"Assalamualaikum," ucap Juminten saat sampai di rumah.
Wanita itu membuka pintu rumah setelah meletakkan sepeda di teras. Sebuah rumah sederhana yang ia tempati bersama adik dan ibunya yang stroke. Juminten pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sebelum ke kamar ibunya. Setelah selesai mencuci tangan, kaki dan muka, Juminten pergi ke kamar yang ada di sebelah dapur.
"Bu," panggil Juminten, ia menyibakkan tirai yang menutupi pintu kamar itu.
Mirna, wanita berusia 65 tahun itu dengan susah payah menoleh. Matanya berbinar saat melihat anak perawannya pulang.
Juminten melangkah mendekat, ia tersenyum manis pada wanita yang tengah menatap lekat padanya itu. Juminten meraih tangan Mirna lalu menciumnya dengan takzim, setengah itu ia menyingkirkan kain jarik yang menutupi tubuh Mirna untuk memeriksa popok yang ia pakaikan tadi pagi.
Popok sekali pakai itu sudah basah, dengan cekatan Juminten menggantinya, tak ada rasa jijik. Baginya ini merupakan sebuah kewajiban sebagai seorang anak, ia masih bersyukur Tuhan memberikan dia waktu untuk merawat ibunya.
"Mpun wangi," ujar Juminten setelah selesai menganti popok Mirna.
[ "Sudah wangi," ujar Juminten setelah selesai menganti popok Mirna. ]
Ia kembali menutupi tubuh kurus itu dengan kain jarik. Juminten merunduk ia kemudian mengarahkan kedua tangan Mirna melingkar dilehernya, sedangkan tangan Juminten mengangkat sedikit demi sedikit tubuh Mirna, membantunya duduk.
"Ibu maem ya, mpun siang."
[ "Ibu makan ya, sudah siang." ]
"Emh ..." gumam Mirna sambil mengangguk lemah.
Juminten tersenyum, ia beranjak pergi ke dapur. Mirna menatap punggung anak gadisnya yang berlalu dibalik tirai usang.
Lelah sebenarnya, sudah lima tahun Mirna seperti ini, sejak kecelakaan yang merenggut nyawa anak pertama dan menantu serta sang suami. Kini Mirna hanya bisa menggantungkan hidupnya pada Juminten, begitu pula Dimas cucunya dari Juleha.
Awalnya Mirna hanya anggota badan sebelah kanan yang tidak bisa ia gerakkan. Namun, karena sering jatuh, kini ia hanya bisa terbaring di ranjang, Mirna tidak bisa bicara, kedua tangannya juga sulit untuk di gerakkan.
Juminten terpaksa harus putus sekolah, gadis belia itu merawat sekaligus menghidupi dirinya. Kadang Mirna merasa putus asa dengan keadaan, jika saja maut bisa lebih cepat datang padanya. Ia tidak harus membebani Juminten.
Namun, Juminten selalu menyemangatinya. Juminten selalu bilang, Mirna bukan beban, dia adalah ladang pahala untuknya. Tak pernah sekalipun Juminten mengeluh atas kehidupan mereka, saat Juminten merawatnya gadis itu selalu tersenyum dengan tulus.
Juminten kembali dari dapur, ia membawa sepiring nasi lembek beserta sayuran dan ikan. Dengan telaten Juminten menyuapi Mirna, ia senang saat sang ibu makan dengan lahap. Tak apa ia kerja keras banting tulang untuk, melihat Mirna yang mempunyai semangat hidup lagi seperti saat ini, sudah cukup baginya.
Juminten mengusap mulut ibunya dengan kain basah, membersihkan sisa makanan yang ada. Juminten pun kembali ke dapur untuk meletakkan piring kotor, setelah itu ia kembali ke kamar itu.
"Ngunjuk obat rien nggeh, Bu."
[ "Minum obat dulu ya, Bu." ]
Mirna mengangguk, Juminten mengambil beberapa butir obat yang harus rutin di minum oleh ibunya. Juminten membantu menyuapkan obat itu ke mulut Mirna, setelah itu segera ia mengarahkan sedotan agar Mirna bisa minum.
"Bu, Jum tinggal beresi dagangan rien nggeh. Ibu purun nonton TV nggak?"
"Bu, Jum tinggal beresin dagangan dulu ya. Ibu mau lihat TV ngga?" ]
Lagi-lagi Mirna hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Juminten pun menyalakan televisi tabung berukuran 14 inchi itu.
Juminten memilih acara sinetron di channel ikan asin yang paling digemari oleh emak-emak se-Indonesia. Juminten mengambil sisir, ia merapikan rambut sang Ibu yang sedikit berantakan.
"Jum tinggal ya, Bu," Pamitnya lagi.
Gadis manis yang mempunyai tahi lalat di sudut kiri bawah bibirnya itu pergi ke teras, untuk membereskan peralatan jualan ciloknya.
Selain itu ia juga harus menyiapkan seblak jualannya nanti sore, bagi Juminten tak ada waktu untuk istirahat. Ia harus mengunakan waktunya semaksimal mungkin untuk mendapatkan rejeki, Juminten ingin bisa mengobati ibunya hingga sembuh. Dia juga ingin Dimas sekolah dengan baik, jangan sampai keponakannya itu putus sekolah seperti dia.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam," jawab Juminten.
Dimas meraih tangan Juminten lalu menciumnya dengan takzim, remaja kelas dua SMP itu melepaskan sepatu sebelum ia masuk rumah.
"Ndang salin, terus maem, Mbak goreng iwak lele senenganmu," ujar Juminten sambil berlalu masuk.
[ "Cepat ganti baju, terus makan, Mbak goreng ikan lele kesukaan kamu," ujar Juminten sambil berlalu masuk. ]
"Nggeh, Mbak."
[ "Iya, Mbak." ]
Dimas menenteng sepatu sekolahnya, ia masuk ke kamar untuk mengganti baju. Setelah itu, Dimas ke dapur untuk mengambil makan siang. Tak lupa ia ke kamar neneknya untuk menyapa.
Dimas menikmati makanannya di dapur, sesekali ia melirik kearah Juminten yang sedang mencuci piring kotor. Merasa di perhatikan Juminten berhenti mencuci, ia membilas tangan dengan air kemudian duduk di bangku kayu depan dimas.
"Lapo?" tanya Juminten.
[ "Ada apa?" tanya Juminten." ]
Dimas menggeleng, ia menunduk dan kembali memasukkan nasi ke mulutnya. Juminten tahu Dimas ingin mengatakan sesuatu, anak itu memang sedikit pendiam.
"Onok opo se, Dim? Mbak ngerti lho, ket mau awakmu ngiwasi Mbak," desak Juminten.
[ " Ada apa sih, Dim? Mbak ngerti lho, dari tadi kamu lihatin Mbak," desak Juminten. ]
Dimas meletakkan sendoknya, ia memang tidak bisa berbohong pada kakaknya itu.
"Anu Mbak, aku pingin kerjo," jawab Dimas lirih.
[ " Anu Mbak, aku ingin kerja," jawab Dimas lirih. ]
Juminten mengerutkan keningnya, kerja? mau kerja apa Dimas?
"Arep Kerjo opo pean? wes lah nggak usah, pean fokus sekolah ae. Lapo se kerjo barang? sangu ne kurang ta? pean butuh duit gae bayar sekolah ta?"
[ "Kamu mau kerja apa? sudahlah nggak usah kerja, kamu fokus sekolah saja. Kenapa sih, mau kerja segala? Uang saku kamu kurang? kamu butuh uang buat bayar sekolah?" ]
"Nggak, Mbak. Kabeh wes cukup, tapi aku di tawani koncoku, dadi kurir. Enggak bendino kok Mbak, seminggu paling ping pindo. Nggak po-po kan Mbak, aku pingin belajar mandiri," kekeh Dimas.
[ "Nggak, Mbak. Semua sudah cukup, tapi aku di tawarin temanku jadi kurir, Enggak tiap hari kok Mbak, seminggu paling hanya dua kali. Nggak apa-apakan Mbak, aku ingin belajar mandiri," kekeh Dimas. ]
Remaja itu menatap Juminten dengan penuh harap, ia ingin bisa membantu kakaknya itu untuk mencari uang.
Juminten mengambil nafas dalam, Dimas sangat keras kepala. Jikapun ia tidak memberikan izin, Dimas akan tetap pergi berkerja. Dengan berat hati, Juminten mengangguk.
"Tapi janji ya, nggak ganggu sekolah!" tegas Juminten.
"Enggeh Mbak, aku janji."
[ "Iya Mbak, aku janji." ]
Juminten tersenyum, ia bangkit dari duduknya. Dengan gemas ia mengacak-acak rambut Dimas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Bzaa
menarik 😘
2023-02-22
0
reni
ya ampun kek q pasti ceriwis 😁😁😁
2023-02-15
2
こんにちは
kok sama awok awok
2022-11-08
1