Mbak Jum Wo Ai Ni
"Cilok ... Mba Jum, sehat, enak .. kenyul ..minul, minul!" teriak seorang gadis berusia 20 tahun.
Di tengah teriknya panas kota Surabaya, ia mengayuh sepeda onthel untuk menjajakan dagangannya. Juminten, gadis manis ini selalu rajin berkerja, jam setelah tujuh ia sudah berada di sekolah untuk menjajakan dagangannya.
Saat siang menjelang, Juminten akan pulang sambil menjajakan cilok buatannya. Ya, sapa tau masih ada orang yang pengen ngemil di tengah hari seperti ini.
Peluh bercucuran dari kening Juminten, hari ini Surabaya lebih panas dari biasanya. Gadis itu mengangkat sedikit topi merah yang ia pakai untuk menyeka keringatnya.
"Huft ... panas e, rek," gumam Juminten.
Ia memutuskan turun dari sepeda, menurunnya perlahan. Juminten melewati gang-gang sempit untuk bisa sampai ke rumahnya.
"Ciloook.... Cilok Jum, menul, kenyul!" teriakannya lagi.
"Mbak Jum, Cilok!" panggil seorang remaja.
"Wokeh." Juminten, menuntun sepedanya mendekati remaja itu
Menstandarkan sepeda onthelnya. wanita dengan rambut hitam panjang yang di kuncir kuda itu membuka, panci pengukus. Uap panas mengepul, menyebarkan bau gurih makanan bulat yang terbuat dari tepung kanji itu.
"Tumbas pinten?" tanya Juminten.
[ "Beli berapa?" tanya Juminten. ]
"Sepuluh ewu, Mbak." Remaja itu memberikan piring yang ia bawa.
[ " Sepuluh ribu, Mbak." Remaja itu memberikan piring yang ia bawa.]
Juminten mengangguk sambil tersenyum, ia menerima piring itu. Kemudian dengan cekatan ia menusuk cilok lalu memindahkannya ke piring. Mulut Juminten komat-kamit menghitung jumlah cilok sesuai dengan yang di inginkan pembeli.
"Tak imbuhi, terakhir soale. Sambel e dipisah opo campur?"
[ "Aku kasih bonus, terakhir soalnya. Sambelnya dipisah atau dicampur?" ]
"Campur ae, Mbak."
[ "Campur saja, Mbak." ]
"Ok." Juminten pun mengguyur bulatan kecil itu dengan bumbu kacang pedas dan memberikan kecap sebagai sentuhan terakhir.
"Makasih, Mbak Jum," ucap remaja itu sambil menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu rupiah.
"Cama-cama, Cantik." Juminten tersenyum manis dan menerima uang itu, gadis belia itu tersenyum malu mendengar ucapan Juminten.
Wanita itu kemudian merapikan kembali panci dagangannya. Ia tersenyum penuh syukur, hari ini cilok yang ia bawa habis tak bersisa. Dengan bersenandung kecil, Juminten kembali mengayuh sepedanya.
Belum berapa lama Juminten mengayuh sepeda, dia harus kembali turun dari kendaraan roda dua itu. Sebuah mobil mewah terparkir di sisi gang, dan hampir menutupi seluruh badan jalan.
"Ctk ...Mobil e sopo se rek, parkir kok di kene. ga ruh sempit iki tah," gumam Juminten kesal.
[ "Ctk ... Mobil siapa sih, parkir kok di sini. Apa tidak tahu kalau di sini sempit," gumam Juminten kesal. ]
Juminten memarkirkan sepedanya, ia merentangkan kedua tangan untuk mengukur sisa jalan yang tersisa. Juminten mengarah tangan yang terentang dengan gerobak yang ia bawa.
Juminten menghela nafas, badan jalan yang tersisa sangat terbatas. Ia sebenarnya khawatir jika gerobaknya menggores bodi mobil. Juminten mendongakkan kepalanya, matahari sudah tepat di atas ubun-ubun. Ia harus segera pulang.
Juminten mengintip jendela mobil, mobil itu kosong. Wanita itu pun celingukan mencari si empunya mobil, tetapi tidak ada. Jalanan itu tampak sepi, rumah - rumah warga di sekitar juga tertutup. Mungkin mereka sedang istirahat siang.
Juminten harus menyuapi ibunya yang terbaring di tempat tidur, karena stroke. Dengan terpaksa ia pun menuntut pelan sepedanya, melewati jalan yang tersisa. Tidak ada pilihan lain, Juminten harus pulang sekarang, ia takut terjadi apa-apa dengan ibunya.
Dengan menahan nafas, Juminten menuntun sepedanya. Seolah melewati batas hidup dan mati, dengan sangat hati-hati ia melewati mobil mewah itu.
Namun, nasib tak berpihak padanya.
Srrrt....
Ujung gerobak Juminten, menggores pintu depan mobil, goresan yang cukup panjang. Juminten hanya bisa meringis melihat warna putih yang memanjang dari pintu hingga bagian depan mobil.
"Ya Allah, piye iki?"
[ "Ya Allah, bagaimana ini?" ]
Juminten berjongkok, takut dan bingung. Pemilik mobil itu pasti akan sangat marah melihatnya. Ia harus bertanggung jawab, tetapi ia Juminten juga harus segera pulang.
Gadis manis itu berdecak kesal, bingung harus bagaimana. Tanpa sengaja ia melihat kertas bekas bungkus gorengan, yang berserakan di tanah. Juminten mengambil kertas itu, beruntung ia membawa bolpoin di keranjang sepeda.
Nuwun sewu Pak, Bu. Aku ora sengaja ngeruk mobilmu, aku bakal tanggung jawab kanggo kesalahanku. Nanging aku kesusu saiki, aku ora duwe wektu ngenteni Mas, Pak utawa Bu. Sampeyan bisa hubungi kula ing nomer iki.
081 xxxx xxxxxx
Sugeng rawuh, Jum.
[ Maafkan saya Mas,Bapak atau Ibu. saya tidak sengaja menggores mobil Anda, saya akan bertanggungjawab atas kesalahan saya. Tapi saya sedang terburu-buru sekarang, saya tidak sempat menunggu Mas, Bapak, atau Ibu. Anda bisa menghubungi saya di nomor ini.
081 xxxx xxxxx
Salam manis, Jum. ]
Juminten menyelipkan kertas itu di wiper kaca mobil. Ia pun segera bergegas pulang, sang ibu sedang menunggunya.
.
.
.
.
.
Seorang laki-laki berjalan dibelakang sang majikan, mereka berdua baru saja mengunjungi salah satu pegawai pabrik yang mengalami kecelakaan kerja di pabrik.
Karena rumah pegawai itu berada di jalan sempit yang hanya bisa di lewati sepeda motor atau pejalan kaki, mereka pun terpaksa memarkirkan mobil di jalan.
Si asisten membuka pintu mobil, kemudian mempersilahkan majikannya untuk duduk. setelah itu, ia berjalan ke depan.
Raka mengerutkan keningnya saat melihat kertas kotor r terselip di wiper kaca, penasaran ia pun mengambilnya kertas itu dan membaca tulisan yang ada di kertas itu.
Raka terkejut, ternyata itu adalah pesan dari seseorang yang telah membuat kerusakan pada mobil majikannya.
"Kamu baca apa?" tanya Dylan dengan kaku, laki-laki itu baru sebulan ini menginjakkan kaki di Indonesia.
"Surat Tuan," jawab Raka. Ia menyodorkan kertas kotor itu pada Dylan.
Mata sipit Dylan sedikit melebar saat membaca surat itu, ia kemudian mengembalikan kertas itu pada asistennya.
"Apa kamu sudah tidak waras? Saya tidak mengerti bahasa aneh itu!"
Raka tersenyum kikuk, sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia lupa majikannya itu belum mengerti bahasa jawa.
"Itu, seseorang telah merusak mobil ini, dan dia meninggal pesan serta nomer telpon untuk menghubunginya," jawab Raka.
"Kamu cari dia, suruh benar-benar tanggung jawab!" tukas Dylan dengan wajah marah.
Mobil yang Dylan pake saat ini adalah mobil pribadinya. Mobil yang paling ia sukai.
"Baik Tuan, " jawab Raka singkat.
Laki-laki itu pun menyalakan mesin mobil, kemudian mulai melajukan kendaraan roda empat itu meninggal permukiman padat penduduk itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
lili
mampir lagi
2024-11-22
0
Isna Maria Prianti
lanjut makkkk
2024-04-02
0
Icha Akim
bukane artine selamat datang to kak sugeng rawuh ki
2022-12-16
0