Labirin sihir, sebuah tempat berbentuk bulat. Dimana semua yang berada di dalamnya harus bisa keluar dari sana. Dengan kemampuannya sendiri. Tanpa bantuan kekuatan sihir sama sekali. Terutama kekuatan pikiran. Karena begitu kau masuk ke sini. Dinding labirin itu, akan langsung memblokir kekuatan pikiranmu.
Dinding labirin mengandung sihir yang memungkinkan pikiran siapapun tidak bisa menembusnya. Baik masuk atau keluar.
"Kita harus segera keluar dari sini." Ucap Luis. Bangun dari tidurannya, masih menatap sekelilingnya. Lalu beralih melihat Ara. Yang masih terduduk. Luis melepas jasnya. Lalu memakaikannya di tubuh Ara, yang hanya memakai blus kerja.
"Tidak mau," tolak Ara.
"Tempat ini semakin lama akan terasa semakin dingin," desis Luis. Pria itu berjongkok di depan Ara. Memakaikan paksa jas miliknya. Baru setelah itu Luis melepas dasinya, lalu menggulung kedua lengan kemeja hitamnya.
"Aku tahu, aku tampan," tebak Luis. Sebab ia tidak bisa menggunakan kekuatan pikirannya di sini.
"Narsis sekali dia," gerutu Ara, berusaha bangun dengan berpegangan pada satu tangan Luis. Luis seketika dengan lembut menarik Ara bangun.
"Kau berhutang jawaban atas semua pertanyaanku," Ara berkata ketus.
"Kita lihat saja nanti," Luis berucap ambigu. Sebab satu sisi dirinya tidak mau membohongi Ara. Tapi satu sisi, Luis takut Ara akan meninggalkannya begitu tahu kalau dia vampir.
Ara hanya bisa menarik nafasnya geram. Mendengar jawaban yang tidak pernah pasti dari Luis.
"Jadi kita mulai dari mana?" Akhirnya Ara bertanya.
"Menurutmu?"
"Kanan lebih bagus. Semua hal baik dimulai dari kanan."
"Siapa bilang? Aku bilang kiri."
"Ya terserah kalau mau ke kiri. Aku mau ke kanan. Bye...." Ara berucap lalu berlalu dari sana.
"Ara...Ara...tunggu " Luis akhirnya menyusul Ara. Dia tidak mungkin meninggalkan Ara di tempat ini.
"Pintu masuk adalah pintu keluar."
"Kau tahu semua ini?"
"Tidak juga. Hanya saja seseorang pernah bercerita padaku soal Labirin sihir.
"Berarti dia pria aneh juga sepertimu?"
"Aku tidak aneh ya. Aku ini tampan. Asal kau tahu. Bahkan dunia mengakuinya."
"Tapi aku tidak!"
"Haisshhh, kau ini."
"Padahal jelas-jelas aku dengar kau bilang aku tampan," batin Luis.
Sampai kemudian tiba-tiba, Luis berhenti. Menarik tangan Ara untuk mundur.
"Apa yang kau tahu soal labirin?" Tanya Luis.
"Tempat yang menyenangkan untuk bermain..."
"Menyenangkan hatimu. Ini labirin...."
"Dengarkan dulu kalau orang lain ngomong." Potong Ara cepat. Luis langsung ternganga. Ucapan Ara sama persis dengan ucapan ayahnya.
"Karena katamu ini labirin sihir. Mungkin banyak jebakan didalamnya."
"Tumben pintar," cengir Luis.
"Aku memang pintar tahu," gerutu Ara.
"Nah jebakannya ada satu depan mata tu," Luis menunjuk labirin di depannya dengan dagunya.
"Apaan? Tidak ada apa-apa," Ara melangkah maju. Menginjak rumput sembarang. Hingga tiba-tiba, Ara memundurkan langkahnya. Ketika lantai hijau yang dia pijak, tiba-tiba runtuh, meninggalkan lantai berwarna hitam. Namun ada pendar cahaya berwarna merah dari dalamnya
"Haaaa? Luis itu api!" Ara bertanya. Menunjuk ketakutan ke arah lantai hijau yang hilang tadi.
"Itu tantangannya. Kau salah menginjak lantai. Dan api itu siap membakarmu."
Ara bergedik ngeri, mulai ciut nyalinya. Bagaimana kalau dia salah melangkah. Baru juga membuka mata. Masak sudah harus ditutup lagi.
"Ayo jalan!" Ucap Luis. Mengulurkan tangannya pada Ara.
"Tapi kalau nanti jatuh...."
"Mati dong. Kok pakai nanya."
"Aku tidak mau mati ya!" Galak Ara.
"Ya sana diskusi sama yang punya hidup."
"Luis...!"
"Ikuti langkahku. Dan kujamin kau akan selamat sampai depan sana," Luis berucap masih dengan tangan terulur. Ara sejenak ragu untuk menggapai tangan Luis.
"Percayalah padaku. Aku tidak akan membiarkanmu terluka," Luis bicara sepenuh hati. Hingga Ara akhirnya menyambut tangan kokoh Luis, namun terasa dingin di kulit Ara.
"Luis kau kedinginan?" Tanya Ara.
"Tidak," Jawab Luis mulai melangkahkan kakinya. Satu langkah, tidak ada yang terjadi, satu lagi dan masih aman. Begitu seterusnya. Dan selama itu, Ara menurut. Melompat setelah Luis melompat. Dan berakhir dengan satu lantai diisi oleh keduanya.
Terkadang saking sempitnya lantai yang mereka pijak. Tubuh keduanya harus saling berhimpitan.
"Ara...."
"Maaf," Ucap Ara karena sekali lagi menginjak kaki Luis.
"Lantainya sempit sekali," gerutu Ara. Namun pria di depannya hanya diam. Mereka sudah melewati satu baris menyudut dari bagian pertama.
"Menurutmu bagaimana?" Tanya Luis. Ara berpikir sejenak. Melihat pola yang telah mereka buat.
"Ini sudah habis apa belum?" Gumam Ara.
"Hanya satu cara untuk mengetahuinya," Luis menjawab. Lalu mencoba menginjak lantai hijau persis di depan kakinya. Dan surprise lantai itu runtuh, memperlihatkan cahaya merah di bawahnya.
"Masih belum," Luis berucap. Pria itu menarik nafasnya. Lalu mencoba melangkah.
"Kalau tebakanku benar. Maka polanya akan seperti....ini," Ara melompat lebih dulu. Dan berhasil. Lantainya tidak runtuh. Luis langsung tersenyum.
"Itu baru pintar " Puji Luis. Dan pria itu kali ini membiarkan Ara memimpin. Hingga satu pola kembali mereka selesaikan.
"Yeyyyy...." Ara bersorak senang. Ketika mereka berhasil melewati tantangan pertama mereka. Lantai itu meninggalkan jejak satu pola menyudut. Dengan sisa lantai runtuh. Meninggalkan cahaya berwarna merah dari api di bawahnya.
"Tidakkah ini terlalu mudah?" Tanya Ara.
"First round kan biasanya begitu," balas Luis, berjalan mendahului Ara.
"Luis tunggu," Panggil Ara, lagi-lagi membuat Luis tersenyum mendengarnya.
"Masih ronde pertama. Jangan senang dulu."
"Aku bukan senang soal tantangannya."
"Lalu soal apa?"
"Aku senang kau mau memanggil namaku. Terdengar manis," goda Luis. Ara langsung memalingkan wajahnya, malu.
Mereka berjalan menyusuri lorong labirin itu. Berbelok, memutar. Entahlah, mereka sendiri tidak tahu kemana keduanya pergi.
"Perasaan hanya berputar-putar saja."
"Namanya labirin kan begitu. Semua tampak sama."
"Padahal...."
"Memang sama," Luis menjawab. Ara langsung mendengus kesal. Gadis itu berlari lebih dulu. Meninggalkan Luis.
"Jangan jauh-jauh, Ara," Luis memperingatkan.
Hingga satu teriakan dari Ara membuat Luis berlari ke arah suara gadis itu. Luis langsung panik. Melihat Ara yang berada di atas dengan belitan akar pohon di tubuhnya.
"Luis....!" Teriak Ara panik.
Belum sempat Luis melepaskan Ara. Pria itu sudah digantung terbalik dengan kepala berada di bawah.
"Hah! Dia malah lebih parah," gerutu Ara terus berontak dari belitan akar itu, yang bukannya lepas. Malah semakin erat membelit tubuhnya.
"Diam kau!" Desis Luis. Pria itu juga tidak kalah keras berusaha melepaskan diri dari gantungan akar pohon, yang semakin banyak membelit tubuh mereka.
"Aaaargghhhh! Luis berteriak. Dia mulai sesak. Digantung dengan kepala terbalik. Jelas memberi efek sesak dua kali lebih cepat. Daripada Ara yang posisinya normal.
Cukup lama keduanya bergelut dengan akar-akar itu, seolah ingin meremukkkan tulang-tulang mereka. Hingga akhirnya, Luis melihat Ara yang tenggelam diantara akar-akar pohon itu.
"Ara....Ara....!" Panggil Luis panik. Pria itu semakin kuat berusaha melepaskan diri. Tapi tidak berhasil, justru dirinya semakin lemas. Karena tenaganya mulai terkuras habis.
"Ara.....!" Teriak Luis. Mengira kalau Ara benar-benar hilang. Ditelan ribuan akar pohon. Hingga satu suara membuat Luis merasa lega.
"Apa sih teriak-teriak!"
Luis langsung mencari sumber suara. Dan melihat Ara yang berdiri dibawahnya. Tampak baik-baik saja. Meski rambutnya berantakan.
"Kau baik-baik saja? Aarghhh," Luis meringis ketika kakinya terluka. Darah tampak mengucur di pergelangan kaki pria itu.
"Kau terluka Luis."
"Biarkan saja. Nanti juga sembuh. Sekarang bebaskan aku," pinta Luis.
"Kau sendiri yang bisa melakukannya."
"Caranya?"
"Tenangkan dirimu. Lalu lemaskan dirimu."
"Nanti dia makin mencekikku," sengal Luis.
"Coba saja dulu."
Luis tampak ragu.
"Terserah kalau tidak percaya. Mati saja sana."
"Ara...."
"Makanya dicoba dulu."
Luis perlahan mulai menenangkan diri. Namun dengan darah yang sudah mengalir ke kepalanya, membuat pria itu sulit berkonsentrasi.
"Susah Ara."
"Coba terus."
Ara terus menyemangati Luis. "Konsentrasi. Tenangkan diri. Berhentilah bergerak. Lalu lemaskan tubuhmu."
Luis berusaha mengikuti saran Ara. Mulai berkonsentrasi meski kepalanya serasa mau pecah. Setelah dia merasa mulai tenang. Belitan akar itu mulai melonggar. Lalu Luis melemaskan seluruh tubuhnya. Dan ajaib. Akar-akar itu langsung melepaskan Luis, pria itu langsung meringis. Ketika tubuhnya serasa dibanting di lantai labirin itu.
"Busyet dah. Punggungku," keluh Luis.
"Tidak apa-apa?" Tanya Ara.
"Remuk, Ara," Luis berdiri sambil memegangi pinggangnya yang terasa ngilu.
"Kemarin gelut sama Tera, oke-oke aja."
"Yang itu kan pakai....jangan dibahas." Luis langsung berhenti ketika sadar. Ara tengah memancing Luis soal kejadian waktu itu.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments