara mereka baru saja berangkat. Richi mengerti apa yang dipikirkan oleh Mardo. Ia berusaha menenangkan gadis belia itu.
"Sebaiknya kita menunggu Do, tak perlu mengabari orang tua Vana. Nanti jika Vana sudah siuman dan membaik baru kita tanyakan, apakah liburan ini berlanjut atau kita kembali?"
"I-iya Rich, aku setuju denganmu, kita menunggu Vana siuman.
"Kita sarapan dulu yuk Do, ini sudah siang. Perutku keroncongan."
"Bagaiman Vana?" Mardo tak tega meniggalkannya sendirian.
"Ada suster yang menjaganya, nanti kita ke sini lagi, Bersama teman teman.
"Rich."
Mardo menatap lekat lekat mata Richi.
"Kita tak perlu mengatakan tentang Vana yang ingin melompat ke laut bukan?"
"Iya, teman-teman tidak perlu tau. Kita bilang saja Vana mendadak sakit dan sedang di rawat."
Keduanya tersenyum, menyetujui kesepakatan itu. Setelah itu mereka beranjak ke restoran.
"Mardo! Richi!, kami menunggu sejak tadi, kalian kemana saja?"
Suara panggilan itu membuat Raka menoleh, hatinya bergejolak melihat kemunculan Richi dan Mardo.
Deni dan Sammy juga ikut menoleh.
Richi menghampiri teman-temannya dan menyuruh memesan makanan yang mereka sukai. Richi juga akhirnya mengatakan habis mengantar Vana ke tempat perawatan. Teman-teman terkejut mendengar Vana sakit.
Richi menenangkan dan mengatakan Vana mungkin mabuk laut.
Barulah mereka semua tenang dan menikmati makan pagi yang terlambat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Naufal Naufal
musiknya mengganggu
2024-05-09
0
Yukity
Hadir lagi kak...
semangaaaat...
salam dari
Gadis Tiga Karakter
2021-08-29
0
Yeni Eka
Like
2021-07-25
0