"Sumarno. Ini kamu terima bagianmu. Bapak sudah memberikan nama untuk tiap map. Kalian bisa ambil bagian kalian masing-masing. Dalam satu map berisi sekitar 20 sertifikat. 5 sertifikat untuk setiap 5 hektar perkebunan teh. Dan 15 sertifikat untuk 15 kapling perkebunan sawit," ujar Sugiono dengan nafas naik turun.
"Untuk peternakan ayam boiler itu semua ada 20 kandang. Kalian bisa membaginya menjadi 4 bagian. Dan untuk peternakan ikan, kalian bisa membaginya sendiri. Bapak yakin kalian bisa berbuat adil. Bapak serahkan semua pembagian pada kamu Sumarno. Sebagai anak paling tua, kamu harus bisa mengambil sikap,"
"Iya pak." Jawab Sumarno. Pria itu tidak terlalu fokus dengan pembagian harta yang Sugiono lakukan, dia lebih sedih karena memikirkan kesehatan bapaknya itu.
Nafas Sugiono makin lama makin berat. Air mata Sumarno semakin deras sembari berbisik sesuatu untuk membimbing orang tuanya itu, agar jalannya menuju sang pencipta dipermudah. Tidak berapa lama kemudian Sugiono menarik nafasnya, dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
Tangis Sumarno, Anisa, dan Kusmini pecah. Mereka masih belum rela kehilangan orang tua sebaik Sugiono.
"Sudahlah mas. Daripada sedih tidak berguna, lebih baik kita cepat urus jenazah bapak. Biar cepat kelar urusannya," ujar Sukamto
Sumarno menyeka air matanya. Dia tidak menggubris ucapan kasar adiknya itu. Itu dia lakukan demi jenazah almarhum bapaknya. Terlebih Sumarno juga sudah paham dengan perangai adik-adiknya itu.
"Buk'e. Kamu cepat beritahu pengurus masjid, kalau bapak sudah meninggal. Kita butuh bantuan pengurus jenazah," ujar Sumarno.
"Iya Pak'e." Jawab Kusmini yang segera beranjak dari tempat duduknya.
"Nisa. Kamu beli keperluan untuk jenazah. Seperti kain kafan, kapas, minyak, pokoknya semua keperluan jenazah,"ujar Sumarno.
"Iya pak." Jawab Nisa yang kemudian bergegas pergi membeli barang-barang sesuai yang diperintahkan oleh Sumarno.
"Surani, Sukamto dan Sumantri. Kalian urus dulu jenazah bapak disini. Lepas pakaiannya sebelum dimandikan, dan tutupi jenazahnya dengan kain panjang. Aku akan menemui tukang gali kubur, dan mencari tanah pemakaman untuk bapak," ujar Sumarno sembari beranjak dari duduknya.
Sumarno pergi tanpa menuggu persetujuan dari adik-adiknya itu. Tidak ada yang tahu betapa sedihnya dia saat ini. Sementara adik-adiknya saling berpandangan, saat melihat sertifikat Sumarno yang dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai.
"Kamu pasti tahu apa yang aku pikirkan saat ini," ujar Surani anak kedua Sugiono, sembari menaikkan alisnya.
"Iya mas. Yang penting sampeyan amankan lebih dulu sertifikat itu. Nanti setelah tahlilan bapak, baru kita akan diskusikan lagi," ujar Sumantri setengah berbisik.
"Kamu memang selalu bisa mengerti apa yang aku pikirkan Sumantri. Sekarang cepat urus jenazah bapak, semakin cepat semakin bagus," ucap Surani.
Pemakaman Sugiono sudah dilakukan. Namun rasa duka yang ditinggalkan masih begitu sangat terasa bagi Sumarno. Dia bahkan lupa tentang sertifikat yang sudah diberikan oleh almarhum bapaknya.
*****
Tujuh hari sudah berlalu. Maka selama 7 hari pula Sumarno tidak berjualan ke pasar. Padahal sayuran yang dia tanam sendiri, sudah sangat siap dipanen dan dipasarkan. Namun Sumarno yang masih berduka hanya berdiam diri di kamar dan tidak melakukan apapun.
"Pak. Bapak harus ikhlaskan kepergian si Mbah. Mbah pasti ndak suka bapak larut dalam kesedihan seperti ini. Ingat loh, bapak sudah diberi kepercayaan oleh si Mbah buat menjaga kebun teh dan sawit. Kebun itu harus di urus pak. Jangan kecewakan si Mbah," ujar Anisa.
Sumarno tiba-tiba teringat dengan keberadaan Sertifikat yang diberikan oleh Sugiono.
"Ndok. Apa sertifikat yang diberikan Mbahmu kamu yang simpan?" tanya Sumarno.
"Ndak pak. Bukannya waktu itu bapak yang terima sertifikatnya?" tanya Anisa.
"Buk'e juga ndak nyimpan. Apa mungkin sertifikatnya ilang pak? kan waktu itu kita sibuk ngurus jenazah bapak. Atau mungkin saudara-saudara sampeyan yang simpan pak?" tanya Kusmini.
"Kalau begitu telpon saja paklek Surani, Sukamto dan Sumantri. Mungkin salah satu dari mereka ada yang nyimpan sertifikatnya," ujar Anisa.
Sumarno terlihat menarik nafas panjang.
"Bapak cuma pesan sama kalian. Kalau kita sampai ndak mendapat apa-apa jangan sedih. Kalau8 sertifikat itu berada di tangan mereka, akan sulit kita mendapatkannya lagi," Sumarno seolah paham apa yang akan terjadi kedepannya.
"Tapi kenapa pak? itu kan sudah menjadi hak kita," tanya Anisa.
"Nisa. Tanpa harta itu kita bisa mencari rejeki dengan cara lain. Tapi jangan sampai kita bertikai, hanya karena perebutan harta warisan. Apalagi sampai melakukan pertumpahan darah. Kita akan menanyakannya baik-baik, kalau mereka tidak ingin memberikannya ya sudah tidak usah dipaksakan." Jawaban Sumarno membuat Anisa memutar bola mata dengan malas.
Anisa tahu Sumarno bukan orang serakah. Bapaknya itu sama sekali tidak tergila-gila dengan harta kekayaan orang tuanya. Dia lebih suka mencari rejeki dengan caranya dan sesuai kemampuannya.
"Besok bapak akan mendatangi semua paklekmu untuk menanyakan sertifikatnya," ujar Sumarno.
"Biar Nisa temani pak," ucap Anisa.
"Tidak usah. Bapak bisa datang sendiri, kamu urus saja skripsimu. Bulan depan kamu harus di wisudah bukan?" tanya Sumarno.
"Skripsiku sudah selesai pak. Tinggal nunggu sidang 3 hari lagi. Bapak do'akan Nisa ya pak? biar cepat lulus, biar cepat dapat kerja juga." Jawab Anisa.
"Daripada nemuin mereka secara langsung, kenapa ndak di telpon saja pak'e. Maaf bukannya buk'e mau nyinggung sampeyan pak. Tapi adik-adik sampeyan itu mudah tersinggung dan pemarah. Nanti dikiranya Pak'e nuduh mereka nyuri, padahal pak'e cuma nanya," ujar Kusmini.
"Jadi biar aman, dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan lebih baik telpon saja Pak'e. Ini demi keselamatan sampeyan," sambung kusmini.
"Buk'e benar pak. Kalau bapak ndak mau aku ikut, ya lebih baik telpon saja," ujar Anisa.
"Ya sudah kalau mau kalian begitu. Kalau begitu biar nanti malam saja nelponnya. Sekarang lebih baik kita keladang memetik sayuran, mulai besok kita akan mulai jualan lagi," ujar Sumarno yang disambut antusias oleh Kusmini dan Anisa.
Merekapun pergi keladang, aktifitas yang sudah tidak mereka lakukan hampir selama minggu. Sementara ditempat berbeda, Suban tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit, karena mengalami sesak. Memang akhir-akhir ini Suban sering mengalami batuk dan sesak. Dokter memvonis Suban terkena paru-paru dan harus menjalani pengobatan selama 6 bulan secara rutin. Bukannya sedih mendengar kabar itu, Abian sangat senang dan berharap Suban segera menemui ajalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Audya
Kena paru-paru?
2022-10-13
0
gaby
Warisan itu emang nyeremin. Sodara bs jadi musuh cm gara2 warisan.
2022-09-27
0
☠ᵏᵋᶜᶟ尺მȶɦἶ_𝐙⃝🦜
oh.. warisan, knp pasti jadi rebutan🤦♀️🤦♀️
2022-07-20
1