Helena menarik nafasnya dalam. Menatap air laut yang bergulung-gulung membentuk ombak. Semakin lama semakin tinggi. Ombak itu mendekat ke arah pantai lantas memecah dan hilang begitu saja. Begitu seterusnya, tidak pernah berhenti.
"Apa mereka tidak pernah lelah dan bosan? Tiap saat melakukan hal sama." Gumam Helena. Wanita itu tengah berada di sebuah pantai. Menenangkan diri konon katanya. Berangkat saat hari masih gelap, Helena sangat bahagia bisa melihat matahari terbit di ufuk timur.
"Cantik sekali," lirih Helena ketika melihat sinar kemerahan mulai menyeruak di sisi sebelah timur. Perlahan, cahaya itu mulai mengusir gelap yang masih menyelimuti alam. Helena sangat menyukai matahari terbit. Baginya, moment itu seperti sebuah harapan baru muncul kembali. Sebuah hari baru, hidup baru.
Wanita itu kembali menarik nafasnya. Teringat dengan kejadian kemarin. Pikirannya gundah. Apa yang akan dia lakukan? Jika dulu mereka punya kekasih masing-masing. Mungkin itu masih bisa didiskusikan. Tentang bagaimana jalan keluarnya, atau sebuah pilihan bisa dibuat.
Kemarin Helena sempat berpikir akan mencoba membuka hatinya untuk Arash. Mengingat, pria itu mulai berubah, juga pernyataan Arash yang mulai mencintainya. Tapi sekarang, dengan adanya calon anak di antara Arash dan Cia. Helena jadi merasa tidak punya harapan untuk menjadi istri Arash. Ada seorang anak yang lebih memerlukan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Helena tidak mau egois. Hanya karena dia juga mulai mencintai Arash, dia jadi wanita yang tidak tahu malu. Merebut ayah dari seorang anak. Helena menjambak rambutnya kasar. Bingung dan frustrasi mengisi kepalanya. Apa yang harus dia lakukan? Kembali, pertanyaan itu yang terngiang di telinganya.
Kaki Helena mulai melangkah, berjalan di tepi pantai sambil menghirup udara yang masih segar. Beberapa kali menghindari ombak yang datang ke arahnya. Wanita itu merapatkan jaketnya. Mencoba mengusir udara dingin yang terasa menggigit kulitnya. Pagi terasa sangat menggigil saat berada di pantai. "Aku bukan siapa-siapa dibanding anak Arash yang berada dalam kandungan Cia," batin Helena.
"Kamu di mana?" suara seseorang terdengar di ponsel Helena. Wanita itu hanya menjawab "tempat biasa". Helena lalu kembali menyimpan ponselnya. Mengabaikan puluhan panggilan dan pesan dari sang suami, Arash. "Ahhhh, aku harus mulai membiasakan hidup tanpanya," tekad Helena.
Cukup lama wanita itu duduk di pasir pantai seorang diri. Hingga sebuah tepukan di bahu Helena, membuat wanita itu menoleh.
"Ada masalah? Kenapa sampai lari ke sini?" tanya pria itu.
"Aku sedang galau," jawab Helena sendu. Pria itu lantas ikut duduk di samping Helena. "Evan, bagaimana kau tahu aku ada di sini?" Wanita itu melihat ke arah Evan. Keduanya masih berstatus kekasih sampai sekarang. Belum ada kata putus di antara mereka.
"Aku sangat mengenalmu, kau tidak ingat?" Evan menjawab santai. Merapikan rambut Helena yang beterbangan karena tiupan angin. Melihat sikap Evan, hati Helena kembali goyah. Bingung kembali menerpa hatinya.
"Sedang sedih?" tanya Evan sambil merengkuh tubuh Helena dalam pelukannya. "Atau bertengkar lagi dengan pria itu?" tambah Evan. Ada nada tidak suka ketika Evan menyebut "pria itu". Sampai sekarang Evan tidak menerima pernikahan Helena dengan Arash.
"Bisa tidak, jangan membicarakan dia kalau kita sedang berdua?" Helena semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Evan. Mencari kenyamanan dari pria yang dulu selalu menjadi tempat ternyamannya kala sedih dia rasa.
Evan terkekeh mendengar gerutuan Helena. Mereka sudah sepakat untuk tidak membicarakan Arash saat sedang berdua. "Mau cari sarapan atau bagaimana?" Evan bertanya sambil meletakkan dagunya di puncak kepala Helena. Keduanya terlihat begitu mesra. Benar-benar pasangan kekasih yang ideal.
Ada rasa nyaman kala Helena bersama Evan. Sejak dulu, pria itu mampu membuat Helena merasa baik-baik saja, meski Helena sedang tidak baik-baik saja. Pria itu selalu tahu kapan Helena membutuhkan pelukan hangat darinya. Atau sekedar tempat untuk mencurahkan isi hati. Evan tahu cara memposisikan dirinya. Satu hal yang membuat Helena benar-benar beruntung memiliki Evan sebagai kekasih.
"Kita cari sarapan lalu pulang, bagaimana?" tanya Evan.
"Aku sedang tidak ingin pulang hari ini," jawab Helena. Melingkarkan tangannya ke lengan kekar Evan. Seulas senyum tipis terbit di bibir Helena.
"Aahhhh.... ini yang terbaik," seru Helena saat menerima semangkuk besar bubur seafood dengan antusias. Evan mengulum senyumnya melihat tingkah Helena.
Namun senyum Evan tidak bertahan lama. Detik berikutnya, wajah pria itu berubah sendu tanpa Helena sadari. Ada rasa bersalah bergelayut di hati Evan. Mengingat, semalam dia kembali menghabiskan malam berdua dengan Brigitta. Entah kenapa, Evan tidak bisa menolak saat Brigitta mengajaknya bertemu.
Di sini Evan merasa menjadi pria jahat. Dulu, pria itu tidak pernah berbohong pada Helena. Begitupun sebaliknya. Tapi sekarang, hidup Evan penuh dengan kebohongan. Selalu membohongi Helena saat dirinya sedang bersama Brigitta.
Sedang Helena, wanita itu sampai sekarang masih menjunjung tinggi kejujuran di antara mereka. Wanita itu sendiri yang memberitahu Evan kalau dirinya dipaksa menikah dengan Arash. Helena juga terima ketika Evan berhari-hari mendiamkan wanita itu karena marah soal pernikahan paksanya. Selama itu pula, Helena tidak pernah berputus asa, membujuk Evan untuk mengerti keadaannya. Meyakinkan sang kekasih kalau Helena hanya mencintai Evan seorang.
Tapi apa yang Evan lakukan sekarang? Pria itu justru mengkhianati Helena, dengan menjalin hubungan dengan sahabat Helena sendiri. Rasa bersalah memang Evan miliki. Namun dia juga tidak sanggup jika harus berpisah dari Helena. Meski kecewa dengan pernikahan Helena dan Arash, tapi Evan masih mencintai Helena, terlepas dari hal gila yang tengah pria itu jalani.
Sementara itu, Helena juga semakin meyakinkan diri untuk kembali mencintai Evan. Dan menutup rapat pintu hatinya untuk Arash, sang suami.
"Aku tidak mau menaruh harapan pada hal yang jelas bukan milikku," batin Helena sambil memakan bubur seafoodnya.
"Maafkan aku Helena, aku sangat mencintaimu. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Brigitta," batin Evan. Pria itu terus melihat ke arah Helena. Katakan Evan pria egois, tapi dia sendiri tidak bisa memilih satu di antara keduanya. Helena atau Brigitta. Pria itu bingung setengah mati tiap kali memikirkannya.
"Helena atau Brigitta?"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments