Draf BAB 4
Sudah dua puluh hari setelah pemakaman Megan, Dirga masih larut dalam dukanya, dan selama dua puluh hari itu pula dirinya tidak turun kekantor untuk berkerja.
Dirga benar- benar kehilangan semangatnya untuk hidup apa lagi mengurus pekerjaannya. Hari-hari hanya dihabiskannya mengurung diri dikamarnya, hanya keluar untuk makan, itupun bila ia berselera makan.
Ia sudah tidak memperhatikan penampilan dirinya. Bulu-bulu diwajahnya sudah memanjang memperlihatkan dirinya yang kusut tidak terawat sama seperti yang ada didalam hatinya.
Firans, asistennya dibuat kalang-kabut karena ulah Dirga. Banyak jadwal yang dibatalkan dan penjualan semakin merosot karena harus menunggu putusan dari DIrga sebagai CEO.
Beberapa berkas yang perlu ditandatangani-pun terpaksa harus menumpuk diatas meja Dirga. Perusahaan Surya Otomotif yang bergerak dibidang jasa penjualan mobil dan sepeda motor itu terasa pincang dalam suasana duka CEO mereka.
Para karyawan nampak gelisah, mulai terdengar kabar burung bila perusahaan yang menaungi mereka berkerja selama ini tidak lama lagi akan bangkrut.
Pagi itu Hardi Surya, ayah Dirga Surya sengaja menanti putranya untuk sarapan pagi, ia tidak bisa membiarkan putranya itu larut dalam dukanya yang berkepanjangan, karena hal itu tentu akan sangat berdampak bagi perusahaan yang sudah ia rintis dengan kerja kerasnya bersama sang isteri.
"Dirga, apakah hari ini kau masih tidak berangkat kekantor?" Hardi Surya menatap wajah putranya yang masih mengenakan piyamanya dimeja makan.
"Dirga, tidak bersemangat pa." Sahut Dirga dingin, ia tidak ingin menatap ayahanya. Ia menghirup teh hangatnya beberapa teguk lalu berdiri untuk meninggalkan meja makan.
"Dirga, kau tidak akan kemana- mana. Kita harus bicara." Ucap ayahnya datar dan berusaha menahan dirinya untuk tidak marah karena sudah diperingatkan oleh isterinya sebelumnya.
"Dirga sudah tahu apa yang akan papa bicarakan. Dirga hanya tidak ingin kita bertengkar," ucap Dirga. Ia berusaha menghindar dari tatapan ayahnya.
"Jadi, ijinkan Dirga untuk menenangkan diri dulu pa." Dirga lalu beranjak dari meja makan, menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya yang berada dilantai atas.
"Dirga, tolong dengarkan papa sebentar nak." Hardi Surya segera menyusul putranya dan berdiri didasar tangga sambil memegangi pagar.
"Papa mengerti akan perasaanmu kehilangan Megan, itu pasti sangat sulit dan menyakitkan buatmu," kata Hardi Surya. Ia tetap berucap, walau Dirga putranya terus melangkah meniti satu demi satu anak tangga menuju keatas seolah tidak mendengarkan ucapannya.
"Bila kau masih berlama-lama larut dalam dukamu, akan ada banyak para pegawai kita yang berduka karena kehilangan pekerjaannya. Karena perusahaan kecil kita akan segera bangkrut bila kau tidak segera mengurusnya dengan baik," ungkap Hardi Surya.
Dirga menghentikan langkahnya yang tinggal selangkah lagi sampai dilantai atas. Ia berbalik menatap dingin kearah ayahnya.
"Apakah itu semua salahku?" Kata Dirga datar.
"Itu semua salah papa, karena sudah mempercayakan jabatan penting padamu, putra tunggal papa." Hardi menyalahkan dirinya sendiri, ia menatap lurus kemata putranya itu, lalu melanjutkan kembali ucapannya.
"Papa dan mama sudah merintisnya dari nol, berharap kerja keras kami ini bisa bermanfaat untuk menghidupi keluarga kita dan keluarga para pegawai kita yang turut membesarkan perusahaan kecil kita." Hardi Surya tetap berusaha menekan perasaannya, dan kembali berucap.
"Kini kami sudah tua, berharap kau mau meneruskan tanggung jawab memimpin perusahaan ini. Namun kemalangan yang menimpa tunanganmu, ternyata membuatmu lebih fokus pada dirimu sendiri Dirga." Kata Hardi Surya getir.
Setelah berkata demikian, Hardi Surya beranjak dari tempatnya berdiri. Ia kembali menghampiri isterinya dimeja makan.
Ibu Surya lalu menggandeng lengan Hardi Surya, lalu mengantarkan suaminya itu berangkat berkerja hingga dihalaman rumah mereka.
Setelah kepergian orang tuanya, Dirga masih terpaku ditempatnya berdiri hingga beberapa menit lamanya, memikirkan apa yang telah dikatakan ayahnya.
*
"Selamat pagi pak Dirga." Sapa Monaliza dan Rullina secara bersamaan dari belakang meja resepsionis dengan senyum mengembang.
Dirga tidak membalas sapaan kedua resepsionisnya itu, wajahnya terlihat datar, menatap lurus kedepan menuju lift.
"Pak Dirga tidak sekeren dulu, semenjak tunangannya meninggal," bisik Rullina pada Monaliza disampingnya.
"Hati-hati dengan ucapanmu Rullina, nanti ada yang mendengar," kata Monaliza mengingatkan teman kerjanya itu.
"Ibu Megan sudah tiada, jadi pada siapa orang akan mengadukan kita." Bisik Rullina lagi.
"Tetap saja harus jaga sikap dan perkataan, kalau masih ingin berkerja disini, " ucap Monaliza lagi, pengalamannya didamprat mendiang tunangan CEO-nya itu membuatnya belajar lebih berhati-hati.
Didalam hatinya, Monaliza merasa prihatin pada CEO-nya itu, ia sangat tahu apa itu rasanya kehilangan, karena ia pernah mengalami diposisi itu, saat ibunya meninggal setelah melahirkan adik laki- lakinya. Lalu saat usianya 17 tahun ayahnya akhirnya ikut menyusul ibu kandungnya. Hingga tinggal dirinya bersama ibu sambung dan keempat adiknya.
Beruntung sekali, ibu sambungnya sangat menyayangi dirinya dan adik laki-lakinya, sama seperti pada ketiga anaknya.
*
"Dirga?!" Seru Firans sambil berdiri dari duduknya, saat melihat Dirga keluar dari lift.
"Syukurlah, aku senang sekali, akhirnya kau kekantor juga hari ini," Ucap Firans dengan wajah gembira.
"Apakah kau merindukanku?" Ucap Dirga datar sambil masuk keruang kerjanya.
"Tentu saja," Sahut Firans sambil mengekornya dari belakang.
"Apakah kau kurang pekerjaan? Sehingga membuntutiku hingga keruanganku." Ucap Dirga masih datar.
Ia menarik kursi dibelakang meja kerjanya, lalu menghempaskan tubuhnya begitu saja disana seolah ingin menghempaskan semua beban fikirannya tentang kepergian Megan, yang selalu ia bawa selama dua puluh hari belakangan.
"Justru pekerjaanku sangat banyak, menumpuk diatas meja kerjamu ini Dirga." Tunjuk Firans pada tumpukan berkas yang menggunung diatas meja Dirga.
"Apakah kau sengaja memberiku pekerjaan sebanyak ini untuk melelahkanku?" Dirga menatap tumpukan berkas diatas meja yang menanti persetujuannya untuk ditandatangani.
"Ayo-lah Dirga, jangan anggap ini sebagai beban." Firans berusaha memberi semangat.
"Aku sudah memilah mana yang harus kau tandatangani lebih dulu. Bila yang ini sudah selesai, itu berkas berikutnya yang harus kau periksa dan kau tandatangani lagi."
Dirga terperangah, saat Firans menunjukan tumpukan berkas yang juga menggunung diatas meja sofa tamu.
"Firans, maafkan aku," ucap Dirga menatap pada sahabatnya itu.
"Maaf, untuk apa?" Tanya Firans mengernyitkan keningnya.
"Membiarkanmu mengambil alih pekerjaanku selama dua puluh hari aku tidak masuk berkerja," sahut Dirga dengan wajah berubah sedih.
Kenangan tentang Megan kembali mengusik hatinya, itulah sebabnya ia tidak tahan turun berkerja, karena setiap kali melihat Firans ia akan mengingat Megan dan persahabatan mereka bertiga.
"Tidak masalah Dirga, aku mengerti perasaanmu. Aku tahu, kepergian Megan, pasti tidak mudah bagimu untuk dapat menerimanya. Aku-pun demikian," Firans terlihat ikut larut dalam kesedihan Dirga sahabatnya.
"Tapi, kau harus cepat bangkit Dirga. Hidupku tergantung padamu," Ucap Firans serius.
"Kenapa tergantung padaku?" ucap Dirga.
"Lebih tepatnya pada pekerjaan di perusahaan ini, aku harus tetap bisa menambah tabunganku untuk segera menikah dengan wanitaku." Ujar Firans sambil tersenyum penuh arti.
"Kau sudah punya calon isteri?" Tanya Dirga penasaran. Mungkinkah sahabatnya itu sudah memiliki kekasih tanpa ia tahu, karena ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri belakangan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
lebih parah lagi cobaan dia
2025-03-19
1
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
masih sulit merelakan
2025-03-19
1
Enung Samsiah
apa beneran megan mninggal atau Rekayasa aja ya
2023-12-31
0