“Kamu babak-belur sekali! Apa yang terjadi?” Wanita itu perlahan mendekat.
Laki-laki yang telah trauma akibat perlakuan buruk dari warga sebelumnya, membuat ia mundur perlahan menjauhi wanita itu. Tubuh sakit berlumur darah ia seret akibat rasa takut akan orang asing telah merasuk ke dalam jiwanya.
“Jangan khawatir, aku tidak akan menyakitimu.” Wanita itu berusaha meyakinkan.
Langkah kaki wanita berambut pendek itu semakin mendekat, membuat pria yang tengah berbaring di tanah mundur dengan susah payah. Tangan sang wanita mulai mendekati si pria, tampak dengan jelas ketakutan terpancar dari wajah pria itu.
Tangan yang halus perlahan mengusap kepala pria itu dengan lembut dan tindakan tersebut membuatnya terkejut. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin menolongmu. Jangan takut, ya.”
Sekejap kemudian, mata pria itu tampak menutup dan tubuhnya melemas. Ia jatuh pingsan terkapar di tanah. Tentu saja wanita tersebut panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia kemudian berusaha menggendong pria yang baru saja ia temui.
“Aku harus membawanya masuk ke rumah. Nyawanya bisa saja dalam bahaya.” Wanita itu berusaha keras mengangkat tubuh sang pria.
Wanita itu tertatih-tatih menopang tubuh pria yang tidak ringan, beberapa kali ia hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Namun, kelemahannya tertutup dengan niat untuk menolong orang lain.
Wanita itu membuka pintu dengan hati-hati agar tidak menjatuhkan orang yang tengah ia gendong. Ketika mereka telah masuk ke rumah, wanita itu membaringkan si pria di atas tempat tidurnya.
“Tubuhnya dipenuhi luka, aku tidak tega melihatnya,” tutur wanita itu.
Dengan sigap wanita yang baru saja pulang dari bekerja itu mengambil kotak obat, air hangat dan handuk untuk membantu pria malang tersebut. Setelah ia berada di depan si pria, wanita itu berhenti sejenak lalu wajahnya mulai terlihat merah merona.
“Tunggu dulu, dia ... aaa ... tidak, tidak, tidak, ini sangat memalukan. Aku harus bagaimana, di sekitar sini tidak ada laki-laki yang bisa aku mintai pertolongan, mereka bekerja. Sedangkan pria ini sudah mulai sekarat.” Wanita itu panik.
Wanita itu berlari ke depan rumahnya dan melirik ke sekelilingnya, sesekali ia juga berteriak-teriak berharap ada seseorang yang mendengar, tetapi sayang sekali area pekerja akan sepi ketika jam kerja.
Wanita itu kembali masuk ke dalam rumah. “Bagaimana ini, tidak mungkin aku mengganti bajunya!”
Wanita yang tampak panik ini berpikir untuk sesaat, kemudian ia membulatkan tekadnya membantu pria sekarat yang tengah terbaring di tempat tidurnya. Ia melepas semua pakaian pria itu dan mulai membersihkannya menggunakan air hangat dan handuk.
“Maafkan aku, maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini. Aku tidak melihatnya, aku tidak melihat tubuhnya!” Wanita tersebut berkata tidak sesuai kenyataan.
Memang ini kali pertama wanita itu melihat tubuh pria secara langsung dan hal tersebut membuatnya gugup. Wajahnya merah merona, terlihat pula wanita itu sedikit malu-malu membersihkan tubuh pria di hadapannya.
“Kenapa ia memiliki tanda empat bintang di kening kirinya dan satu bintang di dadanya?” Wanita itu memegangi tanda bintang yang ada di dada si pria.
Sesaat ia memikirkan tentang alasan adanya tanda bintang pada tubuh pria tersebut, tetapi setelahnya, ia langsung mengambil kotak obat dan mengobati luka pria itu. Secepat kilat ia mengambil selimut dan menutup tubuh yang sedang terbaring di ranjang.
“Aku sudah mengobatinya, tapi apa dia akan baik-baik saja, ya? Detak jantungnya masih terdengar, dia juga masih bernafas, mungkin sebaiknya aku membiarkan dia beristirahat terlebih dahulu. Aku akan membuatkannya baju baru ... hee ... kalau begitu aku harus mengukur tubuhnya!” Wajah wanita itu kembali memerah.
Dengan kecepatan penuh, si wanita mengukur badan laki-laki itu. Setelah mengukurnya, ia duduk di depan mesin jahit miliknya sendiri dan mulai memainkan kemampuan menjahitnya untuk membuat baju.
Waktu terus berlalu, suara mesin jahit menghiasi ruangan. Burung-burung kecil di luar rumah sedang bernyanyi menikmati indahnya siang hari. Area itu tampak sepi, hanya terlihat hewan-hewan saja yang berkeliaran.
Pria dengan perban di sekujur tubuhnya ini mulai membuka mata. Rasa sakit serta nyeri berkumpul menjadi satu sehingga membuat tubuhnya terasa sakit saat digerakkan, ia juga sedikit kebingungan akibat tidak tahu keberadaannya dan apa yang terjadi padanya setelah pingsan.
“Kamu sudah sadar? Kamu sedang di rumahku, jadi jangan takut, ya.” Wanita itu tersenyum manis.
“Jadi, kamu menolongku. Terima kasih sudah berbaik hati padaku.” Pria itu berusaha bangun.
“Jangan bangun dulu. Aku tahu, mungkin kamu sudah lebih baik, tapi sebaiknya kamu jangan berdiri atau melepas selimut itu.” Wajah wanita itu mulai merah kembali.
“Apa yang terjadi pada wajahmu?” tanya pria itu.
“Bu ... bukan ha ... hal yang penting. Aku sedang membuatkanmu baju baru, jadi bersabar sebentar, ya. Ngomong-ngomong, namaku Shin, siapa namamu, dan apa khastamu?” Walaupun sedikit malu, tapi Shin berusaha santai.
“Namaku R, maaf tapi aku tidak tahu apa itu khasta.” R nampak kebingungan.
Shin beranggapan kalau R adalah turis yang tersesat. Shin juga meminta penjelasan mengenai identitasnya, tetapi R tidak mengingat apa pun tentang dirinya sendiri. Wanita itu sedikit kecewa, karena banyak hal yang ingin ia ketahui.
Atas pertanyaan R mengenai khasta, Shin berusaha menjelaskan sistem tersebut walaupun ia terlihat sedih. Dengan memelankan suara, ia memulai penjelasan dari nama negara yang mereka tinggali saat ini, yaitu RSC, negara ini menjunjung tinggi perbedaan khasta.
Khasta yang paling rendah adalah bud*k. Golongan ini hanya menjadi manusia yang di perjual belikan, tidak dihargai, diperlakukan kasar, dan dianggap sebagai sumber penyakit. Area tempat tinggal untuk mereka singgahi adalah area pembuangan sampah.
Khasta selanjutnya adalah pekerja, Shin menjelaskan bahwa ia termasuk ke dalam khasta ini. Khasta pekerja menjadi khasta paling bebas karena bisa mengakses semua area tergantung pekerjaan apa yang sedang mereka lakukan. Namun, khasta ini sering di perlakukan semena-mena terhadap khasta di atasnya.
Lalu ada khasta prajurit yang bertugas menjadi penjaga keamanan dan menjadi tentara perang milik negara. Khasta ini mewajibkan laki-laki untuk menjadi prajurit dengan mengabdi seumur hidup untuk negara.
Khasta yang paling tinggi yaitu khasta raja. Khasta ini memiliki penduduk paling sedikit karena di dalam khasta raja hanya di peruntukan untuk keturunan pemerintah yang memiliki darah murni.
Shin juga menjelaskan bahwa ada aturan wajib yang harus dipatuhi di negara ini. Pertama, khasta rendah dilarang masuk ke area khasta yang lebih tinggi maupun sebaliknya, khasta tinggi dilarang masuk ke area khasta rendah, terkecuali tentara perang dan pekerja yang sedang bertugas. Jika larangan ini dilanggar, maka akan dihukum cambuk.
Aturan kedua, warga dilarang menyukai lawan jenis yang berbeda khasta karena negara ini tidak ingin darah murni tercampur oleh darah khasta yang lebih rendah. Hukuman ketika dilanggar ialah diusir dari negara.
Aturan terakhir, khasta tinggi bisa melakukan apa pun terhadap khasta yang lebih rendah. Jika khasta rendah menolak permintaan dari khasta yang lebih tinggi, maka mereka akan menerima hukuman ma*i.
“Aku sebenarnya tidak ingin tinggal di negara seperti ini. Terlalu menyakitkan buatku, melihat orang lain disiksa hanya karena kehendak khasta yang lebih tinggi.” Shin tampak sedih.
“Aku mengerti perasaanmu, Shin. Mereka memang semena-mena.” R berusaha bangun dan menghampiri wanita murung di depannya untuk membuat ia tenang.
“Jangan lakukan itu, R!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments