Pergi.

Satu hari telah berlalu semenjak pertemuan R dan Shin. Sekarang, R sudah lebih baik dan lukanya mengering diiringi sinar matahari yang masuk menembus jendela kamar Shin. Kecepatan penyembuhan R terlihat melebihi manusia biasa, tapi hal itu tidak disadari oleh wanita berambut pendek tersebut.

“Selamat pagi! Apa lukamu masih sakit?” Suara halus dengan bibir tersenyum membuat R berusaha duduk dari tempat ia tidur. “Kamu bisa tidur lebih lama jika kamu mau.” Shin kembali melanjutkan jahitannya.

Setelah wanita ramping tersebut berbalik badan, R berusaha membuka selimut di tubuhnya dan menghampiri Shin yang sibuk menjahit baju. Suara bising dari mesin jahit menyamarkan langkah kaki. Tanpa disadari oleh gadis manis itu, R telah berada di sampingnya memperhatikan pakaian berwarna hijau tua.

“Benda apa itu, Shin?” tanya R.

Mendengar R mengajaknya berbicara, Shin berusaha melihat ke arah suara berat tersebut. Betapa terkejutnya Shin melihat R tanpa sehelai benang pun sedang berdiri di sampingnya. Shin terjatuh dari tempat ia duduk dengan wajah yang memerah.

“Apa kamu tidak malu berjalan seperti itu di depan wanita?” Shin berusaha berdiri dan sesegera mungkin mengambil selimut di ranjangnya.

“Memangnya apa yang salah dari cara berjalanku? Lalu, apa itu malu?” R kembali membalikkan badannya untuk menghadap ke arah lawan bicara.

Dengan keadaan canggung, Shin menepuk jidat seolah tidak percaya dengan apa yang ditanyakan laki-laki itu. Sesekali wanita cantik ini melirik ke arah wajah R yang polos dan tidak mengerti apa-apa, membuat Shin menghela nafasnya.

“Bukan cara berjalanmu yang salah!” teriak Shin sembari memakaikan R selimut tanpa mengintip tubuh penuh perban itu.

Wanita ini sangat bingung dengan tingkah laku laki-laki di depannya sekarang. Bagaimana dia bisa santai saja, padahal Shin sangat gugup ada di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, Shin melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti untuk beberapa saat.

“Shin, jelaskan padaku. Apa itu malu?” tanya R.

“Aku juga sedikit bingung, apa sebenarnya malu itu, tapi kalau kamu memperlihatkan tubuhmu ke wanita, seharusnya kamu malu,” tutur Shin secara halus.

Sembari memegangi selimut di badannya, R tampak berpikir kembali. Ia berusaha mencerna kata-kata dari wanita yang sibuk dengan pekerjaannya sendiri tanpa memedulikannya. R memanggang pundak Shin secara perlahan.

“Wanita, apa itu?” Sekali lagi R bertanya hal aneh pada Shin.

“Apakah kamu sedang bermain-main? Aku adalah seorang wanita dan kamu adalah pria,” jelas Shin.

“Maafkan aku, tapi aku benar-benar tidak mengetahui hal itu. Lalu, apa perbedaan wanita dan pria? Apa kamu tahu Shin?” R kembali menanyakan hal aneh kepada Shin.

Shin sangat bingung dengan R, bagaimana bisa ia tidak mengetahui hal-hal yang sudah diketahui oleh semua orang. Wanita ini awalnya mengira R merupakan seorang turis, tapi melihat tingkahnya dengan pertanyaan aneh itu, membuat Shin berpikir kembali bahwa R bukanlah turis.

Sebelum menjawab pertanyaan dari R, Shin menanyakan tentang bagaimana ia bisa sampai ke rumahnya dengan keadaan babak-belur, karena kemarin ia tidak sempat menanyakan hal itu. R menjelaskan semua hal yang terjadi padanya.

Shin semakin bingung dengan penjelasan R, bagaimana manusia bisa terlahir dari sebuah kotak. Sekali lagi gadis ini mendekatkan telinganya ke arah dada R dengan tujuan mendengar detak jantungnya. Memang, detak jantung R sedikit lemah, tapi hal itu membuktikan bahwa R bukanlah may*t hidup seperti yang dipikirkan.

Shin tersenyum. “Bagaimana jika kita makan dulu, soal pertanyaanmu tadi, sepertinya kamu harus menunggu sedikit lebih lama. Nanti akan aku panggilkan temanku. Kamu bisa bertanya padanya semua hal yang ingin kamu ketahui.”

Walaupun R terlihat bingung, tapi dia mengangguk dengan tawaran Shin. R mulai duduk di depan meja yang telah disiapkan, sedangkan Shin mulai sibuk menyiapkan makanan dan meletakkannya di atas meja.

Setelah semua siap, Shin mempersilahkan R untuk makan. “Maafkan aku, R. Aku hanya memiliki roti saja, karena pekerjaan ini tidak banyak memberiku uang.”

“Aku pernah memakan benda ini sebelumnya. Benda ini enak dan aku menyukainya.” R mulai melahap roti yang ada di depannya.

R sangat menikmati roti di tangannya. Hal itu membuat Shin terlihat bahagia karena suguhannya dinikmati dengan sepenuh hati. Suasana sarapan itu ditemani udara segar yang menerobos masuk melalui ventilasi hingga membuat kedua orang tersebut merasa nyaman.

Setelah menghabiskan roti di tangannya, R melirik ke sebuah gelas berisi cairan berwarna putih bersih. Laki-laki ini menunjukkan raut wajah penasaran. Tanpa R sadari, Shin juga ikut memperhatikan tingkah lakunya.

“Itu adalah susu, aromanya tidak menyengat dan rasanya sedikit asin. Bagaimana jika kau mencobanya saja?” Shin mengambil gelas itu dan mengulurkannya kepada R.

Walaupun R terlihat tidak menyukai tawaran Shin, ia memutuskan untuk mengambil susu dari tangan wanita itu. Aroma lembut terasa memenuhi udara di sekitar hidung R. Menyadari bahwa Shin tidak berbohong, tanpa ragu R meneguk susu tersebut.

Setelah cairan itu masuk ke tenggorokan, R tersenyum kepada Shin dengan bekas susu di bibirnya. “Benda ini enak sekali. Jadi, ini yang dinamakan susu?” R meletakkan gelas kosong di atas meja. “Aku menyukainya.”

Shin mengambil sapu tangan di sebelahnya, kemudian ia mengelap bibir R yang kotor terkena susu sembari membalas senyuman pria itu dengan tawa ringannya. “Benarkan. Susu itu sangat enak.”

Mereka berdua saling pandang untuk beberapa saat. Pupil mata R yang berwarna cokelat gelap dengan dagu sedikit oval membuat Shin tidak henti memperhatikan lekukan wajah laki-laki itu. Melalui tangannya, Shin juga merasakan bibir tipis R sehingga wajah Shin terlihat merah merona.

Sesegera mungkin, Shin menarik tangannya. “Se-sebaiknya, kita selesaikan makanan kita.”

Waktu berlalu, mereka telah menghabiskan makanan di atas piring. Dengan sigap, Shin membereskan peralatan makan yang mereka gunakan. Terlihat jelas, wanita ini sudah terbiasa melakukan semua hal sendiri.

“Shin, bolehkah aku bertanya sesuatu?” R beranjak dari tempatnya duduk.

Shin yang sibuk mencuci piring, dengan sabun memenuhi tangannya berusaha memperhatikan laki-laki itu. “Tanyakan saja, memangnya ada apa?”

“Saat aku bangun tadi, apa yang sedang kamu kerjakan?” tanya R.

“Aku sedang menjahit, itu adalah pekerjaanku. Membuat dan memperbaiki pakaian merupakan hal yang menyenangkan bagiku.” Shin kembali meneruskan pekerjaannya.

Sekali lagi R merasa bingung dengan perkataan Shin. Banyak hal yang tidak dimengerti oleh laki-laki ini. Seolah ingatan mengenai dunia yang ia pijak sekarang tidak terekam dalam memori otaknya.

Tangan R berusaha menjangkau tubuh Shin yang sibuk melakukan aktivitas. “Shin.”

Sementara itu, wanita yang dikejar waktu ini terus saja berpindah-pindah tempat untuk membereskan rumah. Sesaat setelahnya, ia langsung menyandang keranjang berisi pakaian hasil jahitan.

“R, kamu di dalam rumah saja, ya. Aku akan pergi untuk mengantarkan pakaian ini, mungkin memakan waktu yang cukup lama, tapi aku akan berusaha untuk cepat kembali.” Shin menutup pintu dengan senyum di bibirnya.

Sesaat setelah pintu tertutup, R berlari dan berusaha membuka pintu yang Shin kunci dari luar. Wajah R terlihat cemas, matanya melirik ke setiap sudut ruang. Kesepian akhirnya menghampiri laki-laki dengan kenangan kosong di kepalanya.

“Shin, Tunggu.” Suara pelan terdengar keluar dari mulut R.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!