Kamar Mayat
***
Part 18
Berikutnya, aku berangkat ke RS lebih awal. Sebab ayah dan ibu akan pergi ke rumah kakek di luar kota. Setiap bulan kedua orang tuaku memang selalu mengunjungi kakek dan nenek di kampung. Sejak selesai subuh tadi mereka sudah berangkat ke terminal dengan mengendarai sepeda motor. Rencananya mereka akan naik bus ke rumah kakek dan ayahku akan menitipkan sepeda motornya di rumah saudara yang dekat dengan
terminal bus antar kota.
Daripada aku bengong sendirian di rumah, dan tak ada yang aku lakukan, lebih baik aku berangkat dinas saja. Bergegas aku mengeluarkan sepeda motor dan mengendarainya perlahan, meninggalkan halaman rumah.
Jalanan masih lengang, karena
memang masih sangat pagi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang di jalan.
"Pagi amat datangnya, Pak," sapa Pak Satpam di depan pintu gerbang, saat aku akan masuk ke pelataran parkir RS Jaya Putra.
"Iya, Pak. Ada kerjaan yang harus diberesin," jawabku asal saja. Setelah memarkirkan sepeda motor, aku segera menuju ke ruang kamar mayat. Di koridor pun belum banyak orang yang beraktivitas. Aku cuma
berpapasan dengan dua orang
suster dan seorang perawat yang
akan ke ruang laboratorium. Mereka akan mengantar darah pasien untuk diperiksa. Juga beberapa orang yang menuju ke depan. Mungkin mereka penunggu pasien rawat inap, yang akan mencari keperluan di luar RS Jaya Putra.
Tampak dari kejauhan Kak Budiman sedang duduk di bangku panjang sendirian. Tangan kirinya telihat sedang memijit keningnya. Sepertinya tak ada jenazah di dalam kamar mayat, aku membatin.
"Selamat pagi, Kak," sapaku, begitu
sampai di depan pintu kamar
mayat.
"Loh... pagi amat kamu datangnya, Andri" kata Kak Budiman sembari membetulkan letak duduknya, tanpa membalas salamku. Dia tampak heran.
"Hehe . iya, Kak. Di rumah nggak ada orang. Jadi mendingan saya berangkat dinas aja. Nggak ada kiriman jenazah ya, Kak?" tanyaku, sambil duduk di dekat Kak Budiman.
"Nggak ada. Selama Kakak dinas malam, nggak ada jenazah yang datang."
"Enak dong, Kak. Bisa tidur" kataku mulai memancing pembicaraan. Aku ingin menggali keterangan dari Kak Budiman tanpa dia menyadari akan hal itu.
"Kamu sendiri gimana waktu dinas malam kemarin? Apa bisa tidur, Andri?" tanya Kak Budiman.
"Saya kan masih baru dinas di sini, Kak. Nggak enak dong kalau tidur pas piket, meskipun nggak ada yang ditungguin," jawabku berkelit.
"Nggak enak apa takut kamu?" tanya Kak Budiman seraya terkekeh.
"Berarti Kakak masih takut juga ya semalam?" Kak Budiman menghela napas dalam.
"Nggak taulah, Andri. Kadang kakak ingin meminta pindah saja ke ruangan yang lain saja. Tapi kayaknya belum ada lowongan yang kosong."
Aku melongo mendengar perkataan Kak Budiman. Ternyata di balik sikapnya yang kadang menyebalkan, dia penakut juga, sama seperti aku. Aku tersenyum dalam hati, merasa ada teman.
"Memangnya kenapa, kok Kak Budiman tiba-tiba ingin pindah
dari sini?"
"Sebelum kejadian hilangnya dokter Indri, kamar mayat ini Kakak lihat biasa saja, nggak ada yang aneh dan nggak menyeramkan. Ya .. waktu pertama dinas di sini sih memang takut, tapi lama-lama terbiasa. Tapi sejak dokter Indri dikabarkan hilang dan meninggal, apalagi dia sering muncul di mana aja di lingkungan RS Jaya Putra ini, Kakak merasa jadi penakut lagi. Nggak tahu kenapa. Makanya Kakak ingin minta pindah ke ruangan lain, biar nggak sering diganggu sama
sosok dokter Indri" jawab Kak Budiman dengan serius.
"Apa tadi malam dia juga
datang, Kak?" tanyaku.
"Nggak cuma datang, Andri. Tapi Kakak merasa dia sudah meneror. Semalaman Kakak duduk di sini, nggak berani masuk. Soalnya hantu dokter Indri seperti ingin mencekik leher Kakak. Entah hanya halusinasi Kakak saja atau gimana, Kakak gak tahu. Tapi yang jelas, Kakak takut setengah mati" Kata Kak Budiman,
membuat aku makin melongo.
Sebetulnya aku ingin gantian menggoda kakak senior itu, tapi rasanya kurang pantas. Sebab aku
lihat, wajah Kak Budiman sangat
serius. Dia pasti memang sedang
merasa sangat ketakutan.
Lama kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Apa mungkin ada orang yang
membunuh dokter Indri ya, Kak,"
kataku hati-hati seraya berbisik
Khawatir reaksi Kak Budiman akan sama dengan Mbah Tono malam itu.
"Nah .. itu dia, Andri. Kakak Juga punya pikiran seperti itu. Tapi nggak tahu juga ya, soalnya selama 2 tahun pihak kepolisian pun belum bisa mengungkap kasus ini." kata Kak Budiman, juga dengan berbisik.
Dalam hati aku merasa lega, reaksi Kak Budiman tak seperti Mbah Tono. Kalau begitu aku bisa bertukar pikiran dengan Kakak senior ku satu ini.
Bahkan mungkin bisa mencoba memecahkan bersama, kasus
hilangnya dokter Indri yang selama dua tahun ini masih menjadi sebuah misteri.
"Menurut Kak Budiman, siapa kira-kira yang pantas jadi tersangkanya, Kak?" tanyaku mulai
serius. Sebab ternyata Kak Budiman juga mempunyai pikiran yang sama denganku. Dan diri ini yakin, dia juga pasti merasa sangat penasaran.
Kak Budiman menarik napas panjang.
"Kakak nggak berani mengira-ngira, Andri. Semua masih buram. Nanti kalau Kakak menyebut salah satu nama, takutnya malah jadi fitnah. Dan kamu tahu, itu sangat berbahaya."
"lya juga sih, Kak. Eng.. gimana kalau besok pas kita libur bareng, kita bahas masalah ini. Terus terang saya sangat penasaran, Kak. Masa iya sih semua orang di RS Jaya Putra ini nggak ada satu pun yang tahu di mana dokter Indri menghilang pada waktu hari sial itu terjadi."
Kak Budiman manggut-manggut.
"Boleh. Kakak juga penasaran sebenarnya. Kita mau ketemuan di
mana?"
"Tempatnya nanti aja kita tentukan kemudian, Kak. Kalau kita sudah dalam posisi libur bareng."
Kami kemudian menyusun rencana, apa yang kami lakukan pada saat bertemu nanti. Kami pun bersepakat, hanya kami berdua saja yang mengetahui hal ini. Sebab kalau melibatkan banyak orang, kami khawatir rencana yang sudah dibuat, malah akan bocor dan jadi berantakan. Karena ada yang tak bisa menjaga amanah.
Sebetulnya masih banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan Kak Budiman tentang dokter Indri. Tapi aku melihat dari kejauhan, Pak Danang sedang berjalan di koridor, menuju ke ruang kamar mayat. Bakalan gawat kalau dia melihat aku dan Kak Budiman sedang duduk berdua. Dia pasti akan semakin merasa curiga dan tak suka padaku.
"Saya masuk dulu ya, Kak. Mau naruh tas," pamitku buru-buru, khawatir keburu Pak Danang melihat kami berdua di luar ruang kamar mayat.
Tanpa menunggu jawaban Kak Budiman, aku segera masuk ke kamar mayat. Bermaksud akan menaruh tas. Tapi betapa terkejutnya aku, ketika sampai di dalam ruang kamar mayat. Aku melihat sosok dokter Indri sedang ada di dekat meja kerja dokter David. Kedua kaki langsung gemetaran. Keringat dingin mulai keluar di kedua pelipis. Jantungku spontan berdetak tak karuan. Ingin sekali rasanya diri ini berteriak
sekerasnya, tapi mulut seperti
terkunci, tak bisa dibuka.
Aku hanya bisa terpaku melihat dokter Indri, dengan ketakutan yang teramat sangat. Dia menatapku tajam. Sorot matanya merah menyala, seperti menyiratkan kemarahan. Aku menelan ludah. Ingin aku menangis saking merasa takut. Tiba-tiba sosok dokter Indri tertawa, suaranya sungguh sangat
menyeramkan.
Bermacam doa aku baca, tapi
hanya sampai di tenggorokan.
Suaraku tak terdengar, padahal
aku merasa sudah membacanya
dengan keras. "Andri! Andri! Ke sini sebentar! Andri! Andri! Kemari sebentar! ada yang mau kakak sampaikan"
Terdengar suara kak Budiman memanggilku dari luar. Seakan aku tersadar, aku langsung berlari sekencang mungkin untuk keluar
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝓳𝓷𝓰𝓷 𝓵𝓪𝓶𝓪" 𝓭𝓸𝓷𝓴 𝓶𝓲𝓼𝓽𝓮𝓻𝓲 𝓷𝔂𝓪🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
2022-10-18
0