Dirga semakin lemas, saat calon ibu mertuanya itu bukan membawanya ke IGD ataupun ICCU, melainkan ke ruang jenazah.
"Tidak. Aku tidak bisa masuk, Ma." Dirga menghentikan langkahnya di depan pintu.
"Mama pasti salah membawaku kemari," ucap Dirga dengan lutut semakin lunglai.
"Tidak, Dirga. Mama tidak salah." Ibu Han ikut menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Dirga yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ayo kita lihat Megan, Dirga. Dia sudah ada di sini dan sudah dimandikan oleh para perawat," ucap Ibu Han dengan berurai air mata.
Dirga melangkah tertatih-tatih, kakinya serasa tidak berpijak pada lantai. Namun ia tetap berjalan dengan langkah beratnya menuju meja jenazah, di mana Megan dibaringkan.
Ia menatap pilu tubuh yang sudah terbujur kaku dihadapannya, dan sudah tertutup kain putih dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
Tangan kanannya terulur gemetar menyentuh kain putih yang menutupi wajah jenazah yang ada di hadapannya.
"Tidak mungkin, Ma. Ini pasti bukan Megan." Dirga menarik tangannya, ia tidak jadi menyingkapkan kain putih penutup jenazah di hadapannya. Ia tidak berani menghadapi kenyataan yang ada.
"Dirga." Ibu Han merasa terenyuh melihat sikap Dirga, calon menantunya.
"Ma, Megan sekarang sedang dalam perjalanan ke Jepang, ia masih ada di pesawat sekarang. Besok, bila ia sudah tiba, ia pasti akan menelepon kita untuk memberi kabar." Suara Dirga bergetar, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa jenazah yang ada dihadapannya bukanlah Megan, tunangannya. Ia memberi harapan palsu pada dirinya sendiri.
"Lihatlah, Ma. Ini bukti pesan yang Megan kirim ke ponselku," kata Dirga sambil memperlihatkan pesan Megan yang dikirim siang tadi.
"Megan mengatakan kalau hari ini dirinya berangkat ke Jepang untuk menjadi seorang violinist, dan aku tidak boleh menghentikannya," kata Dirga lagi.
"Dirga." Ibu Han kembali terenyuh, ia tidak menyangka calon menantunya itu serapuh itu. Ia mendekati Dirga, lalu memeluk pria muda itu sambil menangis. Dirga sudah seperti putranya sendiri.
"Maafkan Mama dan Papa, Dirga. Kami tidak sanggup melarangnya untuk tetap pergi ke Jepang." Suara ibu Han terdengar bergetar dalam tangisnya. Dirga hanya berdiri terpaku dalam pelukan calon ibu mertuanya itu.
"Andai saja, andai saja kami tidak membiarkannya pergi tadi siang, musibah kecelakaan lalu lintas itu pasti tidak akan menimpanya." Ibu Han terus berbicara sambil sesenggukan.
"Mama sangat menyesal, Dirga." Ibu Han terus menangis pedih. Kesedihan hatinya begitu menyesakan dadanya yang sudah mulai menua.
Pak Han, yang sedari tadi berdiri disudut meja jenazah putrinya, mendekati Ibu Han. Ia lalu ikut memeluk istrinya itu bersama calon menantunya sambil ikut menangis pedih.
Firans yang melihat semuanya itu turut menitikkan air mata. Dirinya, Dirga, dan Megan sudah bersahabat sejak dibangku SMU, sudah sangat mengenal satu sama lain. Kepergian Megan yang disebabkan kecelakaan lalu lintas ini memang sangat mengejutkan semua pihak, termasuk dirinya Ia tidak percaya bila Megan, sahabatnya, telah pergi secepat itu.
Dirga tiba-tiba terbelorot ke lantai, ia sudah tidak sanggup menahan sendi-sendinya untuk tetap berdiri. Tenaganya serasa lenyap begitu saja, seolah kekurangan kalium dalam tubuhnya.
"Dirga, bangunlah, Nak!" panggil ibu Han sambil menarik lengan tunangan putrinya itu.
Dirga tidak menjawab, matanya nanar menatap ke lantai, ia merasa sudah tidak punya harapan lagi dalam hidupnya.
Semua mimpi dan harapan dalam hidupnya sudah dibawa pergi bersama Megan yang telah meninggalkannya untuk selamanya.
Dirga merasa dadanya begitu sesak, tapi ia tidak sanggup menangis, kekuatannya seakan sirna, ia hanya bisa terdiam seribu bahasa. Akal sehatnya benar - benar tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Semuanya seperti mimpi buruk. Ia ingin bangun, tapi tidak tahu caranya.
"Firans! Tolong bawa Dirga pulang saja, ia perlu isrirahat. Ia sepertinya shock atas apa yang telah menimpa Megan," panggil ibu Han pada Firans yang sudah ia kenal baik pula, karena bersahabat dengan putri dan calon menantunya.
"Baik, Bu." Firans segera mendekati Dirga yang masih terkulai di lantai. Ia lalu memapah Dirga untuk berdiri dan menggandengnya berjalan menuju parkiran di mana mobil Dirga diparkir.
Setelah mendudukan Dirga dijok samping kemudi, Firans memasang sabuk pengaman pada tubuh Dirga. Tatapan Dirga nampak kosong menatap kedepan, tidak ada semangat kehidupan di sana.
Firans mengemudikan mobil Dirga, meninggalkan Rumah Sakit Nusa Asia, menuju kediaman kedua orang tua Dirga.
Tin! Tin!
Firans membunyikan klakson mobil begitu tiba didepan pagar kokoh rumah mewah milik orang tua Dirga.
Seorang security dengan sigap membuka pintu pagar dan mempersilahkan Firans masuk dengan sikap sopannya.
Bibi Mila, seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh membuka pintu rumah, demi mendengar suara mobil Dirga sudah datang lebih awal dari biasanya.
"Den Dirganya kenapa, Mas Firans?" tanya Bibi Mila khawatir, saat melihat Dirga dipapah oleh asistennya keluar dari mobil. Ia tidak pernah melihat kondisi anak majikannya seperti itu.
"Pak Dirga sepertinya shock, Bi. Ibu Megan meninggal karena kecelakaan lalu lintas tadi siang," jelas Firans sambil memboyong Dirga masuk ke rumah.
"Inalillahi wainailaihi rojiun," ucap Bibi Mila sambil mengusap wajahnya, ia menutup pintu dengan rapat, lalu mengikuti langkah Firans dan Dirga dari belakang.
"Ibu Surya ada di rumah, Bi?" tanya Firans, ia terus melangkah menaiki anak-anak tangga sambil memapah tubuh Dirga.
"Ibu ada di kamarnya, Mas Firans. Tadi sepertinya bersiap-siap mau ke rumah sakit," sahut bibi Mila.
"Mas Firans mau minum apa?" tanya bibi Mila.
"Tidak, terima kasih. Saya sebentar saja, hanya mengantar Pak Dirga pulang. Buatkan minuman hangat untuk Pak Dirga saja, sepertinya ia sangat membutuhkannya," ucap Firans.
"Iya, Mas Firans." Setelah mendengar ucapan Firans, Bibi Mila berlalu menuju dapur untuk membuat minuman seperti yang dikatakan Firans padanya.
Firans membawa Dirga masuk ke kamarnya. Tak lama Ibu Surya datang menghampiri Firans dan Dirga yang masuk ke dalam kamar.
"Saya permisi dulu, Bu, mau kembali ke kantor lagi," ucap Firans, ia berdiri dan berpamitan pada Ibu Surya.
"Terima kasih sudah mengantarkan Dirga pulang, Firans," ucap Ibu Surya tersenyum tipis.
"Sama-sama, Bu." Firans lalu beranjak dari kamar, meninggalkan Dirga dan ibunya berdua di kamar.
"Dirga?" Ibu Surya mendekati putra tunggalnya itu. Ia turut sedih melihat kondisi Dirga yang sangat terpukul atas kepergian Megan, tunangannya.
"Ma, aku hanya ingin beristirahat saja dulu untuk saat ini," ucap Dirga masih dengan tatapan kosongnya.
"Baiklah, Sayang. Kau beristirahatlah. Mama mau kerumah sakit dulu menemani keluarga Bapak dan Ibu Han, kasihan mereka. Mereka pasti lebih sangat kehilangan," uap Ibu Surya sambil menatap wajah putranya.
Dirga hanya mengangguk lemah. Ia masih duduk terpaku di tepi tempat tidurnya. Ia masih tidak percaya, bila Megan kekasihnya telah pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya. Ia berharap bila Megan benar berada di Jepang, di belahan dunia lain yang masih satu dunia dengannya bukan didunia yang berbeda.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
stresnya nyampe sini
2025-03-19
1
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
pilu sekali😭
2025-03-19
1
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
/Sob//Sob//Sob//Sob/
2025-03-19
1