"Apa benar dia lupa ingatan?"
"Hei, Lite, dia hanya menyembunyikan rasa malunya. Jika aku pingsan berhadapan dengan Yang Mulia, kurasa aku juga akan pura-pura lupa ingatan!"
"Benarkah? Tapi Ibu menangis semalam."
"Dia pasti sudah gila."
Sepertinya mereka membicarakan Meridian. Apa ia pura-pura tidur saja sampai tidur betulan?
"Bocah, minggirlah. Dia sudah bangun."
Cih.
"Meridian." Si Yang Tadi Memperingati dua bocah brengsek itu bersuara. Mendekati Meridian seolah-olah ia pasien lumpuh. "Duduklah perlahan. Jangan memaksakan diri."
"...."
"Kamu mengenal kami, kan?" Yang satu lagi bersuara. "Tolong jangan katakan tidak. Aku tidak percaya kamu—"
"Aku tidak mengenalmu." Meridian masih terbawa kesal pada Dion kemarin. "Pergilah jika tidak ada urusan."
Hening.
Perasaannya saja atau semua orang agak terlalu kaget? Kenapa, sih? Memangnya tidak bisa mereka sedikit bersikap biasa saja?
"Hei, dia sungguhan Meridian?" Si kembar bertanya pada kembarnya. "Dia tidak gagap! Dia berkata pergilah!"
"Dia pasti bukan Meridian!"
Yaya, sekalian saja katakan 'dia pasti lupa ingatan'. Dasar keluarga sabun.
"Kembar, diamlah." Saudara Meridian yang membantunya duduk langsung tersenyum begitu menatap Meridian. "Tidak apa, Adikku. Aku tinggal memperkenalkan diri. Namaku Raphael. Mereka Litea dan Litae, lalu dia Lukas. Kamu bisa mengingatnya?"
"Apa maksudnya aku gagap?"
Jangan bilang si Brengsek itu menjadikan Meridian tokohnya sebagai wanita gagap? Masa dia memasangkan perempuan gagap dengan pangeran? Seleranya sungguh aneh.
"Aku tidak bisa percaya ini." Lukas menukas, terkesan marah. "Apa-apaan lupa ingatan? Berhenti bermain! Tidak ada satupun dari kami yang menyalahkanmu, jadi—"
"Kalau begitu berhenti menuntutku melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan, Kakak Lukas."
Dia terkejut seolah-olah kiamat di depan matanya.
"Hei!" Bocil A memanggilnya. "Kamu sungguhan? Kamu melupakan kami? Kamu juga melupakan janjimu memberikan camilanmu selama sebulan padaku?"
Meridian tersenyum manis. "Tentu saja—"
Bocah itu berbinar.
"—aku harus mati tujuh kali untuk membuat janji semacam itu, jadi tidak."
"Kamu bukan Meridian!" Si B menunjuknya. "Orang aneh! Orang gila! Dasar penyihir!"
Kini Meridian yang cengo. Mulutnya menganga atas kepergian dua bocah sinting yang berlari seperti melihat hantu itu.
"Aku percaya." Lukas tiba-tiba bersuara. "Meridian tidak akan berbicara sepertimu. Kamu bukan Meridian."
Oh, ternyata itu diturunkan dari kakak mereka.
Meridian mendengkus pelan.
"Maafkan mereka. Mereka mengkhawatirkanmu." Raphael menyentuh tangannya lembut. "Semua baik-baik saja, Meridian. Kami semua akan berupaya agar ingatanmu kembali."
"...."
Raphael menarik tangannya seolah tersadar. "Maafkan aku. Kurasa kamu tidak nyaman?"
Pria kikuk ini, sepertinya dia tokoh sampingan yang cukup penting. Di antara semua sih, masih lebih tampan Dion. Tapi kalau sikapnya begini, kemungkinan Raphael adalah tokoh kakak idaman.
"Aku baik-baik saja."
Meridian tidak merasa terganggu.
Lagupula, ia selalu merasa ini adalah dunia mimpi. Jadi kecuali perhatian berlebih-lebihan seperti yang dilakukan si Ayah dan si Ibu, juga sikap menyebalkan Dion atau Lukas, Meridian baik-baik saja.
"Daripada itu, Kakak, bisakah aku meminta sesuatu?"
"Tentu saja. Katakan padaku."
"Aku ingin jalan-jalan."
"Jalan-jalan?"
"Berkeliling. Melihat kota. Kurasa itu akan membantu ingatanku."
Untuk sekarang, ayo lihat dulu kota macam apa yang diciptakan Laila Sinting itu agar ia bisa lebih paham harus mengambil langkah apa. Tapi tentu, ia harap besok semua ini sudah runtuh, alias ia terbangun dari tidur panjangnya.
Karena bagaimanapun, tidak peduli bagaimanapun caranya, Emilia harus kembali dan akan kembali. Meninggalkan dunia yang ia yakin tidak memiliki harapan apa pun kecuali ampas ini.
Dunianya nyata adalah dunia.
Aku sudah kenyang membaca cerita seperti ini. Meridian tersenyum remeh. Tinggal mencari tahu bagaimana polanya, pasti ada celah untuk kembali. Pertama, cari informasi.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments