Ini mulai terasa menyesakkan.
Sampai kapan sebenarnya ia harus berada di dunia antah berantah ini? Menjadi orang lain yang tidak dikenali keluarganya sendiri, menjalani plot sampah cerita romantis bertema kerajaan yang dibuat asal-asalan.
Meridian merindukan dunianya.
Merindukan hidupnya.
Merindukan segala yang ia miliki di dunia sana tapi tak ia miliki di dunia ini.
Tapi mau sepanjang apa pun ia berharap, dunia yang ia lihat masih saja sama. Sampai rasanya Meridian akan terus hidup seperti ini sampai ia mati.
Apa ia coba saja menerima semua ini? Mungkin menjalani hidup sebagaimana dirinya?
Peduli setan dengan plot sampah Laila. Daripada ia depresi berkepanjangan, apa nikmati saja mau nanti ia kembali atau tinggal permanen di sini?
"Kamu ingin pergi ke mana?"
Meridian tidak menoleh, tapi terus menyeret kakinya meninggalkan tempat tidur. "Jalan-jalan."
Malam ini ia hanya diawasi oleh Dion.
Raphael pergi ke istana memenuhi tugasnya sebagai penyihir terkuat—untuk menyiapkan pesta yang akan digelar dua hari lagi, sekaligus menyambut sang Pangeran besok.
Sementara itu, Lucas terpaksa harus mewakili Dion yang harus tetap berada di sekitar Meridian.
Sepertinya mereka semua benar-benar khawatir setelah gejolak sihir hari itu. Untung saja Meridian tidak mencobanya lagi.
Udara malam di mansion asing ini terasa sejuk. Tak dingin, tak juga panas. Suasana agak gelap, dan terus terang ia tak tahu arahnya ke mana.
Setiap kali berpikir ia harus berkeliling mengenali medan, rasa tak terima pada kenyataan membuat Meridian malas.
"Apa kamu bahkan harus mengikuti ke mana aku pergi malam hari seperti ini?"
Dion tetap berjalan di belakang, mengawasinya.
Daripada menjawab, dia melakukan sesuatu hingga seluruh pencahayaan lorong tiba-tiba menyala.
Harusnya Meridian tidak lupa kalau mau sebobrok apa pun sifat karakter padanya, selama mereka tampan, maka pasti romantis.
Ayo jangan stres.
Meridian berterima kasih saja pada bantuan dia. Berkat pencahayaan, setidaknya ia menemukan tempat bagus untuk merenung, sekaligus menarik napas dalam-dalam.
Halaman depan tampak gelap sekarang. Berbeda dari saat mereka duduk di sana, baik pemandangan bunga-bunga atau air mancur tidak terlihat.
Rasanya masih sulit diterima. Jangankan Dion, sebenarnya Meridian juga.
Ia ingin percaya ini hanya di luar negeri dan ia tinggal pesan tiket pesawat, pulang ke tanah airnya.
"Aku ingin melihat taman." Meridian menoleh pada Dion yang bersandar pada tembok, masih mengawasinya. "Bisakah, Kakak?"
Apa yah istilahnya?
Murahan?
Tidak, gampangan?
Mau dia, Raphael atau Lucas, dipanggil kakak sudah cukup membuat mereka bergerak.
Padahal wajahnya terlihat 'bodoh amat situ ngapain'.
Meridian pernah merasakan demam pada cowok macam ini. Tapi dirinya yang sekarang sudah waras, jadi daripada terpesona, sebenarnya ia cuma seperti melihat bocah tidak mau jujur padahal ingin permen.
Saat Dion mengarahkan sihirnya, Meridian coba untuk melihat mananya. Dan sesuai dugaan, sama seprti Lucas, tidak terlihat ada jejak mana berwarna.
Kenapa dia berbeda?
Kalau mengikuti aturan cerita fantasi macam ini, perbedaan warna rambut pada saudara bisa berarti beda keturunan. Yang mengherankan, biasanya kalau beda keturunan, ibu tiri akan bersikap kejam.
Tapi ibunya Meridian ini atau ayahnya tidak menatap Dion berbeda.
Siapa orang ini? Seperti apa Laila menciptakan dia? Apa tujuannya?
"Wajahku akan berlubang jika matamu menatapku seperti itu."
Meridian mengangkat alis. Berpaling pada taman yang kini bersinar berkat kekuatan misterius Dion.
Tatapan Meridian hanya bertahan sebentar. Ia malah meletakkan keningnya di atas lengan yang bertumpu pada jendela, berusaha mengendalikan perasaan sepi ini.
Kenapa sebenarnya ia ter-summon ke dunia novel? Dunia novel kan tidak nyata. Terlalu absurd untuk disebut dunia. Isinya cuma fokus pada tokoh utama, dan seluruh figuran tidaklah penting.
Tidak ada Tuhan di sini. Makanya pengaturan dunia jadi aburadul. Disusun sesuai kemauan penulis saja, yang jelas subjektif menatap karakternya.
Lalu kekuatan apa yang memindahkannya?
"Hah."
"Meridian."
Sejenak, Meridian tersentak.
Mungkin ia terlalu melamun sampai tidak menyadari bahwa Dion berada di belakangnya, namun kenapa dia berdiri sedekat itu?
"Ada apa?" Meridian melirik. Jika ia menoleh, wajah Dion dan wajahnya akan bersentuhan.
Apa dia coba mengintimidasi?
"Apa perasaanmu pada Pangeran benar-benar sudah hilang?"
Meridian menopang dagu dan kembali menatap taman. "Sepertinya."
"Atas dasar?"
Karena karakter dia membosankan. Setidaknya dari tebakan Meridian.
Seleranya dan Laila selalu bertabrakan, jadi Meridian mustahil suka pada karakter yang dia sukai.
Kecuali visualnya.
"Aku hanya merasa aku tidak akan menyukainya." Meridian bergumam. Menikmati angin yang berembus secara alami.
"Siapa orang yang menurutmu bisa kamu sukai?"
"Untuk apa Kakak bertanya?"
"Mengatur pernikahanmu adalah tanggung jawab Ayah dan tanggung jawabku."
"Aku menyukai ...." Meridian tiba-tiba saja mengatakannya. ".... Duke Muda."
"Herdian?"
"Yah, kurasa dia menarik."
Meridian bisa menjelaskan pada Herdian nanti, daripada ia harus repot menjelaskan pada pria penuh kecurigaan ini.
"Kamu seharusnya baru pertama kali bertemu Herdian, jika berasumsi dari sejak kamu mengaku hilang ingatan."
"Lalu?"
"Bagaimana kamu mengganti Pangeran dengan Duke Muda?"
"Bukankah kamu bertanya pria yang bisa kusukai?"
Orang ini sedang coba menjebaknya. Kalau Meridian pura-pura lupa ingatan sungguhan, sudah pasti ia terjebak.
"Aku hanya mengatakan aku bisa menyukai Duke Muda walaupun aku rasa aku juga tidak mau."
"Kenapa?"
"Aku—"
"I don't really wanna be your friend! I was forced! I'm just stuck in superiority and inferiority between you and me. I'm sick of you! You know what? I wish I was born with a super backup and super talented. So lucky you."
Meridian terhuyung. Mengerang kesakitan oleh serangan suara asing di kepalanya yang mengantarkan ribuan listrik menyakitkan.
Siapa itu?
Kenapa rasanya Meridian mengenal baik suara itu?
"Kepalamu sakit lagi?" Dion memegangnya baik-baik. "Ayo kembali. Kurasa kamu butuh istirahat lebih."
Siapa?
Itu ... ingatan Meridian ini?
...*...
Aneh. Semakin Meridian coba memikirkan suara yang tiba-tiba muncul itu, justru semakin samar ia bisa mengingatnya.
Hari di mana ia bangun pagi-pagi hanya untuk bersiap-siap menghadiri perjamuan Kekaisaran, Meridian sudah tidak bisa mengingat satu huruf pun dari suara itu.
Apa yang bisa ia ingat hanya suara itu berteriak dan Meridian merasa sangat tertusuk.
Meridian ini, sepertinya dia punya musuh. Apa mungkin musuh itu yang mengatakannya?
Tapi kenapa ingatan Meridian fiksi bisa bercampur dengan ingatan Meridian yang asli (dirinya yang asli, tanpa harus diperdebatkan)?
"Meridian."
Yah, baiklah. Lupakan itu dulu
Mirip seperti saat ia akan ke kota, di depan mansion, Meridian bertemu Ibu dan Ayah yang ia sudah lupa siapa nama mereka.
Bedanya, dari penampilan mereka, nampaknya seluruh anggota keluarga kali ini akan hadir ke pesta perayaan kepulangan sang pahlawan perang.
Tuh kan, mereka juga diundang. Kenapa Meridian malah dapat undangan sendiri?
"Ayah dengar kondisimu tidak stabil hingga Dion menjagamu." Si Ayah mengerjap khawatir padanya. "Anak itu dan Raphael bersikeras menjagamu langsung. Jika seburuk itu, beristirahatlah di kamar. Tidak perlu memaksakan diri hadir."
Setidaknya Laila membuat Meridian disayangi di sini. Padahal kalau di cerita-cerita lain, rumor buruk akan menyebar jika tunangan sang pahlawan perang tidak muncul.
"Ayahmu benar, Nak." Ibu mengelus lengannya. "Tinggallah di rumah jika memang kondisimu tidak memungkinkan. Ibu bisa beralasan pada Yang Mulia Ratu. Beliau akan mengerti."
Mau berapa kali pun diperhatikan, Meridian merasa asing.
Memang tidak seharusnya ia berada di dunia aneh ini.
"Aku baik-baik saja, Ibu, Ayah. Lagipula, Tuan Putri mengundangku secara langsung. Akan sangat tidak sopan jika aku tidak hadir."
Bohong.
Alasannya jelas tidak masuk akal.
Jika kekuasaan si Tuan Putri Kekaisaran itu sangat luar biasa sampai orang sakit saja harus hadir, maka Kekaisaran Alala ini adalah negara tirani.
Nampaknya bukan, jadi Meridian bisa beralasan sakit jika memang ia sakit.
Tapi ... Meridian rasa ia harus bertemu si Pahlawan Perang Tercinta.
Pertama, lihat kadar wajahnya. Kadar wajah menentukan banyak hal dalam cerita romansa, mau fantasi atau kontemporer. Semakin tampan maka semakin bucin.
Setelah itu, mari lihat kadar otaknya.
Itu akan menentukan Meridian akan memperlakukan dia seperti apa.
Di fiksi kan pangerannya tidak akan brutal sampai memenggal leher seseorang yang kurang ajar. Pasti pangerannya akan diberi alasan 'hari ini aku berbaik hati' dan sejenisnya.
Kalau dia bodoh, Meridian akan habis-habisan melampiaskan emosi padanya.
Dasar tokoh utama!
Yah, Meridian juga, sih.
"Aku akan duduk dengan Lucas." Meridian segera kabur lepas basa-basi selesai.
Dari yang ia dengar, Dion sudah berangkat lebih dulu bersama Raphael, jadi sekarang tersisa mereka berempat.
Si Kembar tidak ikut sebab mereka masih bocah.
Baiklah. Ayo temui si Pangeran Mata Sharingan itu.
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments