"Dia tidak meninggalkan pesan apapun?" Aiden bertanya.
"Hanya berpesan untuk menjaga Ara," Maria menjawab dengan mata menatap Luis.
Sedang pria itu tengah menatap pada jasad Melia yang sudah berada di dalam peti.
"Ingat siapa dia?" Tanya Luis, Ara menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Aku hanya merasa dia sangat dekat denganku. Juga sangat menyayangiku. Kenapa aku tidak bisa ingat apapun," Ara menyentuh pelan kepalanya.
"Memangnya kenapa?" Luis memandang Ara yang ikut menatap jasad Melia. Sekilas Luis dapat melihat ada sedikit racun dalam aliran darah Melia, membuat wanita itu mengalami serangan jantung.
Juga sekelebat visual soal Melia yang berdebat dengan Sherpa.
"Melia pasti menolak memberi tahu soal Ara. Atau soal darah murni," batin Luis.
"Aku hanya takut. Ada sesuatu yang sangat penting dari masa laluku yang aku lupakan," Guman Ara, menyentuh pelan pipi Melia.
"Semoga kamu bisa beristirahat dengan tenang," doa Ara dalam hati.
Maria mengusap air matanya ketika peti mati kakaknya dikuburkan. Ada rasa lega juga sedih. Lega akhirnya sang kakak sudah terlepas dari rasa sakitnya. Sedih, karena bagaimanapun hanya Melia yang Maria punya dalam hidupnya.
Ketika peti itu sudah selesai dikuburkan. Luis menjentikkan jarinya. Hingga satu pola sihir pelindung terbentuk di atas makam Melia. Hal yang hanya bisa dilihat oleh Aiden.
"Sherpa bisa saja kembali."
"Kau benar."
"Maaf kami tidak bisa tinggal lama." Pamit Aiden.
"Tidak apa-apa. Kami paham. Terima kasih sudah mengantarkan kepergian Melia," Maria berujar sambil berusaha tersenyum.
Luis dan Aiden mengangguk.
"Baik-baiklah saat kau bekerja dengan tuan Luis dan tuan Park."
Ara mengangguk mendengar pesan dari Maria. Juga Erika dan juga Paul. Yang turut hadir di sana.
"Jadi dia bosnya Ara?" Bisik Erika.
"Mungkin."
"Sudah jelas begitu masih bilang mungkin. Tampan ya?"
Paul mencibir.
"Tampanan juga aku." Gumam Paul.
"Erika, mumpung kamu ada di sini. Ada yang mau Ibu bicarakan." Bibi Maria memanggil Erika.
"Soal apa Bu?" Tanya Erika. Mendekat ke arah Maria.
"Ini soal Ailee," ujar wanita itu. Erika langsung berubah panik ketika mendengar nama sang adik disebut.
"Apa keadaam Ailee memburuk? Saya akan membayar biaya rumah sakitnya minggu depan. Saya sudah gajian," Erika berucap panik.
"Bukan itu. Justru ini ada kabar baik. Tadi seorang staf dari rumah sakit XX menghubungi Ibu. Katanya Ailee mulai sekarang akan ditangani oleh dokter Evander Hans."
"Dokter Evander Hans?" Gumam Erika.
"Dia dokter ahli bedah yang serba bisa. Reputasinya sangat baik. Sudah banyak pasien yang bisa sembuh di tangannya. Meski dokter lain sudah angkat tangan."
Mata Erika langsung berbinar cerah. Setidaknya masih ada harapan untuk kesembuhan Ailee.
"Benarkah?" Raut wajah Erika seakan tidak percaya.
"Benar. Jadi mari kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan Ailee," kata Maria sambil menganggukkan kepalanya.
"Saya akan semakin rajin bekerja," Tekad Erika. Dia tahu, bisa ditangani oleh dokter sekelas Evander Hans, pasti membutuhkan biaya yang banyak.
"Dan sepertinya, nasib baik sedang berpihak pada Ailee. Ada yang mau menanggung biaya perawatan Ailee."
Erika jelas terkejut. "Siapa Bu?" Erika sekali lagi dibuat tidak percaya.
"Ibu tidak tahu. Tapi Ibu pernah baca kalau dokter Hans, begitu mereka memanggilnya. Sering melakukan itu. Menggratiskan biaya perawatan pasiennya. Jadi nanti kau harus berterima kasih padanya jika bertemu," saran Maria.
"Tentu Bu, tentu."
"Terima kasih, Tuhan. Sekiranya kau bisa memberikan kesembuhan kepada Ailee," doa Erika dalam hati.
"Evander Hans," gumam Erika. Dia sepertinya familiar dengan nama itu. Tentu saja familiar. Dia kan dokter terkenal. Pasti sering muncul di mana-mana. Muncul di TV maksudnya.
***
"Kau mau langsung pulang atau mau pergi ke mana?" Tanya Luis. Aiden sudah kembali lebih dulu. Menghilang, ketika semua orang tidak menyadarinya.
Mendengar Luis bertanya. Ara bukannya menjawab. Tapi malah menatap penuh selidik pada bosnya itu.
"Siapa kau?" Ara balik bertanya. Dia jelas penasaran dengan sosok Luis. Pria didepannya tampan. Bahkan sangat tampan. Sepertinya titisan dewa dalam cerita-cerita. Wajah tampan, tubuh bagus. Kehidupan yang sempurna. Nyaris tanpa cacat.
"Lalu jawaban seperti apa yang kau inginkan? Jawab Luis mendekat ke arah Ara, gadis itu seketika memundurkan langkah. Mereka berada di parkiran panti. Dengan mobil Luis terparkir di belakang Ara.
"Kebenaran. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya."
"Bagaimana jika aku mengatakan, kalau aku pria yang sedang jatuh cinta padamu," bisik Luis. Ara tentu saja terkejut dengan ucapan Luis.
"Jangan mengatakan hal yang tidak benar," desis Ara penuh peingatan.
"Aku tidak pernah berbohong," Luis mengeja ucapannya. Sejurus kemudian, pria itu sudah menyambar bibir Ara. Menciumnya lembut...namun menuntut.
Ara jelas gelagapan mendapat serangan dadakan dari Luis. Tangan Ara reflek menahan dada Luis yang menghimpit tubuhnya.
"Ciuman ini....aku sepertinya tidak asing dengan ciuman ini."
"Kau mengingatnya, Ra?"
Luis jelas bahagia ketika mendengar bisikan hati Ara. Pria itu semakin intens ******* bibir Ara yang mulai membalas ciumannya. Ada sesuatu dalam diri Ara yang mengatakan kalau ciuman ini bukanlah yang pertama untuknya. Dirinya seperti begitu mengenal ciuman tersebut, hal yang sepertinya dulu pernah mereka lakukan.
Keduanya benar-benar menikmati sesi ciuman mereka, tangan Ara kini melingkar di leher kokoh Luis. Dengan tubuh keduanya menempel ketat, mengakibatkan suhu tubuh keduanya meningkat cepat.
Luis yang tubuh vampirnya memang selalu dingin. Seketika merasakan hasratnya terpancing. Ketika tubuhnya memanas. Satu jentikan jari Luis. Dan keduanya sudah menghilang dari tempat itu.
Tidak memikirkan kemana dia pergi. Tubuh Luis dan Ara sudah berpindah tempat. Berada di sebuah padang rumput hijau. Berbaring di atasnya. Dengan ciuman yang masih terus berlanjut. Untuk beberapa saat, keduanya masih terhanyut dalam perang saliva itu.
Hingga tiba-tiba Luis melerai tautan bibirnya. Menatap tajam pada sekelilingnya. Ara jelas dibuat heran ketika mereka tidak lagi ada di parkiran panti asuhan.
"Ini di mana?" Tanya Ara. Sementara Luis langsung membuat gerakan diam menggunakan jarinya. Sampai kemudian, Luis dengan cepat membawa tubuh Ara dalam pelukannya. Ketika sebuah kekuatan melempar tubuh keduanya. Masuk ke sebuah dimensi yang membuat tubuh Ara terasa berat.
Ada sebuah tekanan besar yang menekan tubuh mereka ketika mereka melewati sebuah tempat penuh cahaya warna-warni. Seperti sebuah pintu masuk ke dimensi lain. Luis berusaha melawan. Tapi tempat itu seolah menghisap keduanya semakin dalam.
"Argghhhh," Ara meringis pelan ketika tubuhnya dan Luis terlempar ke sebuah tempat yang ditumbuhi tanaman hijau. Dengan dinding tinggi juga dengan tanaman hijau yang tumbuh di seluruh permukaan dindingnya.
Satu kata, semua hijau di tempat itu. Tanah, dinding, bagian atas, semua hijau.
"Kau membawaku kemana?" Ara bertanya ketika keduanya sudah berhenti berguling-guling.
Luis tidak menjawab. Masih mengamati keadaan di sekitarnya.
"Aku bertanya, pria aneh. Kita dimana? Dan bagaimana bisa kau membawaku kemari?" Siapa kau sebenarnya," cerocos Ara. Mengabaikan julukan kulkas berjalan dari Paul.
"Pria aneh? Kau memanggilku pria aneh? Bisa diam tidak? Kau memancingnya bangun," bisik Luis.
Karena posisi tubuh Ara tepat berada di atas tubuhnya. Hingga Luis bisa merasakan dada Ara yang menempel ketat di dada bidangnya. Terlebih tangan Luis yang sejak tadi berada di pinggang Ara. Seolah enggan melepaskannya.
Ara langsung turun dari tubuh Luis. Mendudukkan diri di samping tubuh lelaki itu, dengan wajah cemberut. Sementara Luis masih memindai keadaan sekelilingnya.
"Hyung, Yoon, Lucas, Hans."
Luis mengabsen semua sahabatnya melalui pikirannya, untuk meng-uji coba dugaannya.
Tidak ada jawaban. Fix, Luis tahu di mana mereka berada. Satu-satunya tempat yang membuatmu terasing dari dunia luar. Sebab tempat ini, memblokir kekuatan pikiranmu. Hingga tidak bisa berhubungan dengan orang lain di luar sana.
"Makanya jawab pertanyaanku. Kita dimana? Bagaimana bisa kau membawaku kemari? Dan yang lebih penting, siapa kau?" Ara kembali mengulang pertanyaannya.
"Satu-satu, Ra," Jawab Luis singkat. Masih dengan posisi berbaringnya. Menatap pada bagian atas tempat itu yang juga berwarna hijau.
"Siapa kau?" Itu hal yang paling ingin Ara tahu.
"Skip yang itu. Bukan sekarang waktunya aku menjawab," balas Luis santai, Ara mendengus kesal dibuatnya.
"Tempat apa ini?" Pertanyaan berikutnya dari Ara.
"Yang ini aku akan menjawabnya. Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi berada di sebuah tempat yang biasa kami sebut labirin sihir, Magical Labirin," Luis melihat ke arah Ara yang bingung.
"Labirin Sihir? Apa itu?" Ara malah balik bertanya lagi.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Sandisalbiah
kenapa Louis bisa begitu ceroboh.... 🙄🙄
2023-10-26
1