Bicara soal karakter Meridian, sebenarnya ada alasan kenapa Laila menggunakan nama Meridian sebagai tokoh utamanya.
Dia bilang, Meridian adalah gambaran tokoh utama yang tinggal dipermak sedikit agar bisa sesuai standar dunia fantasi.
Hari ini, saat ia bercermin, Meridian kembali mengamati wajah dan tubuhnya.
Laila sungguh author yang gila. Bentuk tubuh Meridian ini tampak sempurna. Terutama di bagian booty yang nampak kencang menonjol, terbelah seksi.
Dia meniru Meridian di dunia nyata, tapi Meridian kesal karena ia butuh waktu satu tahun membentuk bokong idamannya, sementara gadis ini punya hanya karena dia tokoh novel.
Jangankan workout, tangannya diangkat ke atas saja sudah terasa pegal. Cerita dari mana orang kurus macam ini punya booty persik begitu?
Dadanya agak kecil. Tidak sebesar dada Meridian di dunia nyata. Tapi proporsi tubuhnya sempurna, karena wajah Meridian ini memang agak kekanakan.
Ck.
Meridian agak gelisah dengan semua ini.
Sudah terhitung tiga hari. Sebenarnya kenapa ia berada di sini? Kenapa tidak sekalian Laila juga di-summon?
Setidaknya ada seseorang yang bisa Meridian hajar.
"Meridian?" Pintu kamar mandinya diketuk, dan suara Raphael terdengar. "Maafkan aku berbuat tidak pantas, tapi pelayanmu khawatir. Kamu baik-baik saja?"
Meridian menghela napas. Mengambil jubah mandi dengan tangan kurusnya, dikenakan buru-buru sebelum ia keluar.
"Syukurlah." Raphael tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu di luar. Berdandanlah sepuasnya."
Memang dia perlu mengatakan itu?
Tapi terserahlah.
Setelah Raphael pergi, pelayan datang membantunya memakai gaun. Meridian merasa akan mati saat dipasangi korset—dari sana ia mengerti kenapa korset tidak lagi digunakan di zaman modern, karena sungguh jika ada penyiksaan, pelecahan, pengekangan kaum wanita, maka benda itulah pelakunya—hanya untuk tampil tegak memakai gaun aneh.
Kalau tidak salah ingat, selera gaunnya Laila itu lebih ke arah gaun lengan panjang namun ketat. Benar-benar bukan selera Meridian yang menyukai lengan pendek agar tak gampang panas.
Untuk sekarang, ia bersabar saja. Patuh memakai semua yang dipasangkan pelayan seolah-olah ia tak sedang mau jalan-jalan tapi mau menikah.
Pantas saja Raphael berpesan berdadan sepuasnya.
Jangan-jangan Meridian bermata kristal ini suka berdandan bodoh begini?
Hah. Harusnya Meridian tidak mengizinkan dia menggunakan nama Meridian pada tokoh utama.
Lepas memakai sepatu hak tiga senti, Meridian menyeret kakinya yang sudah lelah duluan.
Lagi-lagi ia menyumpahi Laila.
Mana bisa pemilik booty persik punya kaki lemah! Sebelum booty-nya terbentuk, kakinya dulu yang perlu diperkuat. Jika Meridian kembali, ia akan mencekoki Laila dengan dumbel agar tahu rasa.
Dia pikir booty hadir dalam semalam dua malam?
Sambil mendumel dalam hati, Meridian entah kenapa sudah tiba di lantai paling bawah. Sebenarnya ia berpikir mengelilingi mansion ini juga, tapi tidak ada yang penting di sini, jadi sebaiknya ia keliling kota dulu.
Ternyata di depan ada Ayah dan Ibu.
"Meridian."
Apa bangsawan hidupnya tanpa kerja, yah? Perasaan dua orang ini selalu ada di mana-mana.
"Putriku, kamu belum mengingat apa pun?"
Meridian berusaha tidak risi saat Ibu memeluknya.
Ibu aslinya Meridian boro-boro berkata putriku. Bertemu sekali sebulan pun sudah untung. Tapi karena ibunya macam itu, Meridian jadi risi dengan ibu yang macam ini.
Kenapa Laila tidak membuat ibunya Meridian jadi ibu tiri saja? Lagipula itu mungkin bisa menjelaskan alasan kenapa rambutnya Dion cs hitam, lalu rambut Meridian malah putih.
"Aku sedang berusaha, Ibu." Meridian mundur. Lari dari pelukan menyesakkan itu. "Kalau begitu aku permisi dulu."
"Meridian." Ternyata Ayah harus ambil dialog juga. "Ayah tahu ingatanmu sedang bermasalah, tapi bukankah sikapmu terlalu dingin? Kami juga kebingungan, Anakku."
Meridian tertohok. Baginya, mereka orang asing yang sok dekat, jadi agak kelepasan.
Tapi sepertinya si Ayah ini benar.
"Maafkan aku, Ayah." Meridian menahan egonya dan membungkuk hormat. "Tolong maklumi kebingunganku. Aku sedang berusaha."
Ayo kabur.
...*...
Meridian buru-buru beranjak pergi, mendekati sebuah kereta kuda (sungguhan) yang pintunya terbuka. Tentu saja Meridian terdiam sangat lama memandanginya, seumur hidup baru pertama kali melihat kereta kuda bangsawan.
Tidak jauh berbeda dari delman, jujur saja. Hanya agak ... lebih banyak emas.
Kalau ini kerjaan Laila juga, Meridian hanya akan melakukan satu hal.
Menabok kepalanya keras-keras pakai batang emas.
"Meridian?"
Huf. Ayo kendalikan diri dulu.
Dunia fantasi memang tidak waras. Jadi yasudah.
Sambil berpegang pada Raphael yang menunggunya, Meridian menaiki kereta tersebut. Spontan saja ia terkesiap mendapati Dion dan Lucas masing-masing melipat tangan, duduk anteng di dalam kereta yang ia pikir hanya untuknya dan Raphael.
Cih.
"Ada apa dengan wajahmu?" Lucas bertanya sinis.
"Hanya kesal melihat seseorang." Meridian mengalihkan pandangan dari mereka. Berpura-pura menatap ke luar jendela kereta sementara Raphael ikut naik, duduk di sebelahnya.
Lalu hening.
Keheningan yang panjang, penuh tatapan mata.
Meridian tahu ia memang aneh karena mengaku lupa ingatan, tapi haruskah ia dipandangi sebagai pelaku kriminal atau sejenisnya?
Bangsawan macam apa yang tidak punya sopan santun?
Oh, benar juga. Bangsawan di novel memang tidak tahu sopan santun.
Seluruhnya.
"Apa kamu yakin ingatanmu akan kembali jika melihat kota?" Dion membuka suara.
"Entahlah."
"Hei, kami mencoba membantumu. Apa itu caramu membalas?"
"Mungkin saja."
Raphael menepuk punggung tangan Meridian. "Tenanglah, Meridian. Mereka berdua sungguh-sungguh mengkhawatirkanmu. Hanya cara mereka agak tidak menyenangkan."
Setidaknya dia benar.
Sangat tidak menyenangkan. Lebih benarnya lagi.
"Apa saja yang kamu ingat?" Dion bertanya lagi.
"Tidak ada."
"Jangan berbohong. Aku setidaknya tahu amnesia tidak menghapus ingatanmu secara keseluruhan. Jika iya, kamu akan kesulitan berkomunikasi."
Lucas berdecak. "Pelayanmu bilang kamu mengatakan sesuatu tentang peperangan. Apa maksudmu?"
Kalau dipikir ulang, kenapa putra mahkota pergi berperang lalu orang-orang ini malah damai-damai saja di sini?
Orang paling terakhir yang boleh mati kan calon raja. Justru masih lebih baik kalau raja duluan yang mati, sebab memang umur calon raja akan lebih panjang.
Tapi ini, calon rajanya malah ke medan perang, sementara kroco-kroco ini sibuk menggerutu.
"Hah." Meridian tidak tahan jika tidak mendesah kecewa.
Setidaknya biarkan orang ganteng ini juga menyabet gelar pahlawan perang. Kenapa hanya Andaru?
"Apa menjawab bahkan sulit bagimu sekarang?"
"Dion, tenanglah. Meridian hanya kebingungan."
"Lihat wajahnya." Lucas menunjuk Meridian. "Kebingungan dari mana wajahnya? Dia hanya kesal dan bermain-main."
Meridian menatap tajam dua pria tampan itu. "Jika aku bermain-main, Kakakku yang budiman, mengapa meluangkan waktu membantuku? Anak kecil yang berbohong untuk mendapat perhatian seharusnya diabaikan. Aku tidak meminta kalian menemaniku. Aku meminta Raphael menemaniku."
Hening.
"Hei, kurasa itu cukup." Raphael tampak agak defensif. "Aku tahu itu sulit dipercaya, tapi apa ada penjelasan lain dari sikap Meridian sekarang? Kita semua mengenalnya sejak lahir."
Penjelasan yang bagus.
Apalagi karena responsnya diam.
Meridian jadi leluasa merenung sambil memandangi keadaan di luar.
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments