15. mengetahui perasaan

Sekarang jam sepuluh malam dan aku berjalan kaki menuju ke sekolahan lagi. Kenapa demikian? Satu jam yang lalu, aku di kurung di ruang bawah tanah rumah Billa.

"Hah, tunggu-tunggu, selingkuh?" Kata ku.

Billa melompat dan mendarat tepat di atas perut ku. Sumpah aku ingin muntah, tapi kalo aku muntah, muntahan ku pasti menuju ke badanku semua.

Aku berbaring di atas kasur, kedua tangan ku terlentang dan diikat di pinggiran kasur, begitu juga dengan kedua kaki ku. Dengan kata lain aku tidak bisa berdiri maupun melawan.

"Riko... Kenapa kamu bisa pacaran dengan Alvina?" Kata Billa sambil menarik-narik kerak baju ku.

"Pacaran? dengan Alvina? Tidak-tidak, kami tidak pacaran sama sekali ... Ah... Kamu pasti berfikir seperti itu ya, setelah melihat kami tadi disekolah. Kami memang sudah akrab sejak kelas satu, kami pernah satu kelas dulu saat kelas satu, hehe"

"Pembohong, sampah masyarakat, dasar an***g, b**i" Ucapan Billa yang langsung menusuk.

Aku ingin mati sekarang juga dan tatapan macam apa itu? Dia melihat ku seperti melihat sampah. Tidak, lebih rendah lagi dari sampah.

"Aku mendengarnya sediri dari Alvina" kata Billa.

"Kapan? Sejak kapan kamu mendengar itu?" Pertanyaan ku.

"Saat aku balik dari kantin" kata Billa yang wajahnya makin seram.

Saat balik dari kantin, aku bersama Alvina, seketika Billa menyenggol ku dan langsung lanjut berjalan. Alvina memanggil Billa, untuk mengajak Billa balik ke kelas bersama.

Saat mereka berjalan bersama itu lah, Billa bertanya kepada Alvina.

"Alvina, apa hubungan mu dengan Riko? Kalian terlihat sengat akrab"

"Kami pacaran kok, jadi wajar kan kalo kita akrab" kata Alvina dengan santainya.

"He? Kamu bercanda kan?"

"Tidak kok, mana mungkin aku berani berbohong kepada kamu"

"Sejak kapan kalian pacaran?" Billa berhenti berjalan.

"Baru kemarin"

"Siapa yang nembak"

"Aku"

Dan pembicaraan itu berakhir dengan Alvina yang tersenyum dengan alami dan Billa tersenyum palsu.

"Sial! Kenapa harus temanku sendiri" -air mata Billa keluar- "aku harus apa?"

Dari refleks Billa dan perkataannya itu. Apakah Billa mencintai ku? Tunggu ... Eh?

Jujur, aku saat ini ingin berteriak sekeras mungkin dan melompat dengan berekspresi sepuasnya. Pokoknya, aku ingin melampiaskan kesenangan ku ini.

Tapi sekarang bukan Waktu yang tepat ya... Billa di atas perut ku, dia menangis dengan menahan suaranya.

"Mau sampai kapan kamu di atas ku?" Pertanyaan ku.

"Terserah aku lah, kamu tidak lihat apa?" Kata Billa, air matanya masih mengalir.

"Yang aku lihat, kamu sedang menangis tidak jelas"

Billa seketika berhenti menangis, kedua tangannya memegang leher ku dan wajahnya berubah seperti semula.

"Hehe, kalo gitu kan enak dilihat" kata ku.

"Apanya yang enak dilihat?" Kata Billa.

"Bukan apa-apa ... Yang jelas, kamu lebih baik seperti ini dari pada menangis"

Billa turun dari atas perut ku, dia juga melepas ikatan tangan dan kaki ku. Aku langsung beranjak turun dari keranjang.

"Pulang lah, oh ya, motor kamu masih disekolah" kata Billa dengan membelakangi ku.

"Lah kok?"

"Tenang saja, rumah ku ke sekolah dekat. Cuma, satu kilometer"

Aku berbalik badan dan terus berkata "Sebenarnya ya, Alvina tidak menembak ku, Dia cuma menyatakan perasaannya ... dengan kata lain, kami belum berpacaran"

Dan begitulah ceritanya aku bisa keluar dari rumah Billa. aku memiliki penyesalan, tadi adalah kesempatan yang tepat untuk menembaknya. Akan tetapi aku malah...., Sudah lah, lupakan saja.

Aku sampai di sekolah, untung ada sang penjaga sekolah atau satpam sekolah. Aku berbicara kepada sang satpam, aku menjelaskan kalo motor ku ketinggalan.

Dan akhirnya dia memperbolehkan aku masuk. Aku melaju motor ku dengan cepat sampai di rumah.

Paginya, saat aku bangun tidur, aku langsung menasehati adikku, dan menceritakan tentang keterlambatan ku.

Besoknya, aku pergi ke sekolah kembali mengunakan motor supra bapak. Entah kenapa, rasanya sangat kangen banget dengan motor supra bapak.

*Ting... Ting... Ting...*

Jam istirahat kedua dimulai. Namun aku, tidak punya mut untuk beranjak dari tempat dudukku. Kenapa begitu? Hari ini Billa.

Dia menjauhi ku, menatap aku dengan tatapan amarah, saat kami bertatapan muka, dia langsung memasang wajah cemberut dan menoleh kan wajahnya.

Ah... Seharusnya aku sudah sadar diri dari dulu, mana mungkin Billa suka kepada orang seperti aku.

"Yo Riko" panggilan dari Ivan.

Agong dan Ivan menghampiri ku "hem? Ada apa ini? Baru pacaran satu hari dah putus kah?" Kata Agong.

"pacaran? maksudnya dengan Alvina? Gini ya, aku tidak pacaran dengan Alvina"

"Hahaha, kalo gitu dari siapa, wajah kamu terlihat banget sedang patah hati" kata Agong.

"Sudah lah, lupakan saja ... Yuk ke kantin" ajakan ku.

Hari berikutnya, Saat aku sampai dalam kelas, Alvina menghampiri ku.

"apa yang terjadi diantara kamu dan bil-"

Tangan kanan ku menarik Alvina keluar kelas. Lima menit kemudian, kami berada di paling ujung lorong gedung, Yap, lorong ini yang ada mesin penjual minuman.

"Apa yang terjadi diantara kamu dan Billa?" Tanya Alvina.

Kenapa dia bertanya seperti itu? Apakah dia sadar? Kayaknya tidak mungkin sih kalo Alvina.

"Tidak ada, mungkin cuma firasat mu saja" ucapan ku.

Mulai dari situ, hari-hari ku yang tenang dan biasa, dimulai kembali. Sekarang aku sadar, kalo kehidupan seperti ini, memang yang terbaik bagi ku.

Hari Minggu jam sembilan pagi, aku sudah berada dirumahnya Alvina.

*Tok Tok Tok*

Aku mengetuk pintunya namun tidak ada jawaban darinya.

"Alvina... Yuhu..." Aku berteriak memanggilnya.

Tak lama kemudian, Alvina membuka pintunya "Ah...! pakai dulu baju mu go***k" aku menutup lagi pintunya, karena dai tadi hanya memakai pakaian dalam.

Sepuluh menit kemudian "ya... Ha..." Alvina masih terlihat mengantuk.

"Kamu ini ya ... Tidur jam berapa sih?" Pertanyaan Ku.

"Em... Jam setengah satu" Jawab Alvina.

"Ngapain aja kamu, baru tidur jam segitu?" Aku bertanya lagi.

"Maaf, itu adalah privasi seorang cewek" kata Alvina sambil tersenyum.

"Terserah dah, cepat habis kan makanan mu, baru itu langsung main game"

Alvina selesai makan dan kami langsung pergi ketempat dimana tempat game itu berada.

Seperti sebelumnya, bangunan yang amat sangat canggih itu transparan. Alvina meraba-raba dan seketika bangunan itu muncul.

Pintunya terbuka otomatis, aku masuk bersama Alvina, Kami telah sampai di ruangan game. Alvina langsung menekan-nekan tombolnya.

Seketika, dua tabung keluar dari bawah. Entah kenapa, padahal aku sudah pernah melihatnya sebelumnya, tapi tetap saja aku kagum melihatnya.

Aku masuk kesalah satu tabung, begitu juga dengan Alvina. Aku menoleh kearah Alvina, aku mengangguk kepada Alvina dan game di mulai.

Rasa hangat dari bawah keatas mulai terasa, dan semua pikiran ku terasah pindah. Tak lama aku membuka mata ku.

Aku berada di kamar penginapan sebelumnya yang aku sewa, Alvina di dekat ku. Oh ya, sebelum aku keluar Dati game aku di kamarnya Alvina dan...

"Tunggu, Rui ... dia Dimana?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!