NovelToon NovelToon

Rahim Sengketa

Bab 1

Seorang laki-laki tetiba muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan, tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan hatinya yang cukup mencengangkan, tepat di saat gadis itu berada di titik putus asa.

"Mengandunglah anak saya, hanya butuh waktu sembilan bulan saja. Tanpa ikatan, tanpa menikah!"

Perempuan yang terlihat sendu dengan pelupuk mata basah itu bergegas menghapus buliran bening di pipinya. Refleks menengok, siapakah gerangan yang berbicara cukup frontal di hadapannya.

"Maaf, Anda siapa? Apakah kita saling mengenal?" tanya gadis itu penuh selidik.

Pria tampan bersahaja nan kalem itu tersenyum.

"Saya Abimanyu, kebetulan saya tengah mencari ibu pengganti dan saya rasa, Anda sangat cocok sesuai dengan kriteria saya," ucap pria itu datar.

Ajeng hampir tidak percaya, kenapa ia harus bertemu dengan orang seajaib ini. Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Bad idea!

"Jangan khawatir, kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui operasi caesar," jelas pria itu lugas.

Ini bukanlah ajang lelucon, ataupun lawak melawak di area rumah sakit. Terdengar begitu serius, bahkan cukup tenang mengatakan itu.

"Tentu saja ini semua bukanlah isapan jempol belaka. Aku akan membiayai seluruh tagihan rumah sakit, operasi adik kamu hingga sembuh, bahkan menyekolahkannya, bagaimana?"

Ajeng lebih dari shock, yang awalnya gagal paham, jelas mencerna perkataan pria itu dengan baik dan benar.

"Maaf, saya tidak bisa," tolak gadis itu cepat.

Bagaimana bisa, seseorang sengaja memanfaatkan keadaan ini di saat dirinya dirundung duka. Sungguh definisi dari sebuah keikhlasan yang sulit ditemukan pada diri manusia.

"Jangan terburu menolak, bukankah Anda sedang butuh uang banyak, adikmu butuh pertolongan medis segera."

Ajeng nampak gamang, berada dalam persimpangan kegalauan hatinya. Apakah ini sebuah pertolongan untuknya, atau malah ujian dari-Nya.

"Bagaimana dengan tawaran, saya?" Pria itu tidak menghiraukan kegalauan perempuan itu, melainkan lebih fokus dengan maksud tujuannya.

"Seperti yang sudah saya katakan tadi, mohon maaf, saya tidak bisa. Anda menawarkan saya sebagai ibu pengganti, karena saya dalam keadaan kesulitan, bukan?" tolak perempuan itu sekali lagi.

Tak ada kata basa-basi lagi, memang pada kenyataannya seperti itu. Ada uang, tentu penawaran itu sepadan.

"Saya tidak punya banyak waktu untuk bernego. Saya pastikan kesempatan langka ini tidak akan datang berulang kali. Kalaupun Anda menolak, saya bisa dengan mudah membeli rahim orang lainnya. Tapi untuk Anda sendiri mungkin nyawa adik Anda tidak bisa terselamatkan karena lambat operasi."

Ajeng tentu saja tidak ingin kehilangan adik satu-satunya. Hanya Hanan yang ia punya setelah kedua orang tuanya meninggal.

"Saya jamin operasi adik Anda akan segera dilaksanakan hari ini juga, jika Anda sepakat dengan perjanjian ini, Ajeng!"

"Dari mana Anda tahu nama saya, sebenarnya siapa Anda?"

Pria itu tidak menjawab, hanya tersenyum seraya menatap adik Ajeng yang tergolek lemah di atas bed rumah sakit.

"Pikirkan baik-baik, adikmu membutuhkan penanganan segera. Ini kartu nama saya, kamu boleh menghubungi saya dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Tidak ada panggilan atau pesan yang masuk, dianggap gagal."

Gadis itu menerima kartu kecil dengan nama terang Abimanyu Prayogo. Seorang pengusaha sukses dengan jabatan mentereng. Namun, nampaknya ia tidak begitu peduli. Terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang banyak, cepat, tanpa harus menggadekan rahimnya.

Pria itu hanya memberikan waktu dua kali dua puluh empat jam. Itu artinya dua hari saja. Tentu itu tidak cukup untuk memikirkan hal yang krusial seperti ini.

"Hanya mengandung anaknya, tidak harus ada ikatan, tidak perlu juga menikah. Setelah lahir juga tidak akan bermasalah karena tidak sempat berhubungan badan," gumam Ajeng terngiang-ngiang perkataan pria itu.

"Kenapa harus meminjam rahim? Apakah istrinya bermasalah? Ya Rabb, apakah ini boleh?" batin Ajeng teramat galau.

Malam ini perempuan itu masih terjaga hingga larut. Bahkan, karena harus merawat dan menjaga adiknya yang saat ini mengalami cidera serius pun sampai tidak masuk kerja.

Biaya rumah sakit yang semakin banyak, dan diharuskan operasi karena cidera kaki dan tangan hingga luka berat.

Entah di jam berapa gadis itu terlelap di kursi tunggu, hingga terdengar kumandang subuh menyapa. Lekas mengambil wudhu, menunaikan dua rakaat khusuk. Diakhiri dengan salam dan doa kebaikan.

Sudah dua hari absen dari toko tempat kerjanya. Sore juga izin menjaga kafe lantaran adiknya tidak ada yang menjaganya. Selepas sholat, kembali ke ruang rawat. Hari sudah berganti, tetapi sepertinya nasib baik belum berpihak padanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang telah membuat adiknya celaka muncul untuk bertanggung jawab.

Sesungguhnya Ajeng sangat berharap ada pertolongan lainnya selain harus menyewakan rahimnya.

"Pagi Mbak, bagaimana dengan kesiapan biaya untuk operasi ananda Hanan. Kondisi pasien akan mengalami cacat fisik seumur hidup bila tidak segera ditangani dengan baik."

"Apa boleh dilakukan operasinya terlebih dahulu, Dok? Biayanya menyusul, akan saya usahakan segera," pinta Ajeng memohon.

"Prosedur rumah sakitnya begitu, Mbak. Kami hanya menjalankan tugas sesuai aturan," kata dokter yang menangani adiknya cukup jelas.

Ajeng semakin kalut saja. Bagaimana nasib adiknya nanti kalau beneran tidak bisa jalan. Atau bahkan akhirnya tidak mempunyai kaki. Dia pasti akan sangat hancur sekali. Dengan setengah hati, gadis itu pun menghubungi nomor yang tertera dikartu nama.

Sementara Abi tersenyum lega setelah mendapat kabar dari seorang wanita yang telah ditemuinya kemarin di rumah sakit. Pria itu bahkan sudah mengatur waktunya untuk bertemu siang ini di rumah sakit. Dengan serta merta membawa istrinya, untuk mengenalkan langsung pada perempuan yang telah bersedia menampung benih kelak yang akan menjadi generasi penerus mereka.

Siang itu pertemuan dilakukan di sebuah kafe sekitar rumah sakit. Ajeng nampak sudah menunggu dengan gelisah. Dari radius beberapa meter pintu masuk, terlihat seorang wanita cantik menggandeng pria rupawan yang kemarin menemuinya.

Ajeng mengangguk hormat dengan sambutan lembut. Sementara Vivi terlihat sinis menatap dari bawah ke atas. Sesungguhnya ia kurang setuju melihat Ajeng yang begitu cantik, tentu saja takut kalau suaminya akhirnya kepincut.

"Kenapa harus dia, Mas?" tanya Vivi bernada protes setengah berbisik.

"Kamu keberatan? Tidak ada hal yang perlu kamu khawatirkan, Sayang. Dia hanya menjadi ibu pengganti, tanpa harus berhubungan langsung denganku. Bukankah kamu sudah sepakat kemarin."

Vivi memang menginginkan keturunan dari suaminya sendiri mengingat dirinya tidak bisa hamil. Rahim perempuan itu bahkan sudah diangkat karena sebuah penyakit menimpanya.

"Apa saja yang aku dapat selain uang?" tanya Ajeng mulai membuat kesepakatan. Ia sudah yakin dengan keputusannya.

"Tentu saja biaya rumah sakit dan pengobatan hingga sembuh untuk adikmu. Hidup terjamin hingga pendidikannya, aku akan menanggung, asalkan kamu mau mengandung anakku."

"Selama sembilan bulan saja, tanpa ikatan pernikahan, prosedur seperti yang sudah aku bilang kemarin. Setelah anak itu lahir, kamu tidak boleh menuntut apa pun dan menyerahkan bayi itu pada kami sepenuhnya," papar Abi cukup jelas dan gamblang.

Bab 2

"Bagaimana?" tanya Abi memperjelas.

Tidak ada pilihan membuat gadis itu mengangguk setuju.

"Oke, saya akan pastikan hari ini juga adik Anda memasuki ruang operasi. Persiapkan saja dirimu untuk prosedur inseminasi yang akan dijalani."

"Apakah hari ini?" tanya Ajeng setengah gamang.

"Lebih cepat lebih baik, ingat ya, jangan menuntut apa pun setelah ini. Saya akan kembali beserta surat kontraknya nanti," ujar pria itu lugas.

"Tapi Tuan, bisakah saya menerima uangnya terlebih dahulu, untuk memastikan operasi adik saya benar-benar berlangsung hari ini."

"Baiklah, saya akan transfer separo untuk uang muka, sisanya setelah semua beres."

Mereka pun bertukar nomor ponsel, dengan Abi menunjuk bukti transfer sejumlah uang setelah mendapat nomor rekening yang dikirim perempuan itu.

Satu masalah telah usai, yang tentunya akan muncul masalah lain yang tak kalah pelik. Bagaimanapun ia harus mengandung dari benih suami orang lain. Bukan hanya konyol, tetapi cukup mencengangkan, meresahkan, dan tidak pernah terbesit dalam hatinya.

Kumandang adzan dzuhur membuyarkan lamunannya. Perempuan itu lekas beranjak menuju mushola rumah sakit. Sedikit lebih tenang setelah mengadukan pada-Nya. Iseng gadis itu pun mulai mencari tahu tentang prosedur surogasi di laman pintar ponselnya. Apakah itu akan sakit nantinya? Gejala apa yang ditimbulkan setelahnya.

Gadis itu melebarkan netranya ketika meneruskan sebuah artikel tentang surogasi dan nasab anaknya kelak yang tidak jelas. Mendadak ia diliputi perasaan takut luar biasa untuk melanjutkan kesepakatan konyol yang bahkan sudah disetujui.

Seharian gadis itu dirundung gelisah, haruskah ia membuat pengecualian untuk kesepakatan itu.

"Bagaimana ini?" batin Ajeng kalut bukan main. Untuk memperjelas itu semua, Ajeng sampai menanyakan hal tersebut kepada ahli agama. Betapa terkejutnya perempuan itu mengetahui fakta terlarang dilakukan untuk selain pasangan sah suami istri.

Detik berlalu, jam terus berjalan, seiring langkah kaki mendekat di lorong rumah sakit.

"Kamu mau menipuku? Kenapa tidak balas pesanku, tidak menjawab teleponku. Ingat ya, saya sudah membayar separonya."

"Maaf Tuan, ada yang harus saya perjelas sebelum semua prosedur dilakukan," ujar Ajeng memberanikan diri.

"Apa? Cepat katakan, jangan buang-buang waktuku," tukas pria itu dingin.

"Saya tidak bisa melanjutkan kesepakatan ini terkecuali dengan satu syarat," ujar Ajeng gugup.

"Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, saya bisa saja tuntut Anda atas kasus penipuan."

"Tapi Tuan, saya hanya minta satu syarat, sungguh, demi Allah ini pun sulit untuk saya."

"Apa? Katakan cepat!"

"Saya akan melanjutkan proses inseminasi ini asal Tuan mau menikahi saya," kata Ajeng penuh pertimbangan yang kuat.

"Apa? Kamu mau mencoba merayuku? Jangan terlalu murahan, mana mungkin saya berselera dengan perempuan lain. Saya hanya mencintai istri saya," jawabnya cukup yakin.

Sakit sebenarnya, belum apa-apa sudah dikata-katain. Tetapi memang hanya ada satu cara itu untuk menyelamatkan dari segunung dosa yang mungkin akan perempuan itu lewati.

"Prosedurnya tetap sama, sesuai kesepakatan, tidak ada kontak fisik di antara kita. Hanya saja menghalalkan hubungan kita dalam tanda kutip. Tuan bisa menceraikan saya setelah anak ini lahir."

Pria itu nampak menimbang-nimbang syarat yang tak terduga. Tentu perempuan itu mengajukan tanpa alasan.

"Saya hanya tidak mau kelak nasab anak yang saya kandung tidak jelas, bukan hanya itu, dalam pandangan agamaku juga tidak diperbolehkan, jadi saya mohon maaf yang baru tahu hal ini," ujarnya diplomatis.

"Baiklah, saya menerima syarat itu, hanya satu itu saja dan menikah di bawah tangan, saya ingin semua dilakukan hari ini," ucapnya tanpa basa-basi.

Ajeng mengangguk setuju. Tidak ada hal yang lebih baik selain untuk memperjuangkan kesembuhan adiknya. Hari ini, walau terasa sulit, perempuan itu mencoba berlapang dada. Toh tidak harus ada kontak fisik, jadi semua akan aman sesuai rencana.

Dengan didampingi pemuka agama dan wali hakim, di rumah sakit, di ruang rawat adiknya yang kini terbaring tak berdaya. Sore itu, pria bernama Abimanyu Prayogo telah resmi meminangnya. Ada perasaan yang sesak luar biasa saat kata sah itu berkumandang. Pernikahan dadakan yang pasti tidak pernah Ajeng harapkan.

'Oke, tenang Ajeng, semua akan baik-baik saja. Hanya butuh sembilan bulan dan semua kepahitan ini akan berlalu,' batin Ajeng menyemangati diri sendiri.

"Besok, persiapkan diri kamu, jangan coba-coba mangkir atau semua akan selesai di jalur hukum!" ancam Abi yang membuat Ajeng semakin kuat mencengkram dress yang dipakainya.

"Iya, aku hanya menangguhkan satu syarat, selebihnya sesuai kesepakatan yang Anda buat," jawabnya cukup tenang.

Biar bagaimanapun, Abi sekarang adalah suaminya. Suka tidak suka, mau tidak mau, perempuan itu harus menuruti perintahnya selama tidak menyimpang.

"Besok aku akan kembali, aku tidak mau ada drama lagi. Lebih cepat lebih baik, kamu hamil, melahirkan, menyerahkan anak itu untuk kami, dan hubungan kita pun berakhir," ujar Abi cukup jelas.

Ada seonggok daging yang berdenyut, walau tidak begitu perih. Tetapi nyeri itu terasa, saat dirinya berada dalam kesulitan paling nyata, entah mengapa pertolongan itu datang menawarkan tuba.

Pria itu berlalu setelah memberi banyak ultimatum. Tidak ada yang harus disesali, semua telah terjadi, semua kekalutan itu akan berakhir.

Malam yang terasa panjang untuk Ajeng. Di mana setiap detiknya bagai bom waktu yang akan mengalihkan dunianya. Tentu memasuki kehidupan baru.

"Hanan, berjanjilah padaku untuk menjadi lelaki hebat yang kuat, aku menangguhkan hidupku untuk semua ini. Siapa pun yang telah membuatmu celaka, semoga suatu saat mendapatkan ganjarannya," batin Ajeng sebelum beranjak memenuhi mimpinya.

Hingga pagi menyapa, suara ketukan pintu yang terdengar cukup kuat di telinganya.

"Saudara Ajeng, saya diutus Tuan Abi untuk menjemput Anda." Seorang laki-laki dengan perawakan sedang pagi buta menghampirinya.

"Sebentar Pak, saya siap-siap dulu," jawab Ajeng sembari memastikan dengan benar orang di depannya. Pria itu kemarin juga ada di tempat yang sama saat suaminya mengikrarkan qobul untuknya.

Usai membersihkan diri, Ajeng langsung keluar menemui pria yang belum diketahui namanya itu. Ajeng memasuki mobilnya setelah dipersilahkan. Perempuan itu sedikit kaget kala masuk ke dalam mobilnya menemukan suaminya sudah ada mobilnya.

Gadis itu duduk dengan perasaan gugup dalam jarak normal. Tidak ada percakapan di antara keduanya, hanya bertemu pandang saat detik pertama. Selebihnya pria itu terlihat sibuk dengan macbook di tangannya.

Setelah menempuh kurang lebih tujuh belas menit perjalanan. Mobil sampai di halaman rumah sakit. Entah hanya sebuah firasat atau apa pun. Ajeng mendadak gugup luar biasa.

Kedua pasangan tanpa cinta itu masuk ke dalam ruangan untuk prosedur pemeriksaan dan kesiapan. Setelah semuanya dinyatakan sehat dan aman, langsung pada proses surogasi dengan menanamkan benih melalui kateter yang dimasukkan ke rahimnya.

Bab 3

Sebelum inseminasi buatan, dokter lebih dulu melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa prosedur aman dan sesuai dengan kondisi pasien. Pemeriksaan tersebut berupa foto rontgen, USG, atau hysterosalpingo-contrast sonography (HyCoSy) dengan gelombang suara.

Inseminasi buatan diawali dengan menyiapkan sampel ******. Dari sampel ****** tersebut, diambil ****** yang terbaik sehingga memperbesar kemungkinan wanita untuk hamil.

"Silahkan Ibu berbaring," ujar dokter mempersilahkan.

Ajeng menurut dengan perasaan deg degan. Tentu saja ini akan menjadi awal dirinya merubah hidupnya dengan segala kemungkinan yang ada.

Setelah pasien berbaring di tempat tidur, dokter bersiap menggunakan spekulum ukuran terkecil untuk melebarkan alat vital perempuan itu. Memasukkan kateter berisi ****** ke dalamnya dengan hati-hati melalui pintu rahim dan masuk ke dalam rahim. Menyemprotkan ****** ke dekat tuba falopi. Setelahnya meminta pasien untuk tetap berbaring selama beberapa saat, kemudian melepaskan kateter serta spekulum itu.

Kurang lebih sepuluh menit kegiatan menegangkan untuk Ajeng itu telah usai. Perempuan itu bisa langsung pulang dan dianjurkan untuk beristirahat setelahnya.

Semua prosedur sudah selesai dilakukan, tinggal menunggu hasilnya. Pria itu mewanti-wanti agar Ajeng menjaganya dengan sebaik mungkin. Hasilnya baru akan diketahui setelah dua minggu kemudian.

"Ingat baik-baik, kamu membawa benih premiumku, jaga dengan benar. Setelah ini beristirahatlah, biar adikmu menjadi urusanku," ujar Abi mempertegas kembali.

Ajeng hanya mengangguk sebagai respon. Setelahnya gadis itu pulang diantar pria yang tadi pagi menjemputnya.

Hari demi hari Ajeng lalui. Kabar baiknya operasi Hanan berjalan lancar dan adik semata wayangnya itu lekas membaik. Bahkan, setelah hampir dua minggu mendapat perawatan intensif, Hanan siang ini sudah boleh pulang ke rumah. Tentu saja Ajeng bahagia luar biasa.

"Maaf ya Mbak, aku sudah banyak merepotkan Mbak Ajeng," sesal Hanan berbagi sesi rasa setelah sampai rumahnya kembali yang cukup sederhana.

Rumah petak berukuran lima kali lima yang terletak di pinggiran kota. Cukup nyaman walau sangat sederhana.

"Jangan pikirkan apa pun, yang penting kamu sembuh," ujar Ajeng tersenyum lega.

"Mbak, apa biaya operasiku sangat mahal? Mbak Ajeng dapat uang dari mana?" tanya Hanan penasaran. Merasa kasihan juga harus melimpahkan semuanya pada kakaknya seorang.

"Ada orang baik yang meminjamkan uang untuk Mbak. Jangan khawatir, kamu fokus saja belajar," jawabnya tenang.

Hanan tidak boleh tahu mengenai hal ini semua. Biarlah adiknya tahu kalau ia berhutang. Toh pada kenyataannya memang ia melakukan dengan meminjamkan rahimnya untuk orang lain.

Perempuan itu baru saja membaringkan tubuhnya ke ranjang tetiba vibrasi ponselnya berbunyi. Rupanya pria berstatus suaminya itu yang mengirim pesan. Mengabarkan besok adalah jadwal kunjungan ke rumah sakit melihat hasil dari dua minggu lalu yang sudah berjalan.

Ajeng tidak merasakan gejala apa pun setelahnya. Hanya sedikit flek pas hari pertama. Entah mengapa ia merasa tidak tenang. Antara nanti hamilnya sesuai yang diinginkan atau tidak.

Pagi harinya, Ajeng sudah berada di rumah sakit. Tak berselang lama, Abi terlihat datang. Pria itu bersemangat menyambut calon anak mereka yang sudah lama diharapkan. Namun, raut kecewa langsung menghampirinya saat melihat hasilnya dan ternyata gagal.

"Kamu ngapain aja sih di rumah! Sudah saya bilang istirahat dengan benar!" sentak Abi terlihat murka. Mereka baru saja keluar dari rumah sakit tengah di dalam mobil.

"Maaf, tapi saya sudah melakukan sesuai perintah Anda, bahkan saya tidak masuk bekerja dan melakukan kegiatan yang berlebihan," bela Ajeng tak terima.

Ajeng benar-benar nyaris dipecat lantaran absen terlalu lama. Membuatnya terancam kehilangan pekerjaan. Beruntung nasib baik masih menaunginya dengan memberikan kesempatan untuk masuk kembali setelah sehat.

"Denger ya, saya sudah mengeluarkan banyak uang, sekali lagi program ini gagal, saya akan gauli kamu dengan caraku sendiri," ancam pria itu serius. Membuat Ajeng menatapnya kaget.

"Kenapa? Kamu istri saya, 'kan? Jadi, itu sangat mungkin," jelasnya cukup lugas.

"Tapi itu tidak sesuai di dalam Perjanjian. Tentang kegagalan ini, kenapa cuma nyalahin saya, bisa saja bibit yang Anda hasilkan tidak begitu baik."

"Maksud kamu, apa? Sudah jelas yang diambil kualitas yang paling baik. Nggak usah ngeles, persiapkan diri kamu saja kalau percobaan ulang sampai gagal!"

Seketika Ajeng langsung lemas mendengar itu, bagaimana bisa pria itu memutar perjanjian itu begitu saja.

Nampaknya Abi begitu murka, tetapi Ajeng tak kalah takutnya. Bagaimana kalau benar nanti pria itu datang dan meminta haknya. Walaupun berstatus suaminya, entah mengapa Ajeng merasa tak rela.

Perempuan itu kembali ke rumah dengan perasaan gamang. Berasa dihantui oleh perkataan suaminya sendiri, suami sementara lebih tepatnya.

"Mbak, melamun, itu telurnya gosong," tunjuk Hanan berjalan ke arahnya.

"Astaghfirullah ... hampir saja," ujarnya tak tenang.

Kenapa jadi banyak pikiran. Kalau memang gagal lagi bukan keinginan Ajeng dan pastinya tidak disengaja. Kata dokter kemungkinan gagal juga memang berpeluang lebih dari separonya.

"Nan, makan dulu, habis ini minum obatnya, kamu masih harus banyak istirahat."

"Iya Mbak, aku ambil sendiri saja," ujarnya tersenyum.

Usai makan siang, Ajeng tidak ke mana-mana, hingga sore hari berencana pergi ke kafe untuk memulai kerja. Tetapi sepertinya tidak mungkin, ia benar-benar masih kepikiran.

"Mbak, ada yang nyariin tuh di luar!" seru Hanan mengetuk pintu kamarnya.

"Siapa, Nan?"

"Nggak tahu, tapi sepertinya pernah lihat," ujarnya yakin.

"Siapa sih sore-sore gini nyariin," gumam Ajeng seraya berjalan ke luar.

"Astaghfirullah!" kaget perempuan itu mendapati ternyata Abi yang mencarinya sampai ke rumah.

"Maaf Mas, datang kenapa nggak ngabari. Bukannya tidak sekarang ya?" ujar Ajeng lirih.

"Ganti pakaian kamu, ikut aku sekarang!" titahnya tanpa mau dibantah.

"Ke mana?"

"Kamu tidak berhak banyak nanya," ujarnya dingin.

Ajeng benar-benar takut Hanan curiga. Perempuan itu pun akhirnya mengiyakan saja.

"Aku pamit dulu, sebentar," ujarnya meminta waktu.

Ajeng menemui adiknya di kamar yang sedari tadi cukup penasaran dengan tamu pria kakaknya. Pasalnya, tidak biasanya Ajeng menerima tamu laki-laki begitu terbuka.

"Nan, Mbak pergi dulu ya, ada urusan sebentar."

"Dia siapa?"

"Owh ... teman Mbak, nggak pa-pa."

"Jangan pulang telat!"

"Jangan menunggu Mbak pulang, bisa jadi malam."

Hanan menatap kepergian kakaknya dan pria itu secara bergantian. Setelah mobil melaju meninggalkan pekarangan rumahnya, Hanan langsung mengunci pintu rumahnya.

Sementara Ajeng terus bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ke mana pria itu akan membawanya.

"Turun!" titahnya dingin.

Ajeng menurut walau sebenarnya perasaannya kalut. Perempuan itu baru saja ngeh setelah sampai di lobby hotel.

"Kenapa kita ke hotel?" tanya Ajeng mematung.

"Ada yang salah? Vivi menginginkan kamu cepat mengandung, aku bahkan tidak bercerita tentang kegagalan surogasi kemarin. Jadi, sebaiknya kita perlu mencoba dengan metode skin to skin. Mungkin ini akan lebih cepat. Lagian kita suami istri, jadi tidak ada yang salah, bukan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!