Kamar Mayat
***
Part 20
"Baik, Dok," kataku. Aku kemudian segera menjauh dari cermin itu dan duduk di kursi Kak Ilyas. Lalu membaca-baca buku laporan harian kamar mayat yang ada di atas meja.
Dokter David juga lantas duduk.
Tak lama dia terlihat menulis di sebuah buku. Entah apa
yang sedang ditulisnya.
Aku merasakan suasana di antara kami sangat tak nyaman. Kami sama sama terdiam dengan pekerjaan masing-masing.
Sekitar pukul setengah sepuluh dokter David beranjak dari tempat duduknya. Dia lalu menghampiriku. Aku segera berdiri.
"Andri, saya akan keluar. Ada kepentingan yang harus saya urus. Kalau ada apa apa, tolong
kamu hubungi saya. Ini nomor HP
saya." kata dokter David, sembari
memberikan secarik kertas bertuliskan sederet nomor telepon nya kepadaku.
"Baik, Dok," kataku, sambil mengambil secarik kertas tersebut
dari tangan dokter David.
Dokter David lalu pergi meninggalkan ruangan. Sepeninggal dokter David, aku kembali memeriksa cermin itu. Dengan adanya larangan dokter David agar aku tak mendekati cermin tersebut, malah
membuatku makin merasa
penasaran. Ada apa sebenarnya
dengan cermin itu. Kenapa aku tak boleh mendekatinya?
Aku meneliti cermin itu dengan lebih sangat serius. Mengusap dengan pelan bagian depan dan keempat sisinya. Tiba-tiba samar samar aku mendengar suara tangisan perempuan dari dalam cermin tersebut. Aku langsung merinding. Bulu kuduk di leher dan kedua tangan meremang. Sejenak diri ini hanya terdiam sambil menatap cermin itu.
Aku lantas menajamkan telinga, barangkali saja diri ini salah mendengar. Suara tangisan itu kian nyata terdengar. Dan aku yakin kalau tak salah dengar, kedua telingaku masih normal.
Dengan perasaan takut yang teramat sangat, perlahan aku menempelkan telinga kiri ke cermin, dan suara tangisan itu makin jelas terdengar.
Aku mengerutkan kening.
(Aneh. Masa iya sih di dalam cermin ini ada suara orang nangis?) Aku membatin.
Baru saja aku akan memeriksa lagi cermin itu, tiba-tiba aku mendengar suara pintu kamar mayat dibuka
seseorang. Bergegas aku menjauh
dari tempatku berdiri, lantas duduk
sambil pura-pura sibuk membaca
buku laporan.
Tak lama berselang, dokter David masuk lagi ke ruang kamar mayat. Dia tampak tergesa-gesa menuju meja kerjanya.
Lalu mencari sesuatu, Entah apa yang dia cari. Aku menarik napas panjang. Untung saja aku melihat saat pintu terbuka. Jadi tak ketauan oleh dokter David, kalau aku sedang memerhatikan cermin itu.
Menjelang waktu zuhur dokter David pergi lagi. Aku bergegas ke mushola untuk mendirikan salat zuhur berjama'ah.
***
Setelah balik dari mushola,
aku duduk di depan ruang kamar mayat. Perutku terasa sangat lapar, sebab tadi pagi aku tak sarapan. Aku mau beli makanan di luar RS Jaya Putra, khawatir nanti ada kiriman jenazah yang datang. Dan kamar mayat dalam keadaan kosong, tak ada petugas yang jaga. Pasti bakalan bisa kena SP (surat
peringatan) aku nanti.
Kalau hanya diskors selama beberapa hari agar tak masuk
kerja dan gaji bulanan dipotong
sih tak jadi masalah bagiku, tapi kalau sampai langsung diberhentikan oleh pihak RS Jaya Putra, bisa gawat. Aku akan menganggur lagi, mencari dan
melamar lowongan kerja lagi, menunggu panggilan lagi. Duh...
membayangkan saja aku tak ingin,
apalagi jika harus mengalaminya
langsung.
Maka dengan terpaksa aku hanya duduk dengan menahan lapar, sambil berharap ada orang yang bisa aku mintakan tolong untuk membeli makan siang di luar RS
lewat di koridor.
"Mas Andri sedang apa di situ?" tanya seseorang dari koridor.
Aku memicingkan mata, agar bisa melihat dengan jelas siapa gerangan yang barusan menyapa. Ternyata Anton, anak tetangga sebelah rumah.
"Eh.. Ton, kamu ngapain di sini?" Aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Anton.
"Saya sedang nungguin saudara yang dirawat di RS ini, Mas. Mas Andri sendiri sedang apa?"
"Ohh ... sakit apa saudaramu? Udah berapa lama dirawat? Aku sedang dinas, Ton. Eh... sekarang kamu mau ke mana, Ton?"
"Sakit darah tinggi, Mas. Udah tiga hari sama sekarang. Saya mau ke warung depan, Mas. Mau beli makan siang. Mas Andri sekarang kerja di RS Jaya Putra?"
Aku mengangguk, dan beranjak dari duduk, lalu menghampiri Anton.
"Wah kebetulan banget, Anton. Aku sekalian nitip ya." kataku, sembari menyera hkan sejumlah uang pada Anton.
Anton pun segera menuju ke depan RS Jaya Putra untuk membeli makan siang, setelah aku memberitahu padanya, apa saja
makanan yang ingin aku beli.
(Alhamdulillah ... akhirnya ada Juga orang yang bisa aku mintakan tolong untuk beli makan siang) aku membatin.
***
Aku dan Anton lalu makan siang bersama di kursi panjang depan kamar mayat. Anton
banyak bertanya seputar pekerjaanku. Meskipun baru kelas
1 SMA, menurut ku anak itu lumayan
pintar. Aku sangat mengenalnya,
karena dia sering main ke rumah.
"Mas, saya boleh nggak masuk ke kamar mayat itu? Saya ingin lihat-lihat, kayak apa di dalam sana?" tanya Anton, di sela sela waktu makan, sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah pintu.
Aku mengangguk. "Boleh banget. Tapi apa nanti kamu nggak takut, Ton?"
"Takut sama apa, Mas? Kan kita nanti berdua di dalam" kata
Anton.
Aku hanya tersenyum. "Sekarang habiskan dulu makananmu, habis itu baru kita masuk bareng."
setelah selesai makan, kami pun masuk ke ruang dalam kamar
mayat. Anton langsung melihat lihat seisi ruangan. Wajahnya tampak
terkagum-kagum saat melihat
phantom manusia dan peralatan
medis. Berulang kali dia menanyakan hal yang dia belum
paham. Rasa ingin tahunya sangat
besar. Betul-betul cerdas anak itu,
pikirku.
Sementara Anton melihat lihat isi ruangan kamar mayat, aku tertarik dengan beberapa buku kesehatan yang tertata rapi di lemari kaca.
(Betul Juga apa yang dikatakan oleh
dokter David tadi, memang sebaiknya diri ini lebih banyak
membaca buku-buku yang ada di
ruangan ini, daripada sibuk
memeriksa cermin itu, yang semestinya bukan bagian dari tugas
yang harus aku lakukan) aku membatin.
Aku membuka lemari kaca itu dan mulai melihat lihat beberapa judul buku yang tersimpan di lemari tersebut.
Bermacam judul buku kesehatan dari beberapa penerbit ada di sana. Satu demi satu aku lihat sekilas, sampai akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada sebuah buku yang berjudul 'Bedah Mayat'.
Aku mengambil buku tersebut
dari dalam lemari. Kemudian mulai membacanya. Dimulai dari daftar isi, dan aku tertarik dengan bab 'Cara Melakukan Bedah Mayat'.
Ketika aku membuka bab itu,
ada sebuah foto yang tersimpan di
dalamnya. Betapa aku sangat terkejut saat melihat orang yang ada di dalam foto itu. Tampak tiga orang
dalam foto, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Wajah mereka sangat aku kenal, karena aku sering melihatnya. Mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Senyum mereka kelihatan bahagia.
Ya betul ... orang yang dalam foto itu adalah dokter Indri, sedang diapit oleh dokter David dan Kak Anfa. Sepertinya mereka sedang di dalam kamar Operasi saat foto itu diambil, terlihat dari background nya, sebuah meja operasi tampak di belakang mereka.
Aku menarik napas panjang, dan semakin penasaran saja dengan misteri yang belum terungkap selama ini.
(Ternyata dokter David dan Kak Anfa kenal dekat dengan dokter Indri. Tapi kenapa mereka ada di dalam kamar Operasi? Apa yang sedang mereka lakukan di sana?)
Aku sibuk memikirkan hal tersebut.
"Mas Andri, saya balik ke ruangan dulu ya, takut dicariin." kata Anton, yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.
"Oh ... iya, Anton. Aku juga mau
duduk di luar lagi." kataku, sambil
meletakkan buku ke tempat semula, setelah sebelumnya mengambil foto yang aku temukan di dalam buku tersebut.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝓶𝓾𝓵𝓪𝓲 𝓽𝓮𝓻𝓴𝓾𝓪𝓴 𝓷𝓲𝓱👏👏👏👏
2022-10-18
0