kakek tua

Sean berlari kencang tanpa menggunakan alas kaki. Pikirannya kosong. Hanya satu yang ia ingat adalah mengakhiri rasa pilu dan getir dalam hidupnya.

Ia berlari tanpa arah. Tak ada ujung jalan di matanya. Ia berlari meski bulir bening terus menetes di pipinya. Isak tangisnya semakin pecah saat orang-orang memandangnya sinis.

Ahhh! Lengkap sudah hidup getirnya. Orang-orang menatapnya seakan-akan mengejek. Mereka saling berbisik ketika Sean berjalan melintasi orang-orang yang menatapnya tajam. Apalagi melihat tubuhnya yang lusuh bak tunawisma jalanan.

Aku lelah Tuhan! Bisakah aku menyudahi hidupku?

Pikirannya terus berkecamuk. Niat untuk mengakhiri hidupnya semakin mantap. Namun, satu yang terlintas dalam benaknya. Bagaimana nasib anaknya kelak jika ia mengakhiri hidupnya?

Sean menghentikan langkah kakinya. Hatinya remuk mengingat seorang bayi yang belum sempat ia berikan nama. Bayi yang kulitnya masih memerah tergeletak dilantai tanpa kehangatan seorang ibu.

Anakku? Apakah aku harus kembali lagi? Tuhan ... berikan aku arah, kemanakah aku harus pergi?

Sean terus larut dalam lamunannya. Ia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Antara galau, bimbang tetapi keputusannya tak mau diubah.

Semoga ini jalan terbaikku. Sudah tidak ada lagi yang ingin mendengar cerita piluku. Sudah tidak ada lagi orang yang mau melihatku. Bahkan sudah tidak ada lagi orang yang mau menolongku!

Sean kembali melanjutkan jalannya. Ia berjalan setengah berlari. Keputusannya semakin mantap untuk mengakhiri sisa hidupnya.

Ya ... Tuhan ... Aku titipkan anakku padamu ... Tolong jaga dia!

Sean terus mengucap permohonannya dalam doanya. Ia berlari kencang mencari arah. Arah tujuan tempat ia mengakhiri semua ini.

Matanya tertuju pada sebuah jembatan. Banyak kendaraaan yang berlalu-lalang di sana tapi tak ada seorang pun yang melintas di area jembatan itu.

Sean menghentikan larinya setelah berada tepat di depan jembatan. Dibawahnya terbentang sungai yang begitu luas yang tak diketahui dimana hulunya.

Sean mengingat-ingat setiap orang yang telah menyakitinya. Sang mama yang meninggalkan lebih dulu saat hari dimana ia merasakan sakit yang luar biasa, kegadisannya telah terenggut.

Sang papa, pria yang tega membuang putri semata wayangnya. Orangtuanya itu memilih membuang putri satu-satunya daripada harus mencoreng nama baik keluarganya. Sean terpaksa harus melepaskan kehidupan mewah yang selama ini dinikmati. Sehingga disisa hidupnya ia menderita karena selama masa pernikahan hidup dalam kemelaratan.

Sang suami, pria yang lebih jahat dari segalanya. Awal dan akhir yang membuat Sean terpuruk dalam hidupnya saat ini. Pria yang suka malas-malasan tak mau menafkahi dirinya dan anak mereka. Hingga membuatnya harus bekerja banting tulang meski hasil pekerjaanya tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-harinya.

Ketiga orang itu membuat dada Sean semakin sesak. Ia menarik nafas panjangnya untuk menghirup oksigen sekitarnya lalu membuangnya dengan cepat. Berkali-kali itu ia lakukan demi menenangkan dadanya yang semakin sesak.

Semoga kisahku ini jadi pembelajaran untuk kalian! Dengan keperginku, kalian akan merasa lebih menderita dari diriku seperti disaat aku masih hidup.

Sean sudah semakin yakin untuk mengakhiri hidupnya. Ia mulai memanjat jembatan yang terbuat dari paduan semen dan besi.

Sean mengedarkan pandangannya memastikan tidak ada orang satupun yang mendekat. Ia tidak ingin ada orang yang menghalangi keputusannya.

Kaki kanannya mulai melangkah, menaiki satu-persatu penyanggah besi pada jembatan itu. Hingga akhirnya ia berada dipenyanggah paling teratas.

Ia mencoba menyeimbangkan tubuhnya tepat diatas jembatan itu. Sesekali ia melihat ke bawah, ada rasa ketakutan dilubuk hati paling terdalam.

Fiuuuuhh

Sean membuang nafas kasarnya. Semakin menyakinkan hatinya untuk melompat dari jembatan itu. Melompat dari jembatan yang begitu tinggi hingga sehingga bisa menenggelamkan tubuhnya.

Ia mulai memejamkan matanya perlahan. Menampilkan senyum kecutnya. Kedua tangan juga ia bentangkan. Tubuhnya mulai ia lemaskan.

1 ... 2 ... 3 ...

Aba-aba itu keluar dari mulutnya. Ia mulai melemaskan tubuhnya serasa tak bertulang.

Huuuuuffttt

Tubuh itu mulai tak memiliki keseimbangan. Sean sangat pasrah dengan hidupnya. Ia sangat yakin ini adalah solusi akhir untuk kehidupannya.

Tubuh itu serasa melayang. Namun, belum sempat terjatuh ke bawah, tiba-tiba seperti ada orang yang dengan sengaja menahannya. Menarik tangannya begitu erat.

"Aaaaaaaaakk," pekik Sean ketika seseorang dari atas sana menangkap tangannya.

Sean melihat kebawah, air sungai terus mengalir mengikuti arah hulunya. Sekarang ia merasakan ketakutan yang begitu mendalam.

"Lepaskan aku!" rintih Sean berteriak.

Seseorang diatas sana terus mencoba menarik tubuh Sean yang mau terjatuh kebawah. Seorang kakek tua dengan tenaga seadanya terus menarik tubuh Sean yang lemah.

Sean bahkan mencoba melepaskan genggaman tangan kakek tua itu. Tapi justru tidak bisa. Genggamannya begitu erat. Tubuhnya terseok-seok semakin ke atas mengikuti tarikan kakek tua itu.

"Aaaaak! Kek lepaskan aku!" gerutu Sean karena keputusannya hampir gagal.

"Diam!" titah Kakek tua itu dengan tegas.

Ia terus menarik tubuh Sean hingga berhasil menariknya hingga membopongnya ke tepi jalanan.

"Aaaaa! Kenapa kakek menolongku. Aku ingin mati!" Sean mengacak-acak rambut kusutnya karena frustasi, rencana bunuh dirinya telah gagal.

"Suatu saat kau akan berterimakasih karena aku telah mencegahmu bunuh diri," ucap Kakek tua itu tertegun.

Ia menatap raut wajah Sean yang lesu bahkan tak bersemangat untuk melanjutkan hidupnya. "Nak." Kakek tua itu menatap sangat tajam menggulum senyum tipisnya di sudut bibirnya.

"Kakek siapa?" pekik Sean semakin frustasi karena Kakek tua itu malah tak menjawab pertanyaannya.

Kakek tua itu meneliti tubuh Sean yang begitu lusuh. Daster tipisnya yang kusut bahkan kebesaran. Rambutnya acak-acakan. Matanya menghitam kelelahan. Wajahnya tampak pucat serta tak ada gairah hidup.

"Aku akan merubah takdirmu," lirih pria tua itu.

Sean terdiam, tidak mengerti apa maksud perkataan kakek tua itu. "Apa maksud kakek?"

Kakek tua itu mengulur tangannya, menarik tangan kanan Sean yang tersemat cincin kawin seberat 2 gram emas. Ia menatap lama cincin nikah itu tanpa bicara apapun.

"Kek!" tegur Sean. Ia masih bingung dengan sikap kakek tua itu. Bahkan tangannya tiba-tiba dipegang begitu lama.

Kakek tua itu menyorot kedua manik mata indah milik Sean. Menatap dengan kedua mata elang miliknya.

Lalu tiba-tiba Kakek tua itu membuka suaranya. Mulai mengucap kata-kata yang harus dicerna dengan baik oleh Sean.

"Jangan kau akhiri hidupmu, jika kau ingin merubah semuanya dan kembali kepada kehidupan awalmu. Lepaskan cincin pernikahanmu!"

Sean termenung. Dia bingung apa maksud kakek tua tersebut. Perkataannya begitu gamang, membuatnya semakin bertanya-tanya.

"Kek? Apa maksud kakek?" cecar Sean. Badannya masih terkulai lemas karena semua yang ia rencanakan telah gagal.

"Kek?! Jelaskan padaku!" teriak Sean ketika Kakek tua itu terus berjalan meninggalkan Sean seorang diri.

Sean masih tak mengerti apa maksud perkataannya tadi. Ia kembali mengingat perkataan kakek tua itu.

Cincin pernikahan?

Perkataan itu terus terngiang-ngiang dalam pikirannya. Matanya terpaku pada satu benda yang tersemat di jari manis tangan kanannya.

Ia menatap terus tanpa mengucap apapun. Matanya semakin tajam menatap benda berwarna keemasan itu. Ia mengangkat jemarinya ke atas ke arah langit. Kepalanya pun ikut mendongak ke atas menatap terus cincin pernikahan itu meski ia masih terduduk lemas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!