"Nisa. Ini paklek bawa uangnya. Sesuai dugaan kita, rentenirnya meminta bunga 50 persen dengan tempo satu bulan. Jadi paklek cuma berani minjam 50 juta, itupun sertifikat rumah paklek yang paklek jaminkan," ujar Surani.
"Kenapa cuma 50 juta paklek?" tanya Anisa.
"Ya kan kamu cuma punya uang 100 juta dari penjualan rumah dan kebun itu. Kalau lebih dari itu, kita mau bayar pakai apa? Paklek ndak mau kalau harus kehilangan rumah paklek karena disita oleh rentenir itu." Jawab Surani.
"Ckk...bodohnya kamu Anisa. Itu artinya sama saja kamu menjual tanah dan rumahmu seharga 50 juta. Apa itu akan cukup sampai bapak sembuh?" batin Anisa.
"Ya sudahlah Paklek. Mau diapakan lagi, sudah terlanjur juga," ujar Anisa.
Surani menyodorkan uang itu pada Anisa, dan Anisa meraih uang itu dari tangan Surani.
"Ya sudah paklek langsung pulang ya! Paklek capek sekali," ujar Surani.
"Makasih Paklek," ucap Anisa.
Setelah Surani pergi Anisa tidak ingin membuang waktu lagi. Dia langsung membayar tagihan rumah sakit, dan mendepositkan semua sisa uang yang dia milikki.
"Sekarang aku harus bagaimana mencari uang buat tagihan selanjutnya. Aku yakin 20 juta itu pasti akan kurang. Ijazahku belum keluar, aku belum bisa memasukkan lamaran di rumah sakit internasional itu," batin Anisa.
"Mbak Nisa. Ada kabar gembira untuk anda," ujar seorang perawat yang tergesa-gesa menghampiri Anisa.
"Ada apa Sus?" tanya Anisa.
"Bapak Sumarno tiba-tiba siuman dan memanggil nama mbak Nisa." Jawab Suster.
Tanpa berkomentar Anisa segera berlari tunggang langgang ke ruangan tempat Sumarno di rawat.
"Ba-Bapak," ucap Anisa lirih diiringi air matanya yang mengucur tanpa di komando.
"Ini suatu mujizat. Bapak Sumarno bisa siuman, padahal beliau masih belum berada di fase aman. Bapak Sumarno selalu menyebut nama anda mbak Nisa," ujar dokter.
Anisa menggenggam tangan Sumarno dan menciumnya berkali-kali.
"Bapak cepat sembuh ya pak! jangan tinggalin Nisa, Nisa ndak mau hidup sendirian. Hiks...." Anisa tidak kuasa menahan isak tangisnya.
"Ndok. Ba-Bapak ingin sekali melihatmu menikah sebelum bapak pergi," ucap Sumarno lirih dari balik sungkup oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.
"Bapak ndak boleh ngomong begitu pak. Bapak pasti sembuh, pasti sehat lagi. Setelah bapak sembuh baru Nisa akan menikah," ujar Anisa.
"Akkhhh..." Nafas Sumarno tersenggal-senggal.
"Ba-Bapak kenapa pak?" tanya Anisa dengan panik.
"Mbak Nisa keluar dulu ya! biar kami tangani dulu bapak Sumarno. Beliau memang belum boleh terlalu banyak komunikasi," ujar dokter.
Anisa yang mengerti langsung keluar dari ruangan itu dan mondar mandir di depan pintu. Anisa mengeluarkan ponselnya dan menghubungi semua saudara Sumarno.
"Ada apa mas?" tanya Sumantri.
"Kata Anisa Sumarno barusan siuman, tapi dia masih kritis." Jawab Surani.
"Ini kesempatan kita mas," ujar Sumantri.
"Kesempatan apa?" tanya Surani.
"Kesempatan kita buat mendapatkan tanda tangan mas Sumarno sebelum dia mati. " Jawab Sumantri.
"Mas sumantri benar. Lebih cepat lebih bagus. Mumpung mas Sumarno belum meninggal, kita bisa meminta tanda tangan pengalihan asetnya yang sertifikatnya ada sama kita. Jadi kita ndak susah lagi buat ngelabuhi Anisa," timpal Sukamto.
"Lalu bagaimana kalau dia menolak? kita ndak mungkin memaksa dia, karena itu terlalu beresiko. Terlebih kalau Anisa sampai tahu kalau sertifikat itu ada sama kita," tanya Surani.
"Mas. kamu bisa mengarang bebas. Biar nanti aku sama Sukamto mengalihkan perhatian Anisa. Mas fokus saja mendapatkan tanda tangan mas Sumarno secepat yang mas bisa." Jawab Sumantri.
"Baiklah kalau begitu besok kita kesana," ujar Surani.
"Jangan nunggu besok mas. Aku ada firasat umur mas Sumarno ndak akan lama lagi. Bagaimana kalau malam ini dia meninggal? jadi sebaiknya kita habis magrib kesana saja," ujar Sukamto.
"Baiklah sepakat," ujar Surani.
Dan sesuai kesepakatan, sehabis magrib Surani dan adik-adiknya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Sumarno sekalian mengelabuhi saudara tertuanya itu.
"Bagaimana keadaan bapakmu ndok?" tanya Surani.
"Sudah siuman tapi masih lemah." Jawab Anisa .
"Apa belum bisa diajak bicara?" tanya Surani.
"Sudah. Tapi dokter melarang kalau ngobrol terlalu lama, karena bapak harus banyak istirahat." Jawab Anisa.
"Kalau begitu biar mas Surani saja yang masuk buat mewakili kita mas. Sebenarnya aku sangat ingin ngomong sama mas Sumarno, tapi apa boleh buat keadaannya ndak memungkinkan," ujar Sumantri.
"Ya sudah kalau begitu. Nisa, kamu disini dulu sama Paklekmu yang lain," ujar Surani.
"Iya Paklek." Jawab Anisa.
Suranipun masuk kedalam, dengan membawa tas ransel dipunggungnya.
"Mas Sumarno. Mas, ini aku Surani," bisik Surani.
Perlahan Sumarno membuka matanya dan tersenyum kecil kearah adiknya itu.
"Mas cepat sembuh ya! kasihan Nisa mas," ucap Surani.
"Su-Surani. Aku titip Nisa ya! a-aku merasa umurku ndak lama lagi. Aku ingin sekali melihat Anisa menikah, agar ada yang menjaganya," ujar Sumarno lirih.
"Mas. Selain menjengukmu, aku juga membawa sertifikat yang sudah kami temukan. Ternyata Sunarti yang menyimpannya dalam lemari," ujar Surani.
"Aneh sekali. Jelas-Jelas dia sudah tahu aku menanyakan serifikat itu sudah lama. Tapi kenapa baru diberikan sekarang? apa aku salah menebak? apa ini bukan rencana kalian semua?" batin Sumarno.
"Surani. Aku beri kamu kuasa untuk membuat semua sertifikat itu menjadi atas nama Anisa. Aku minta tolong jaga dia Surani, aku percaya kamu pasti bisa mengurus Nisa dengan baik," ucap Sumarno.
"Kalau begitu aku butuh tanda tangan sampeyan mas. Kebetulan aku membawa kertas kosong dan juga materai," ujar Surani.
"Ternyata memang sudah disiapkan sejak awal ya? aku tahu semua aset ini tidak akan sampai pada Anisa. Tapi aku masih berharap suatu saat nanti pintu hati adik-adikku akan terbuka, dan memberikan hak itu pada Anisa. Kalau sekarang aku menolak dan memanggil Anisa juga percuma. Aku malah takut Anisa akan mereka celakai demi aset itu," batin Sumarno.
"Berikan kertas dan penanya," ujar Sumarno.
Dengan semangat Surani mengambil kertas kosong yang sudah dia tempeli dengan dua materai. Sumarnopun menandatangani kertas itu tanpa ragu.
"Ya sudah kalau begitu sampeyan cepat sembuh ya mas. Aku janji akan menjaga Anisa," ucap Surani yang dijawab senyuman hampa oleh Sumarno.
Suranipun keluar dari ruangan itu dengan hati gembira.
"Bagaimana Paklek? apa bapak mau bicara?" tanya Anisa.
"Ya. Dia bilang ingin sekali melihatku menikah. Saran Paklek jangan kamu abaikan pesan itu, bisa jadi itu pesan terakhir. Paklek mengerti bagaimana perasaan bapakmu yang khawatir." Jawab Surani.
"Siapa yang mau menikah dengan buru-buru seperti ini Paklek," ujar Anisa.
"Ada. Rentenir tempo hari ingin mencari istri ketiga, karena kedua istrinya ndak ada yang bisa memberikan keturunan," ucapan Surani benar-benar membuat Anisa geram, tapi dia sebisa mungkin menahan diri.
"Ndaklah Paklek. Anisa sudah punya pacar, nanti biar Anisa bicarakan dulu sama dia," ujar Anisa.
"Ya sudah kalau gitu kami pulang dulu ya Nis. Kabarin Paklek kalau ada apa-apa," ujar Surani.
"Ya Paklek." Jawab Anisa.
Anisa menatap punggung ketiga pamannya itu. Sekarang dia jadi bingung harus mencari pria yang bersedia menikah kilat dengannya, sementara dia sama sekali tidak pernah berpacaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Isnay Maulani
jahaaaatnya adek2nya demi harta 😠😠😠
2022-10-17
0
Dyana Arsi
ada y manusia kaya bgtu
2022-07-26
0
Lenkzher Thea
Paman Anisa ko begitu sih, bukan memberi bantuan pada bapak Anisa yang lagi dalam perawatan di rumah sakit, ini malah menncari kesempatan di dalam kesempitan
2022-07-23
1