Bab 5

"Apa yang Mbak pikirkan? Kenapa belakangan ini selalu terlihat tidak tenang?" tanya Hanan mendekati kakaknya yang belakangan sering termenung.

"Tidak ada, aku hanya sedikit capek," jawab Ajeng jelas berdusta.

Perempuan itu diliputi perasaan waswas mendekati hari pemeriksaan. Benar-benar takut hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.

"Istirahatlah ... aku lihat Mbak kurang sehat, pucat dan terlihat kurusan. Apa ada sesuatu yang Mbak sembunyikan?" tekan Hanan penuh selidik.

Ajeng tersenyum, "Tidak ada, jangan khawatir apa pun tentang diriku. Semuanya baik-baik saja," ujarnya menenangkan.

Semalaman Ajeng terjaga, entah di jam berapa ia menemukan mimpinya. Yang ia tahu, membuka mata saat pagi telah menyapa. Hatinya diselimuti rasa gelisah yang dalam, doa-doa panjang di sudut malamnya terus mewarnai di penghujung hari. Tepat hari ini, masih lumayan pagi Ajeng sudah bersiap memulai hari tanpa menunggu pria itu menghubunginya atau menyambangi rumahnya yang sederhana.

"Pagi sekali mau ke mana Mbak?" Hanan jelas kepo.

"Ada urusan sebentar, kamu baik-baik ya di rumah," pamit Ajeng datar. Setelah menyiapkan sarapan untuk adiknya, Ajeng langsung meninggalkan rumah sebelum orang Abi menjemputnya seperti yang sudah-sudah. Ajeng tidak ingin adiknya bertambah curiga saja dengan seringnya kemunculan pria itu ke rumahnya.

Pagi itu Ajeng sudah tiba di rumah sakit lebih dahulu dengan perasaan khawatir. Takut yang kedua kali ini belum berhasil, dan pasti kemurkaan Abi akan datang padanya lagi. Bukan hanya itu, ancaman untuk menidurinya jelas membuatnya merasa takut.

Tak butuh waktu lama, Abi terlihat menyusul dengan didampingi Anto asistennya. Pria itu terlihat dingin seperti biasa. Bahkan tak ada percakapan istimewa sedikit pun yang tercipta di antara keduanya.

"Stela, bisa diperiksa sekarang?" titah Abi tak sabaran.

"Hai, gue lagi nugas, panggil dengan nama yang benar, Dokter Stela," ujarnya jengkel.

"Ck, sama saja, cepat lihatlah hasilnya, aku sudah tidak sabar menunggu," ujar pria itu dengan wajah penasaran.

Kedua sahabat itu saling bercakap-cakap tanpa bahasa formal. Dokter yang menangani Ajeng adalah sahabat Abi sediri. Bahkan Stela juga pernah menawarkan mengadopsi anak saja sebelum mengambil keputusan itu, mengingat antara pria itu dan Vivi tidak akan punya anak.

Ajeng dibimbing perawat masuk ke ruang khusus untuk segera diperiksa lengkap. Butuh beberapa menit untuk mengetahui apakah program itu dinyatakan berhasil atau gagal lagi. Gadis itu menunggu dengan perasaan waswas. Sementara Abi dan Stela terlibat obrolan kecil.

"Bagaimana?" tanya Abi cukup antusias.

"Kamu tidak sabaran sekali, dasar calon ayah," cibir Stela menggeleng dengan senyuman.

"Ayolah, jangan becanda, aku sudah menanti ini sejak lama, bertahun-tahun aku mendambakan seorang putra. Kamu tahu sendiri 'kan ibuku seperti apa?" curhat Abi sedang di fase deg degan.

"Paham, dan kali ini aku harus memberikan selamat untukmu karena istri Anda hamil, inseminasi ini berhasil. Selamat ya?" ucapnya sumringah.

"Beneran? Alhamdulillah ....!" ucap Abi yang diaminkan tepat berbarengan dengan hati Ajeng.

Gadis itu lega luar biasa, itu artinya ia hanya perlu waktu sembilan bulan saja dan semua kesulitan itu akan berakhir.

"Vivi pasti sangat bahagia, dia tidak akan malu lagi mendapat pertanyaan dari ibuku. Orang-orang tahunya kami akan punya anak," ujarnya menerawang bahagia.

Ajeng sendiri antara lega tetapi juga sedih tentunya. Ia sadar betul, janin yang baru saja memulai kehidupannya itu bukanlah miliknya. Ia harus menjaga sebaik mungkin, sampai tiba saatnya nanti melahirkan.

"Ini vitamin dan semua kelengkapannya untuk dikonsumsi," pesan Dokter Stela." Ajeng mengangguk ngerti.

"Ayo aku antar pulang!" ujar Abi setelah melakukan chek up.

"Biar aku sendiri saja, jangan khawatir aku bisa menjaganya dengan baik," tolak Ajeng tak ingin terlibat banyak interaksi dan terlalu dekat dengan pria itu.

"Aku hanya peduli dengan anak aku, jadi jangan merasa GR, kalau aku berbuat baik padamu, itu semata-mata untuk bayi yang ada dalam perutmu!" tekan Abi cukup jelas.

"Aku cukup paham dan tahu diri. Sebaiknya tetaplah menjaga batasan dan interaksi," ujar Ajeng menahan diri.

Setiap apa yang Abi lakukan memang untuk bayinya, tetapi jelas melalui perantara ibunya. Jadi, itu kadang malah membuat Ajeng merasa tidak nyaman.

Karena Ajeng menolak untuk diantar pulang, pria itu memanggilkan taksi untuknya. Pria itu bahkan menunggu dan memastikan Ajeng menaiki mobil dengan nyaman.

"Hati-hati bawa mobilnya Pak, istri saya sedang hamil," pesan Abi pada supir taksi layaknya suami sungguhan.

"Siap Mas, tentu dengan kecepatan ramah lingkungan," jawabnya mengangguk sopan. Tersenyum menatap keduanya seraya bergantian.

Ajeng pulang dengan dua perasaan. Galau memikirkan setelah ini lantaran perutnya pasti akan membesar, dan bingung bagaimana menghadapi orang di sekitar tempat tinggalnya. Dia juga harus menjelaskan pada Hanan pastinya tentang kondisinya saat ini yang tak lagi sama.

Terpopuler

Comments

gia nasgia

gia nasgia

Aku baca karya mu nggak beraturan Thor😂 🤭🙏

2024-05-11

1

Maulana Sahla

Maulana Sahla

seru ceritanya 👌👌👌

2024-04-14

0

Lily

Lily

seharusnya Ajeng jujur sama adiknya biar beban pikiran sedikit berkurang

2024-02-19

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!