Bab 4

"Saya keberatan!" tolak Ajeng cukup tenang. Walaupun Abi berstatus sebagai suaminya, namun mereka mempunyai kesepakatan yang tentunya terpaksa Ajeng lakukan.

Tidak mungkin juga berandai-andai menjadi istri sesungguhnya, karena Ajeng tidak pernah akan mau dengan yang namanya menjadi istri kedua, dan lagi, tidak ada cinta di antara mereka berdua. Jadi, alasan penolakan itu sangat logis.

Abi menatap tajam perempuan yang tengah berada di depannya. Bagaimana bisa dia langsung menolak begitu saja.

"Kamu saja bisa merubah kesepakatan pertama, kenapa aku tidak. Bukankah dari kesepakatan yang pertama yang sudah kamu revisi menuju kesepakatan kedua menjadikan hubungan badan kita menjadi sah, dan halal?"

"Menurut hukum agama saya iya, tetapi perempuan bisa saja menolak jika memang memungkinkan. Untuk kasus ini, saya rasa Anda paham!" ucap Ajeng teguh dengan pendiriannya.

"Haha ... sombong, kamu pikir aku sudi menyentuhmu kalau bukan karena keturunan, jangan terlalu naif dan percaya diri," cibir Abi jelas menambah satu sayatan luka kecil di hatinya. Seakan semua yang keluar dari mulut pria itu bagai silet tajam yang menabur luka.

"Bagus kalau Anda berpikir demikian, dengan begitu kesepakatan tetap dilanjutkan sesuai prosedur yang telah kita sepakati."

"Oke, aku memberimu satu kesempatan lagi, kalau ini gagal lagi, jangan salahkan aku yang akan bertindak demikian," ujarnya tersenyum sinis.

Seketika Ajeng terdiam membeku, mencerna dengan kepala berdenyut. Bukankah hamil tidak hamil itu ketentuan sang pemilik kehidupan, sedang dokter saja sudah memberitahukan tingkat keberhasilannya yang pasti berbeda-beda. Bagaimana bisa menargetkan sekali lagi harus langsung hamil?

Abi menurunkan Ajeng di jalan pulang, sepertinya pria itu memang bukan hanya kejam, tetapi berhati tanpa perasaan. Bisa-bisanya di suasana gelap nan sepi seorang perempuan dibiarkan seorang diri, terlebih jalanan sepi.

"Ya Tuhan ... sesulit inikah hidupku, biar aku saksikan untuk mereka suatu saat nanti yang sudah meruntuhkan harga diriku. Dengan balasan yang lebih nyata," batin Ajeng berdoa dengan khusuk.

Jangan menangis, dunia tidak akan runtuh hanya karena satu pria tidak menghargainya. Uang memang sekuasa itu, dirinya bagaikan wayang dikendalikan dalang dalam hal ini. Sebagai lakon, tentu ia akan berjuang menuntut keadilan selagi bisa.

Tak disangka sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Abi kembali putar balik, entah karena kasihan atau memang masih punya sisi hati sebagai sesama manusia. Karena kalau disebut sebagai istri, tentu itu sangat berlebihan, nyatanya status itu hanya tidaklah begitu berarti untuk pria itu.

"Masuk!" titahnya galak.

Ajeng menatapnya datar, ingin menolak tetapi memang suasana jalanan sepi dan gelap. Tentu saja ia takut, apalagi malam semakin merangkak.

Perempuan itu pun menurut dengan hati kesal, sekaligus lega lantaran berkongsi dengan kegelapan malam di jalan yang rawan.

Tidak ada percakapan di antara keduanya, selama perjalanan pulang mereka lewati dengan saling diam. Pria itu melajukan mobilnya cukup kencang. Membuatnya sedikit pusing tetapi tidak berani protes.

"Nggak usah GR, kamu masih punya tanggung jawab padaku, sekali lagi, dan aku tidak mau gagal," tekan pria itu setelah mobil itu sampai di depan jalan menuju rumahnya.

"Saya orang yang menepati janji, apa yang telah disepakati itu yang saya lakukan buat acuan. Jadi, marilah kita sama-sama sabar agar misi Anda bisa terwujud, tanpa aku harus menunggu lama rasa tidak nyaman ini," jawab Ajeng cukup tenang.

Abi akui, Ajeng bukanlah type wanita yang pasrah dan siap tertindas. Dari sorot matanya yang tajam, dia bisa menilai seberapa besar keberaniannya menatap dirinya.

"Hemh ... kamu pikir aku nyaman, saya justru sudah tidak sabar mempunyai anak darimu dan hubungan kita berakhir," jawabnya cukup menohok.

Pria itu berlalu begitu saja, sementara Ajeng langsung masuk ke rumahnya. Hanan yang cukup khawatir sengaja menunggunya.

"Kamu belum tidur? Ini sudah malam, sebaiknya istirahat!" titah Ajeng setelah memberi salam menemukan adiknya termenung di ruang tamu sembari membaca buku.

"Aku sengaja menunggu Mbak Ajeng pulang, aku cemas," ujarnya jujur.

"Aku nggak pa-pa, Nan, jangan khawatiran gini, biasanya juga pulang malam, 'kan? Apalagi kerja di kafe kalau lagi ramai."

"Ayo istirahat, saya antar ke kamarmu!" ujar Ajeng membantu memposisikan kruk di tangannya. Hanan masih belum lancar berjalan, dan dalam tahap pemulihan.

Selama beberapa hari ini, Ajeng dituntut untuk tidak stres dan meminum vitamin kesuburan. Padahal, kadang tekanan dan beberapa pesan dari Abi yang begitu cerewet malah kadang yang memicu tekanan. Ajeng benar-benar harus pandai mengolah perasaannya. Tentunya agar misi kedua berhasil, setidaknya ia telah melakukan yang terbaik dan cukup berusaha. Ajeng benar-benar takut dan terngiang dengan ancaman Abi yang seakan-akan tak mau tahu.

"Harus banget minum ini, yang di rumah masih ada," ujar gadis itu ketika Abi menambah vitamin untuk kesuburan kandungannya.

"Iya, kenapa jadi banyak protes, bukankah ini bagus, pilihan terakhir untukmu? Atau kamu berubah pikiran?"

"Maksudnya?"

"Tentu saja dengan metode alami, itu pun sangat terpaksa!" tekannya menjengkelkan.

"Tidak, terima kasih, aku akan pastikan minum dengan benar," jawabnya cepat.

Terpopuler

Comments

gia nasgia

gia nasgia

Tunggu aja klau sdh bucin akut😜

2024-05-11

0

Syahna Amira sy

Syahna Amira sy

diawal cerita udah seru Thor... lanjut 👍🏻

2024-04-20

0

Tara

Tara

smoga happy ending..🤔🫣😱

2024-03-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!