Kamar Mayat
Part 19
***
Dengan napas terengah-engah, akhirnya sampai juga aku di pintu keluar kamar mayat. Jantung seperti mau copot. Dadaku rasanya sesak
sekali. Tampak Pak Danang tengah
duduk di samping Kak Budiman.
Mereka melihatku dengan pandangan penuh tanda tanya.
Terlebih lagi Pak Danang. Tatapan matanya tajam penuh selidik.
(Kenapa Pak Danang melihatku seperti yang sedang curiga gitu ya.
Sebetulnya apa yang dia curigai
dari aku? Seingatku, aku nggak
pernah bikin masalah sama dia.
Kenapa dia harus curiga? Aneh
banget manusia satu itu. Apa dia
belum pernah lihat sosok dokter
Indri ya?)
"Kamu kenapa, Andri? Kok sampai ngos-ngosan gitu? Kayak habis lari jarak jauh aja" tanya Kak Budiman. Aku yakin kalau dia hanya basa-basi, sebab aku juga yakin, dia pasti sering mengalami hal yang sama seperti aku, saat melihat sosok dokter Indri dengan wajah menyeramkan.
Aku hanya tersenyum menanggapi, sembari menata napas agar kembali normal.
"Saya nggak apa-apa kok, Kak. Tadi Kak Budiman manggil saya ada apa?" tanyaku, sambil berusaha tersenyum, setelah beberapa saat. Agar Pak Danang tak makin mencurigaiku. Walaupun aku sendiri tak tahu, apa sebenarnya yang dia curigai dari diriku.
"Ini loh Pak Danang. Dia mau ada keperluan keluarga selama dua hari. Jadi dia nggak bisa masuk dinas hari ini sama besok. Nah nanti, pas kamu dinas bareng dia lagi, gantian kamu bisa libur dua hari itu. Kamu paham nggak maksudnya,"' kata Kak Hardiman.
Aku diam sejenak. Memikirkan tawaran Pak Danang yang disampaikan Kak Budiman tadi. Sebetulnya kalau boleh memilih, aku memang enggan dinas bersama Pak Danang yang misterius itu. Tapi dibandingkan harus dinas sendiri, ya memang lebih baik dinas bareng dia. Meskipun mungkin selama dinas nanti, tak akan ada percakapan di antara kami.
"Gimana Andri, kamu mau nggak dinas hari ini sama besok gantiin Pak Danang?" tanya Kak Budiman, membuyarkan lamunanku.
"Oh ... eh ... iya mau, Kak.
Berarti besok saya punya jatah untuk libur dua hari kan?" tanyaku
memastikan.
"lya, Andri. Tapi kamu ngambil liburnya pas dinas bareng Pak Danang." jawab Kak Budiman.
Aku manggut-manggut. Biarlah tak mengapa, dua hari ke depan aku sport jantung sendirian, di siang hari, masih banyak orang yang beraktivitas di RS ini. Dan tak seberapa menyeramkan dibandingkan saat aku dinas
malam kemarin, aku membatin.
"Baik, Kak. Saya sudah paham." kataku.
"Ya sudah, kalau gitu sekarang kita operan. Pak, itu Andri sudah mau gantiin dinas Bapak. Kalau Pak Danang mau pulang sekarang yaudah nggak apa-apa" kata Kak Budiman.
Pak Danang beranjak dari duduk dan berlalu dari hadapan kami, berjalan ke arah koridor, tanpa mengucapkan lagi satu patah kata pun. Aneh sekali orang itu. Kalau saja bukan orang yang umurnya jauh di atasku, pasti
sudah aku tegur dari kemarin. Tak
ada basa basinya sama sekali,
sungguh mengherankan.
Aku dan Kak Budiman kemudian masuk ke ruang dalam untuk melakukan operan. Meskipun tak ada jenazah yang dikirim ke ruang kamar mayat tadi malam, tapi kami harus selalu melakukan operan setiap kali pergantian shift. Sosok dokter Indri sudah tak terlihat lagi.
"Kakak pulang sekarang ya, Andri" pamit Kak Budiman. Dia lalu bersiap siap. Memakai jaket dan mengambil tasnya yang ada di atas meja.
"Kak, coba kita lihat jadwal dinas dulu. Waktu saya libur besok, pas barengan nggak sama libur Kak Budiman" kataku.
"Oh ... iya. Coba mana jadwal dinasnya, kita lihat" kata Kak
Budiman.
Kami lantas melihat jadwal dinas tersebut, dan ternyata waktu libur kami memang bersamaan pada hari itu.
"Wah ... pas banget ini. Kita barengan liburnya" seru Kak Budiman, sembari tangannya menunjuk ke kertas berisi jadwal dinas petugas kamar mayat, Wajahnya tampak senang.
"Tapi masih lama, Kak. Masih dua minggu lagi." kataku tak bersemangat. Sebab aku sudah tak sabar, ingin sekali berdiskusi dengan Kak Budiman, tentang masalah hilangnya dokter Indri, agar rasa penasaranku segera terjawab.
"Nggak apa-apa, Andri. Yang penting kan kita bisa libur bareng hari itu. Kita bisa ketemuan dan ngomongin apa yang sudah kita rencanakan tadi. Daripada nggak ada kesempatan sama sekali. Malah kita nggak jadi tahu, ada misteri apa sebetulnya di balik peristiwa hilangnya dokter Indri dua tahun lalu. Lagian dua minggu itu gak lama kok, Andri. Cuma 14 hari aja" kata Kak Budiman seraya bercanda, mencoba melucu agar aku ikut ketawa.
"lya juga sih, Kak. Semoga saja waktunya cepat berlalu. Biar hari itu segera tiba."
"Ya sudah, sekarang Kakak pulang dulu ya," pamit Kak Budiman. Dia lalu berjalan menuju ke pintu luar.
Setelah kakak senior itu pergi, entah kenapa tiba tiba aku ingin sekali memeriksa cermin yang ada di dalam ruang kamar mayat. Seperti ada kekuatan yang menyuruh agar aku memeriksa cermin itu.
Perlahan aku menghampiri cermin tersebut. Lalu memeriksa setiap sudutnya. Aku perhatikan dengan saksama. Barangkali saja aku menemukan ada hal yang aneh di cermin itu.
Tapi setelah beberapa lama aku memeriksa, aku tak menemukan hal yang aneh di cermin itu. Selain bagian bawahnya yang sudah retak.
Aku merasa aneh saja dengan
hal tersebut. Kenapa cermin yang
sudah retak masih juga dipasang di dinding. Kenapa tak diganti dengan yang baru. Bukankah mengganti dan memasang cermin di dinding adalah hal yang tak begitu sulit, tapi kenapa tak dilakukan. Atau ada sesuatu di balik cermin itu, yang membuat cermin itu tak diganti dengan yang baru.
"Andri, apa yang sedang kamu lakukan di situ?" Suara seseorang membuat aku sangat terkejut. Sampai aku hampir melompat saking merasa kaget.
Spontan aku membalik badan. Tampak dokter David sedang berdiri didepan meja kerjanya sambil memandangku dengan rasa curiga.
(Ya ampun ... aku sampai nggak dengar suara sepatu dokter David masuk ke ruangan, saking asiknya tadi memeriksa cermin)
"Saya sedang memeriksa cermin ini, Dok." jawabku. Dokter David tampak
menautkan kedua alis. Dia memandangku dengan penuh selidik.
"Untuk apa kamu periksa
cermin itu? Bukankah tugas kamu
sebagai penjaga ruang kamar mayat, bukan penjaga cermin?" tanya dokter David.
Ucapannya terdengar sinis di telingaku. Wajahnya juga tampak
berubah, tak ramah lagi seperti
kemarin. Sorot matanya tajam
menatapku. Terus terang aku
merasa deg degan.
"I.. iya, Dok. Saya cuma heran aja sama cermin ini." kataku dengan agak takut
"Kenapa kamu heran? Apa ada yang salah dengan cermin itu?" Tanya dokter David
(Duh ... dokter David aneh banget sih. Kenapa harus diperpanjang soal cermin saja. Kenapa dia begitu ingin tahu, untuk apa aku memeriksa cermin ini. Apa pentingnya untuk dia. Atau jangan-jangan memang ada apa apanya di balik cermin ini.
Aku jadi makin penasaran)
"Andri, ditanya kok malah diam. Apa ada yang salah dengan cermin itu?" Dokter David mengulangi pertanyaannya.
"Eh. oh... ini, Dok. Nggak ada yang salah sih dengan cermin ini. Tapi saya ngerasa heran aja, kenapa cermin sudah retak begini, kok masih dipasang di sini. Kenapa nggak diganti saja dengan yang baru, biar kelihatan lebih bagus. Kan nggak susah kalau cuma mengganti cermin dan menempelkannya di dinding." jawabku.
Entah datangnya darimana keberanian yang aku dapat untuk mengatakan hal tersebut.
"Kamu nggak perlu lagi mendekati atau memeriksa cermin itu. Sebab tugas kamu di sini nggak ada hubungannya dengan cermin itu. Kalau nggak ada yang kamu kerjakan, kamu bisa membaca-baca buku laporan atau buku-buku yang ada di sini, yang berhubungan dengan tugas kamu." kata dokter David. Nada suaranya terdengar sangat memaksa, membuat aku makin penasaran dengan kejadian hilangnya dokter Indri.
(Ada apa dengan dokter David Kenapa dia sampai segitunya melarangku untuk mendekati dan memeriksa cermin itu?) Aku membatin.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝓪𝓹𝓪 𝓭𝓪𝓵𝓪𝓷𝓰 𝓹𝓮𝓶𝓫𝓾𝓷𝓾𝓱𝓪𝓷 𝓭𝓸𝓴𝓽𝓮𝓻 𝓘𝓷𝓭𝓻𝓲 𝓲𝓽𝓾 𝓭𝓸𝓴𝓽𝓮𝓻 𝓓𝓪𝓿𝓲𝓭 𝔂𝓪🤔🤔🤔🤔🤔
2022-10-18
0