Arash benar-benar berada dalam dilema. Di satu sisi dia ingin mempertahankan rumah tangganya. Namun di sisi lain dia juga tidak ingin menyakiti Helena terlalu lama. Permintaan cerai Helena membuat kepala Arash sakit.
"Helen, kita perlu bicara," Arash mengetuk pintu kamar sang istri. Dia ingin memastikan kalau perpisahan ini benar-benar keinginan Helena. Bukan karena emosi sesaat atau karena Helena marah pada dirinya.
"Apalagi?" jawab Helena ketus. Mengenakan gaun rumahan berwarna biru membuat penampilan Helena terlihat berbeda.
"Ikut denganku," pria itu tanpa permisi, menarik tangan Helena menuju kamarnya. Helena jelas berontak ketika Arash menariknya masuk ke kamar pria itu.
"Tunggu dulu, kenapa kita masuk ke sini?" protes Helena.
"Mau bicara....kau pikir mau ngapain?"
"Cepat katakan!" Helena menyilangkan tangannya di depan dada. Arash seketika menelan salivanya melihat bagaimana cantiknya dada Helen.
"Malah diam!" Raung Helena. "Duh galak bener ni cewek!" keluh Arash dalam hati. Bagaimanapun, pria itu pernah melihat sebagian dada mulus milik Helena. Dan itu terlihat begitu menggoda.
"Ini soal perceraian yang kau minta. Apa kau serius?" tanya Arash mulai berubah ke mode serius. Helena langsung menatap tajam pada Arash. Apa Arash pikir, dirinya tengah bermain-main dengan keputusan sebesar ini.
"Tentu saja aku serius. Jangan bilang kalau kau belum bicara pada papamu?" todong Helena.
"Memang belum," jawab Arash.
"Aku serius ingin bercerai denganmu. Jadi bicara secepatnya dengan papamu," Helena berbalik, lalu melangkah ke arah pintu.
"Kalau aku tidak mau?" Tiba-tiba Arash mencekal tangan Helena. Lalu menghimpit tubuh sang istri ke dinding.
"Apa yang kau lakukan?" desis Helena panik. Arash berada tepat di hadapannya. Dengan tubuh bagian depan saling menempel.
"Aku kan sudah resmi jadi suamimu. Tidak seperti waktu itu. Jadi aku boleh dong minta jatah," ucap Arash santai. Helena langsung membulatkan matanya mendengar ucapan Arash.
"Jatah... di mimpimu!" detik berikutnya wanita itu menendang aset pribadi Arash. Membuat pria itu berteriak kesakitan.
"Helena ini masa depan kita," teriak Arash. Tapi Helena seolah tidak peduli. Wanita itu berlalu menuju pintu keluar.
"Bicara dengan papamu atau aku sendiri yang akan bicara padanya," ancam Helena.
"Busyet dah cewek satu ini," keluh Arash sambil menahan ngilu di bagian bawah tubuhnya. Selanjutnya pria itu menarik nafasnya pelan. Sepertinya dia tidak punya pilihan selain menuruti kemauan Helena.
Arash mendengus geram, ikutkan hati ingin mengikuti saran Ang dan Shan, bukannya berhasil malah ular kobranya kena tendang oleh sang istri. Apes bener hidup Arash.
****
"Jadi apa tujuanmu datang kemari?" tanya William, papa Arash. Hari itu, Arash sengaja datang ke kantor sang papa. Dengan tujuan ingin menyampaikan keinginan mereka untuk bercerai. Keinginan Helena sih sebenarnya.
"Persiapan pesta pernikahan kalian sudah hampir 85%. Gaun pernikahan Helena akan tiba minggu depan. Mamamu Valerie yang memilihkannya. Kalian tinggal fitting begitu mereka tiba. Meski mendadak untungnya hampir semua keluarga Liu bisa hadir," William tampak antusias dengan ceritanya. Sedang Arash malah tidak paham dengan apa yang sang Papa bicarakan.
"Pa....stop" Arash terpaksa menghentikan ocehan sang Papa.
"Ada apa? Apa kamu atau Helena punya permintaan khusus soal pestanya. Dekornya atau gaunnya atau apanya?"
"Pa....aku dan Helen ingin berpisah!" ucap Arash cepat.
Jedeerrrr, sama seperti Arash. Willian bak disambar geledek begitu mendengar perkataan Arash. Pria itu memicingkan matanya, menatap tajam pada sang putra.
"Apa yang sudah kau lakukan pada Helena?" tanya William tiba-tiba. Giliran Arash yang melotot ke arah papanya.
"Melakukan apa? Nyolek aja belum. Intinya kami ingin berpisah. Ingin bercerai. Helena tidak bahagia dengan pernikahan ini. Aku tidak bisa memaksanya. Arash tidak mau menyakiti Helena terlalu lama" Arash memberikan alasannya.
"Atau kau sudah menyakiti Helena?" William bertanya penuh selidik.
"Astaga Pa, memangnya apa yang bisa aku lakukan pada Helena? Dia wanita paling keras kepala yang pernah aku temui. Dia tidak ada manis-manisnya jadi wanita," gerutu Arash.
"Sembarangan kamu kalau ngomong," potong William.
Keheningan sesaat menyelimuti ruang kerja William. Ketika dua pria itu sama-sama terdiam. Sama-sama berpikir. Bagaimana sebaiknya mengatasi masalah ini. Hingga tiba-tiba ucapan William membuat Arash terkejut.
"Papa tidak akan menyetujui perpisahan kalian. Dengan kata lain, kalian tidak boleh berpisah," ujar William tegas.
"Papa ini bagaimana sih? Bukannya mendukung perpisahan kami. Ini malah membiarkan kami tersiksa dalam pernikahan paksa ini. Tolonglah Papa mengerti keadaan kami, kami tidak bisa bersama. Kami hanya terus bertengkar, berdebat tidak ada habisnya," Arash menjelaskan setengah putus asa. Bagaimana bisa sang ayah malah menolak perpisahan mereka.
"Itu karena kalian belum saling mengenal. Kalian belum tahu pribadi masing-masing. Kamu harus lebih banyak mengalah pada Helena. Ingat....kau yang bersalah dalam ini,"
"Pa, kenapa semua kesalahan ditimpahkan kepada Arash? Memangnya Helena tidak bersalah. Dia juga salah Pa, masuk kantor orang tanpa permisi. Jadi jangan salahkan orang lain kalau menganggapnya pencuri. Wajar dong kalau Arash memberinya sedikit pelajaran,"
"Dengan niat untuk melecehkannya? Di situlah kesalahan terbesarmu Arash. Kau membuat Helena terlihat rendah di mata orang. Kau membuat orang berpikiran kalau Helena wanita murahan padahal tidak. Dan yang paling penting kau melukai harga dirinya,"
"Kau tahu itu sangat melukai harga diriku."
Sepenggal kalimat dari Helena kembali terlintas di pikiran Arash. Pria itu seketika menundukkan kepalanya. Tidak lagi berani memandang wajah William.
"Kau tahu kan Arash, Helena adalah tipe wanita yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatannya. Meskipun tampilan luarnya begitu liar, tapi percayalah dia wanita yang baik. Mampu menjaga dirinya sendiri," lagi ucapan William seperti ribuan jarum yang menusuk hati Arash. Pria itu akhirnya sadar, kalau dirinyalah yang bersalah dalam hal ini.
"Tapi Helena bersikeras ingin berpisah,"
"Keputusan ada di tanganmu. Dalam rumah tanggamu kaulah pemimpinnya. Kaulah supirnya. Semua terserah padamu. Helena memang ingin berpisah tapi jika kau menolak. Dia bisa apa. Bahkan kalau dia sampai menggugat ke pengadilan. Mereka tidak akan mengabulkan gugatan cerainya selama kau mengatakan tidak ingin berpisah," tambah William.
Arash terdiam.
"Jalani saja dulu. Papa pikir ada alasan kenapa pernikahan ini sampai terjadi. Atau kalau kau memaksa ingin tetap berpisah....Papa tidak akan segan-segan membuang Cia jauh dari hidupmu,"
Mata Arash membulat seketika. Bagaimana bisa sang Papa menjadikan Cia sebagai alat untuk mengancamnya.
"Pa...apa ini tidak keterlaluan. Bagaimana bisa Papa mengancamku dengan menggunakan Cia," protes Arash.
"Hal yang paling kau membuatmu lemah saat ini adalah dia, jadi Papa akan menekanmu melalui dia," William menjawab enteng.
"Papa keterlaluan!" Maki Arash marah. Pria itu berlalu dari ruang kerja Willian.
"Jangan pernah berpikir untuk berpisah dari Helena. Camkan itu!" William berteriak. Bersamaan dengan pintu ruangannya yang di tutup keras oleh Arash.
"Bisanya main ancam saja!" gerutu Arash. Bisa dibayangkan betapa pusingnya kepala Arash. Helena sudah pasti akan marah besar padanya. Belum lagi Cia yang semakin mendesak, minta untuk segera ia nikahi.
"Siapa saja, tolong bunuh saja aku sekalian!" Teriak Arash dalam hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments