Bab 6

Nampaknya kekhawatiran Ajeng bukan kamuflase belaka. Beberapa orang mulai bertanya-tanya saat perempuan itu tidak pernah lagi berangkat kerja, namun kehidupan sehari-harinya lancar jaya.

Biaya sekolah Hanan yang kadang telat pun bisa terbayarkan tepat waktu. Bahkan hingga semester akhir itu berakhir. Membuat adiknya itu jelas bertanya-tanya,dari mana uang yang Ajeng dapat.

Seharusnya Ajeng sudah menyiapkan ini jauh hari. Siap mental lahir batin ketika menyetujui kesepakatan itu sebelum mengiyakan. Bagaimanapun ia sudah menerima uang dengan jumlah yang tak sedikit untuk pengobatan Hanan dan masih ada sisanya.

"Mbak, kenapa beliin sepatu baru, Mbak lagi punya banyak uang? Sepatu yang lama masih bisa dipakai."

"Masih ada sedikit tabungan, kakimu hampir sembuh, kamu harus pakai biar semangat sekolah. Sepatu lama sudah usang, itu lebih cocok," ujar perempuan itu tersenyum.

Setidaknya Ajeng ingin memanfaatkan momen kebersamaan mereka berdua sebelum ia memutuskan untuk pindah seiring perutnya membesar. Hanan tidak harus tahu kepahitan dirinya, atau pria tanggung itu akan merasa bersalah atas apa yang menimpa dirinya.

Berat rasanya meninggalkan adiknya tinggal seorang diri, namun ia tidak punya pilihan.

Beberapa minggu berdiam diri di rumah tentu membuat dirinya bosan. Abi melarang dirinya bekerja, lantaran usia kandungannya masih terlalu muda. Bahkan pria itu mewanti-wanti agar menjaganya dengan benar.

"Nan, Mbak boleh masuk!" seru perempuan itu setelah mengetuk pintu kamarnya.

Pemuda itu memutar tubuhnya hingga keduanya saling tatap.

"Iya Mbak, masuk!" titah Hanan mempersilahkan. Pria itu tengah sibuk di meja belajar.

"Ada suatu hal yang harus aku katakan," ujar Ajeng cukup tenang.

Perempuan itu duduk di bibir ranjang, memberikan sejumlah uang yang jelas membuat Hanan tercengang.

"Apa ini Mbak? Bukannya biaya sekolah sudah dibayarkan?" tanya Hanan bingung.

"Mbak dapat pekerjaan di luar kota, jadi kemungkinan kamu akan tinggal sendiri," kata Ajeng sembari menatapnya sendu. Hanya karena memikirkan acara tempat tinggal, Ajeng terus kepikiran dan hampir tidak tidur semalaman.

"Simpanlah untuk keperluan kamu selagi aku belum bisa mengirimnya lagi. Gunakan sebaik mungkin, kamu bisa mengaturnya dengan baik," ujarnya yakin.

"Di mana? Jauh?" tanya Hanan mengamati serius.

"Iya lumayan jauh, Semarang," jawab Ajeng jelas berdusta. Ia hanya singgah, tidak juga pergi ke luar kota seperti yang dikatakan.

"Yah ... bakalan sepi banget pasti nih rumah, kenapa harus kerja jauh-jauh. Selama ini Mbak udah kerja cukup untuk sehari-hari."

"Yang pasti uangnya lebih besar, makanya aku belain ke sana. Jangan khawatir, setiap bulan akan aku transfer jatah kamu. Rajin lah belajar, kamu harus sukses," ucapnya sungguh-sungguh.

Setelah mengemas barang, Ajeng memberi tahu Abi tentang kepindahannya. Ia tidak ingin suaminya tersebut beranggapan lain atau bahkan mengira kalau dirinya kabur.

Apalagi pria itu menjadi begitu cerewet, tentang semua kegiatan, dan laporan makanan apa saja yang masuk ke perutnya.

"Di mana?" Pria itu menjawab cukup lantang setelah beberapa deringan terhubung.

"Mana aja, suasana baru dan jauh dari pemukiman. Orang tahunya aku belum menikah, jadi tidak boleh juga mereka tahu kalau aku hamil," jawab Ajeng penuh solusi.

Perempuan itu butuh suasana yang berbeda, dan tentunya ketenangan. Tentu saja agar kehamilannya lancar dan aman sampai tiba saatnya nanti melahirkan.

"Oke, sesuka dirimu saja asal calon anakku sehat dan nyaman. Jangan macam-macam, hidupmu dalam pantauanku," ancam Abi sebelum akhirnya menutup teleponnya, lalu menyuruh orang untuk menjemputnya.

Pria itu menyuruh sang asisten untuk membantu keperluan tempat tinggalnya yang baru.

"Kamu boleh menempati apartemen ini selama kamu mengandung. Nikmati saja hari-harimu, aku tidak mau mendengar kabar yang tidak mengenakan tentang kesehatan bayiku," pesan pria itu serius.

"Apa aku boleh tetap bekerja? Selagi sehat, tentu itu tidak masalah. Aku bosan hidup tanpa kegiatan," ujar Ajeng mempunyai satu permintaan.

"Bekerja di mana? Mana ada perempuan hamil bekerja, aku tidak mau anakku dibawa bekerja yang nantinya membuat tumbuh kembang di dalamnya kurang optimal."

Entah saking sayangnya dengan calon anak yang tengah Ajeng kandung, pria itu begitu over protective, padahal usia kandungannya juga baru delapan minggu, membuatnya benar-benar kadang merasa terpenjara.

"Jangan sering-sering datang, atau membawa sesuatu, biar aku yang beli saja. Uang yang kamu kirimkan pasti akan aku gunakan untuk keperluan janin ini."

Ajeng jelas jenuh, sekedar keluar membeli keperluan pribadinya saja kadang harus membuat laporan kegiatan.

"Terserah aku mau datang atau tidak, aku perlu memastikan bahwa kandunganmu selalu baik-baik saja," jawab pria itu sesuka hati.

Hak pria itu tentunya ingin berkunjung ataupun tidak, walau kadang nyatanya membuat Ajeng merasa tidak nyaman.

"Kamu tidak pulang? Aku mau istirahat, ini sudah terlalu malam," usir perempuan itu bingung sendiri. Saat lagi-lagi malam itu mendapati suaminya datang kembali dengan membawa sekotak susu dan juga vitamin untuknya.

"Ini apartemenku juga, hak apa kamu memintaku pulang," jawabnya ketus.

Terpopuler

Comments

Syahna Amira sy

Syahna Amira sy

bikin gregetan bacanya Thor... bikin cinta beneran tuh si Abi ke Ajeng

2024-04-20

1

Vera Wilda

Vera Wilda

Lama2 Abi jatuh cinta nich thor 😁

2024-05-14

0

gia nasgia

gia nasgia

Next

2024-05-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!