Kamar Mayat
Part 15
***
Aku melihat jarum jam di tangan. waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Tapi aku belum berani masuk lagi ke ruangan kamar mayat. Wajah dokter Indri yang menyeramkan masih terbayang bayang di mataku.
Suasana di sekeliling kamar mayat sangat sepi, tak terlihat satu pun orang yang berjalan di koridor. Udara dingin yang terasa menusuk tulang, tak aku hiraukan.
Rasa takut yang ada, lebih besar ku rasakan daripada dinginnya udara malam.
Angin bertiup semilir,
menerpa wajah ini. Lama kelamaan aku mulai mengantuk.
Kedua mata sepertinya sudah mulai terasa berat. Tapi untuk masuk ke ruangan kamar mayat, aku belum berani. Dengan sekuat tenaga, diri ini berusaha agar tak tertidur atau memejamkan mata.
Aku kemudian beranjak dari duduk dan berjalan mondar mandir di depan pintu, untuk mengurangi rasa ngantuk yang kian menyerang. Ketika langkahku sampai di tepi dinding ruang kamar mayat, aku melihat dari kejauhan sebuah brankar yang berjalan menuju ke ruangan kamar mayat. Dan ada 4 orang yang mendorongnya di tiap sisi, salah satunya memakai seragam satpam. Serta beberapa orang yang berjalan di belakang mereka.
Aku menelan ludah.
Membayangkan akan ada lagi jenazah yang di kirim ke kamar mayat. Dengan hati berdebar debar, aku menunggu rombongan pembawa brankar tersebut. Tapi setelah dekat, aku melihat brankar itu kosong. Diri ini bernapas dengan lega. Sebab tak jadi ada penambahan jenazah di dalam kamar mayat.
"Selamat malam, Pak. ini keluarga dari Nyonya Sintia. Mereka bermaksud akan mengambil jenazah Nyonya Sintia malam ini" kata pak satpam, setelah rombongan sampai di depan pintu kamar mayat.
Dalam hati aku bersorak
kegirangan. Akhirnya jenazah Bu Sintia di ambil juga oleh pihak keluarganya. Berarti aku tak jadi menemani jenazah itu di malam ini.
"Selamat malam, Pak. Oh ...
iya silakan. Mari masuk" kataku,
seraya membuka pintu kamar mayat lebar lebar, agar brankar itu bisa masuk ke ruang dalam.
Aku lalu membuka surat kematian Nyonya Sintia dan menyiapkan segala sesuatunya.
Setelah semuanya selesai, jenazah Bu Sintia pun dibawa pulang oleh pihak keluarganya.
Kembali aku duduk di kursi
panjang depan ruang kamar mayat, hingga pukul setengah satu malam. Tiba tiba aku merinding, tapi untuk masuk ke ruang dalam, aku belum berani.
Lebih baik aku berada di luar ruang kamar mayat. Jika terjadi apa apa diri ini bisa langsung lari ke arah depan RS. Daripada berada di dalam ruangan, kalau ada apa apa aku bakalan susah keluar, apalagi jika pintunya terkunci, begitu pikirku.
"Selamat malam, Mas. Mas Andri masih dinas malam?"
tanya Mbah Tono dari koridor. Dia sedang berjalan menghampiriku.
"Iya, Mbah. Semalam lagi.
Mbah Tono darimana?"
"Biasalah, Mas. saya baru keliling RS, ngeronda. Barangkali saja ada yang aneh" jawab Mbah Tono sambil terkekeh. Gigi ompongnya sampai terlihat.
"Oh... silakan duduk, Mbah.
jadi sekarang sudah selesai kelilingnya , Mbah?" tanyaku.
"Iya sudah, Mas. Tinggal di bagian belakang ini saja. Kamar mayat ini sama gudang di belakang sama" jawab Mbah Tono, seraya jari telunjuknya menunjuk ke arah belakang RS Jaya Putra.
"Gimana dinas malamnya, Mas Andri? Ada yang ganggu nggak?" tanya Mbah Tono.
Aku tersenyum. Aku yakin,
Mbah Tono juga pasti tahu, meskipun aku tak mengatakan padanya.
"Nggak apa apa, Mas Andri.
Kalau cuma sekedar lihat brankar atau kursi roda yang sedang jalan sendiri. Nggak usah takut. Anggap saja Mas sedang menonton pertunjukan sulap. Nanti juga Mas Andri akan terbiasa dengan hal seperti itu, Nggak bakalan ngerasa takut lagi" Kata Mbah Tono.
Aku tersenyum
mendengarnya. Mbah Tono pasti sering melihat hal seperti yang kulihat kemarin malam. Makanya dia sampai paham.
Mbah Tono bercerita tentang pengalaman dirinya selama bekerja sebagai keamanan di RS Jaya Putra. Meskipun horor dan menegangkan, tapi seru.
Beberapa kali aku dibuat melongo
tapi juga takjub.
"Mbah saya boleh tanya nggak?" tanyaku, setelah Mbah Tono selesai bercerita.
"Mas Andri mau tanya apa?"
Mbah Tono balik bertanya padaku. Mata tuanya menatapku lekat lekat.
"Apa Mbah Tono kenal sama yang namanya dokter Indri?"
tanyaku.
Sejenak Mbah Tono terdiam.
Terlihat perubahan di raut wajahnya.
Aku mengerutkan dahi. Mengira ngira dalam hati, kenapa tiba tiba raut wajah Mbah Tono tampak berubah. Dia seperti terkejut ketika aku menyebut nama dokter Indri.
Satu menit berlalu. Mbah Tono masih bergeming. Sesekali aku lihat dia menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Seakan ada sebuah beban berat yang menghimpit dadanya.
Dua menit berlalu. Mbah
Tono masih juga diam. Aku merasa tak enak hati sendiri, merasa bersalah karena telah menanyakan tentang dokter Indri pada Mbah Tono. Yang menjadikan suasana di antara menjadi tak nyaman.
"Saya minta maaf, Mbah. kalau pertanyaan saya tadi salah. Dan bikin Mbah Tono jadi nggak nyaman. Mbah Tono nggak perlu jawab pertanyaan saya, kalau memang Mbah nggak ingin menjawabnya" kataku dengan tulus.
Mbah Tono kembali menarik
napas dalam. Pandangannya menatap jauh ke depan, seolah sedang mengingat suatu peristiwa
di masa lampau.
"Nggak apa apa, Mas Andri.
Mas nggak salah dan nggak perlu minta maaf sama saya. Saya tahu, Mas Andri tanya soal dokter Indri merasa penasaran kan?" tanya Mbah Tono.
Aku mengangguk dengan cepat, sambil berharap Mbah Tono akan menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan dokter Indri.
"Dokter Indri itu dokter gigi, Mas. Lima tahun yang lalu dia menjadi karyawan baru di RS Jaya Putra ini. Kebetulan di poliklinik gigi waktu itu belum ada tenaga dokter, baru ada tenaga perawat gigi dua orang. Umurnya waktu itu masih sekitar 20 tahun, masih sangat muda, karena menurut info saya dengar, dia baru saja lulus kuliah. Orangnya ramah dan pandai bergaul. dia nggak sungkan untuk mengobrol dengan siapa saja. Tukang kebun,tukang masak, tukang cuci, tukang parkir, satpam, cleaning service, bahkan penjaga malam seperti saya ini, selalu disapa dengan ramah oleh dokter Indri jika bertemu. Padahal apalah kami ini, Mas. Yang cuma pegawai rendahan. Tapi sepertinya dokter Indri nggak mempersalahkan hal itu. Dia bersikap ramah kepada siapa saja. Hampir semua pegawai di RS Jaya Putra mengenalnya dengan sangat baik. Sampai ketika peristiwa itu terjadi . Kami semua di buat nggak percaya"
Mbah Tono berhenti sejenak
Dia menghela napas dalam dan matanya menerawang jauh.
"Peristiwa apa, Mbah?"
tanyaku pura pura tak mengerti tanyaku pura pura tak mengerti tentang cerita dokter Indri.
Padahal aku sudah mendengar sebelumnya dari Kak Budiman dan kak Ilyas.
"Dua tahun yang lalu, dokter Indri tiba tiba menghilang. Pihak keluarganya mencari ke RS Jaya Putra setelah 2 hari dokter Indri nggak pulang ke rumah. Mereka mengira kalau dokter Indri sedang piket di RS. Padahal waktu itu dokter Indri sedang libur. Kami semua yang ada di RS Jaya Putra ini juga merasa heran dengan kehilangan dokter Indri, sebab nggak ada satu pun orang yang melihat dokter Indri sebelum berita hilangnya tersebar luas. Dan sampai sekarang semua itu masih jadi misteri, Mas. Pihak kepolisian juga kesulitan untuk mengungkap kasus ini. Sebab nggak ada yang tahu dengan siapa dokter Indri terakhir berinteraksi, selain dengan keluarganya. Hanya saja, sejak berita hilangnya dokter Indri terdengar, beberapa orang karyawan melihat sosok dokter Indri di sini, di beberapa tempat. Kami pun mengambil kesimpulan sendiri, kalau dokter Indri itu sudah meninggal. Tapi kejadiannya yang pasti seperti apa, kami belum ada yang tahu" kata Mbah Tono mengakhiri ceritanya
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝓬𝓮𝓹𝓪𝓽 𝓾𝓼𝓾𝓽 𝓐𝓷𝓭𝓻𝓲 𝓴𝓪𝓼𝓾𝓼 𝓭𝓸𝓴𝓽𝓮𝓻 𝓘𝓷𝓭𝓻𝓲 💪💪💪💪
2022-10-18
0