12

Genap sudah Beberapa Minggu usai kejadian berdarah itu, keadaan Akashi juga sudah lebih membaik setelah menjalani pengobatan di Rumah Sakit yang kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari Kamp Pelatihan Musim Panas.

Namun tidak dengan mental dan sikapnya, ia lebih banyak mengurung diri didalam Kamar dan menghindari interaksi dengan teman-temannya. Dan sikapnya itu juga semakin menjadi-jadi tatkala saat ia harus menerima kenyataan kalau mata kirinya tidak lagi dapat berfungsi, jelas saja hal ini membuatnya sangat marah dan berulangkali mengutuk kehidupannya sendiri. Belum lagi perasaannya semakin hancur karena tidak bisa membantu timnya, sampai membuat Tim Rakuzan mengalami kekalahan terus-menerus dalam Latih tanding pelatihan Kamp Musim Panas.

"Arghhhh...!" teriak Akashi seraya melemparkan Bola Basket kesegala arah, ia telah menghabiskan setengah jam hanya untuk berteriak dan melemparkan bola basket ke segala sisi ruangan kamar dengan keadaan penerangan yang cukup redup.

Akashi benar-benar menggila belakangan ini, ia bahkan tak lagi memperdulikan kekhawatiran teman-temannya ataupun kemarahan Sang Ayah yang merasa tak seharusnya Akashi bertingkah memalukan seperti ini. Bagi Ayahnya, Akashi adalah penerus kekayaan keluarga Akashi dan tak pantas rasanya sang anak bersikap memalukan seperti itu. Apalagi, Akashi adalah satu-satunya harta berharga peninggalan mendiang istrinya yang sudah seharusnya Tuan Akashi didik menjadi emas yang berkilau diantara pusaran tata Surya.

"Masa depanku? Kekuatanku telah hilang," gumam Akashi yang malah terlihat seperti orang yang sudah kehilangan akal, ia menatap kearah jendela kamarnya seperti tengah membayangkan sesuatu.

Untuk sesaat ia terdiam, kali ini ia benar-benar meneteskan air mata yang membanjiri pipinya dan membiarkan bola basket itu kembali menggelinding mengenai kakinya.

"Basket adalah peninggalan Mama. Lalu, bagaimana aku bisa hidup tanpa Basket?" tanyanya dengan suara lirih, seraya ia raba balutan kasa dan perban yang menutupi mata kirinya.

"Bagaimana aku bisa hidup dengan ketidaksempurnaan ini? Bagaimana aku bisa memenuhi semua harapan keluargaku, dan bagaimana juga aku membiarkan harga diriku terkoyak-koyak seperti ini?" gumamnya sekali lagi, sebelum akhirnya ia lepaskan balutan yang menutupi matanya dan memukuli matanya dengan kepalan tangan berulangkali sampai terasa nyeri.

Rasa sakit itulah yang membuatnya terduduk lemas dilantai kamar, ia menundukkan kepalanya saja seraya menangis pelan mencoba menahan kepedihan yang masih bisa ditahannya dalam hati. Hingga suara ketukan pintu dari luar menyerukan nama Akashi berkali-kali, suaranya sangat terdengar familiar ditelinga Akashi sampai membuat Akashi terasa muak mendengarkannya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Ushijima yang terdengar ragu sekaligus merasa bersalah atas perbuatannya waktu itu.  Jelas saja Ushijima merasa sangat bersalah, siapapun pasti tak akan menyangka kalau tindakan yang kita lakukan tanpa sengaja bisa merenggut masa depan orang lain.

"Kalau kau baik-baik saja, lebih baik berhenti mengurung diri dikamar! Pelayanmu sudah membuatkan makan malam untukmu," ucap Ushijima yang berniat pergi tanpa sekalipun berniat meminta maaf secara langsung pada adik tirinya itu. Walau sebenarnya ia merasa sangat risih bila bersikap baik dengan orang lain, bahkan kalau diingat-ingat sekali lagi bahwa Ushijima bukanlah orang yang perhatian dan perduli pada apapun.

"Dasar sampah tidak berguna! Kau pikir bisa hidup tenang, setelah kau menghancurkanku dan bersembunyi dibalik kata ketidaksengajaan!" teriak Akashi yang tiba-tiba saja sudah membuka pintu kamar dan memukul keras perut Ushijima yang kebetulan belum sempat beranjak dari sana.

Jelas saja Ushijima tidak mau kalah, ia balik membalas pukulan Akashi yang membuat keduanya berulangkali beradu pukulan. Mereka sampai terjungkal secara bersamaan di lantai dan bergelut hebat saat itu juga, keduanya saling membalas pukulan satu sama lain. Matanya tak bisa berbohong kalau saat ini ada aura kemarahan di balik bola mata Akashi, berbeda halnya dengan Ushijima yang memperlihatkan ekspresi wajah yang tampak merasa bersalah.

Akashi tak berhenti menyerang Ushijima yang fisiknya jauh lebih kuat dibandingkan Akashi, ia mencengkram keras leher Ushijima yang membuat Ushijima langsung menendang keras tubuh Akashi untuk bisa lepas dari cengkraman kerasnya.

Akashi yang memang bertubuh mungil langsung terlempar jatuh disebelah Ushijima, ia berbaring telentang sambil mengatur jalan nafasnya yang tersengal-sengal selama beberapa saat. Sepertinya ia tampak bersyukur atas tindakan Ushijima barusan yang telah menghentikannya untuk menghabisi Ushijima saat itu juga.

"Kau benar-benar Monster, bisa-bisanya kau hampir membunuhku!" keluh Ushijima yang juga tengah mengatur nafasnya. Baginya, perkelahian dengan Akashi barusan jauh lebih melelahkan dibandingkan latihan Voli setiap harinya.

Namun, Akashi tak memberikan tanggapan apapun. Ia masih diam seraya menatap langit-langit koridor rumahnya, tak ada sekalipun ketertarikan baginya untuk menggubris Ushijima selain memejamkan kedua matanya sejenak.

Hingga salah satu pelayan Akashi datang mendekat karena mendengar suara kebisingan dari arah kamar Akashi, jelas saja pelayan tersebut menjadi panik dan buru-buru menghampiri Akashi.

"Tuan Muda, apa yang terjadi? Wajahmu telah lebam seperti ini," ucap sang pelayan yang jelas saja menjadi khawatir kepada anak dari majikannya itu.

Akan tetapi, sepertinya suasana Akashi sedang tidak baik-baik saja. Ia langsung menepis tangan sang Pelayan yang berniat membantunya berdiri, matanya menatap kesal kepada pelayan tersebut. Dan tubuhnya langsung bangkit disaat itu juga dengan posisi duduk.

"Berhenti menatapku dengan tatapan menyedihkan seperti itu, kau hanya membuatku tambah kesal!" tegas Akashi yang sontak membuat Sang Pelayan terkejut. Disaat yang bersamaan pula, Akashi kembali berdiri dan berjalan masuk kedalam kamar yang segera ia kunci sekali lagi seperti biasanya.

Akashi benar-benar kembali kedalam kegelapan yang kini menguasai hati dan pikirannya, bahkan ia tak lagi memerlukan penerangan lampu didalam kamar yang sengaja ia matikan. Baginya, ruangan yang gelap ataupun terang terasa sama saja.

Sementara itu, Ushijima sudah berjalan meninggalkan kamar Akashi. Ia juga tak terlalu tertarik menggubris kekhawatiran sang Pelayan yang langsung beralih padanya usai Akashi masuk kamar. Baginya, ia bukanlah anak dari keluarga Akashi yang pantas dikhawatirkan. Ia juga tak tertarik bisa menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut, satu-satunya yang ia inginkan ialah dianggap sebagai atlet nasional Voli seperti keinginan dan harapan sang Ayah yang telah membiarkannya dirampas paksa oleh sang Ibu.

Langkahnya terus berjalan menuju keluar rumah, "Tuan Ushijima, anda mau kemana? Sebentar lagi, Nyonya dan Tuan besar akan segera pulang."

Salah seorang Pelayan tampak curiga dengan gerakan Ushijima, makanya ia langsung menghalangi Ushijima untuk melewati ambang pintu.

"Lagian, anda kan sedang dihukum oleh Tuan dan Nyonya untuk tidak pergi kemana-mana dulu selama beberapa hari ini. Saya harap Anda bisa mengikuti aturan yang berlaku kepada anda," ucap sang Pelayan, sepertinya ia tengah memegang penuh kepercayaan untuk mengawasi Ushijima yang sedang dihukum.

"Dia bukan Ayahku, tak ada alasan bagiku mendengarkan perintahnya. Lagian kau tak seharusnya menghalangiku, aku mau pergi ke rumah Ayah kandungku sekarang!" beritahu Ushijima tanpa memperdulikan reaksi apa yang akan diperolehnya usai mengatakan hal tersebut.

"Anda tak seharusnya berbicara tidak sopan seperti itu, walau bagaimanapun Tuan Akashi telah menjadi Ayah anda sekarang. Dan berhenti membantah seperti ini usai melukai Tuan Muda kesayangan kami, anda seharusnya bersyukur atas hukuman ringan yang diberikan Tuan Akashi meskipun Anda sudah melakukan perbuatan yang sangat fatal terhadap Tuan Muda Akashi!" celutuk Sang Pelayan yang sepertinya tak menyukai kehadiran Ushijima, akan tetapi walau bagaimanapun ia harus mengawasi dan menghormati majikan barunya itu seperti ia yang sangat menghormati Tuan Akashi dan menyayangi Tuan Muda Akashi yang telah dijaganya sejak kecil.

"Perkataanmu benar-benar terdengar seperti orang yang sedang menyalahkanku, kau pikir hanya Akashi yang menjadi korban disini? Asal kau tahu saja, tak mungkin ada api kalau tak ada sumbu yang menjadi pemicunya." Ushijima berbicara blak-blakan, baginya semua ini tak mungkin terjadi bila Akashi tak memancingnya hari itu.

"Kalau memang Tuan muda Akashi yang telah seenaknya menjadi sumbu kemarahan anda Waktu itu, tetap saja tak seharusnya anda melakukan tindakan fatal sampai membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga baginya. Kami benar-benar tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau nantinya Tuan Muda berhenti bermain basket lagi. " Sang pelayan mendekat beberapa langkah, ia bisa melihat perasaan marah yang tersimpan menumpuk dalam kepalan tangan Ushijima.

"Kalian semua berlebihan! Kalau memang dia memang mencintai basket melebihi apapun di dunia ini, maka tak perlu ada alasan baginya untuk membenci Basket hanya karena kehilangan salah satu matanya. Lagian, kenapa juga dia harus bersikap berlebihan seperti itu? Basket hanyalah olahraga ekstrakulikuler, tak seharusnya ia mengutuk dirinya apalagi sampai membenci Basket."

"Basket bukanlah hanya sekedar permainan sederhana dimata tuan muda Akashi, Basket adalah satu-satunya peninggalan berharga yang diwarisi mendiang nyonya besar kepada Tuan Muda. Dengan permainan basket, Tuan muda Akashi bisa merasakan kehangatan Nyonya dan basket jugalah yang mampu mengembalikan senyuman hangat di wajah dingin Tuan Muda Akashi. Dan kedua mata tuan muda akashi adalah satu-satunya hal terindah yang diwarisi juga oleh gen Nyonya Besar, mata indah yang selalu mengingatkan kami kepada mendiang."

Ushijima tercengang mendengarkan perkataan Sang Pelayan, pikirannya mulai berkecamuk dan denyut jantungnya berdetak lebih cepat dibandingkan biasanya. Ia mulai memahami alasan yang kuat untuk membuatnya menyadari sebegitu berharganya basket dimata sang adik tiri.

"Aku harus pergi sekarang," ucap Ushijima tanpa memberikan respon apapun. Ia langsung menerobos bahu sang pelayan dan menginjakkan kaki meninggalkan rumah mewah itu, meski saat ini ia merasa sesak dan penuh perasaan bersalah. Seperti yang kita ketahui bersama, kalau Ushijima hanyalah tertarik kepada sesuatu yang dipahaminya dan saat ini ia telah berhasil memahami sedikit mengenai sosok Akashi melalui perkataan sang pelayan. Dan kini, kita hanya bisa menunggu bagaimana nantinya Ushijima akan bersikap kepada sang kapten kiseki no sedai tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!