Juminten duduk di bangku kayu yang ada di teras, sambil menunggu dagangan. Sesekali tangannya mengibas, mengusir lalat yang hinggap.
Sepi, hari ini belum banyak pembeli yang datang. Rejeki memang tidak bisa dikejar, ia hanya bisa bersabar. Juminten cukup gencar mempromosikan seblak dan ciloknya di media sosial.
Sambil menunggu pembeli, Juminten sibuk men-scroll aplikasi biru. Beberapa komentar masuk menanyakan seblaknya. Dengan semangat 45 Juminten membalasnya komentar satu persatu, ada yang sekedar bertanya, ada yang mau COD tapi jarak terlalu jauh. Namun, ada beberapa pesanan yang akhirnya deal, dengan senyum sumringah Juminten bangkit dari duduknya. Ia mulai meracik seblak pesanan para customer.
Lima porsi seblak dengan variasi yang berbeda dan level pedas yang berbeda pula. Juminten mulai menyalakan kompor satu tungku, memasukkan sedikit minyak dalam penggorengan yang sudah mulai panas. Satu persatu makanan pedas khas bandung itu ia masak, setelah matang masukkan ke dalam plastik yang khusus untuk makanan dan membungkusnya lagi dalam kotak stereo foam.
"Oke, Seblak ceker level 5, seafood level 2, seblak sosis level 7, dan dua seblak komplit," gumam Juminten mengabsen tiap kotak.
Juminten masuk ke rumah, mengambil topi warna merah dan sekaligus berpamitan pada ibunya.
Juminten meletakkan semua pesanan pembeli di keranjang, tak lupa ia memasang lebel tutup sementara. Juminten harus mengantarkannya sendiri, Karena Dimas pamit ada perkerjaan pagi tadi. Setelah menutup pintu rumah, Juminten mulai mengayuh sepeda. Menyusuri gang sempit, sebelum mencapai gang besar.
"Opo kurang leh ku ngertini karebmu? hem ...hem..!"
[ "Apa kurang olehku mengerti keinginanmu? hem ... hem...!" ]
Juminten menyanyikan lagu kesukaannya sambil terus mengayuh sepeda onthel miliknya, panas matahari Surabaya tidak menyurutkan semangat wanita itu. Demi rupiah, panas dan hujan tidak masalah baginya.
Juminten menambah kecepatan, dia ingin lebih cepat sampai ke rumah pelanggan. Seblaknya juga bisa dingin jika tidak segera diantara. Disaat yang sama sebuah mobil berwarna merah melaju kecepatan tinggi, mobil itu melaju kencang meskipun berbelok.
Juminten yang terkejut saat mobil itu melaju kearahnya, Juminten tidak bisa mengendalikan sepeda yang tersenggol mobil itu, hingga akhirnya Juminten terjatuh.
"Wong gendeng! Dalan e Mbok mu a!" umpat Juminten.
[ "Orang gila! Jalanan ibu kamu apa!" umpat Juminten. ]
Juminten berdiri, ia segera memeriksa seblaknya. Untung tidak ada yang tumpah, semua Masih baik, hanya keranjang sepedanya saja yang penyok.
Juminten menoleh, menatap tajam pada mobil mewah itu. Mobil itu berhenti tak jauh dari Juminten jatuh, seorang laki-laki bermata sipit keluar dari mobil itu.
Setelah menyandarkan sepedanya dengan baik, Juminten menghampiri pria itu. Dia pasti orang kaya, Juminten bisa melihat dari mobil dan pakaian yang di pakai laki-laki itu. Namun, Juminten tidak takut. Ia berdiri tegap dengan raut wajah marah, berhadapan dengan pria sipit itu.
"Hei Tuan, apa kau tidak bisa menyetir mobil. Kamu nggak lihat apa jalan sempit, banyak tikungan pula. Kamu seharusnya bisa mengatur kecepatan sebelum belok, apa kamu pikir jalanan ini punya nenek moyang kamu apa!" cerocos Juminten melupakan emosinya.
Laki-laki itu hanya menatap Juminten dengan meremehkan, sebuah senyum miring tersungging di bibirnya.
"Terus kamu mau apa? uang buat ganti rugi? Kamu cukup bilang kamu mau berapa banyak, tidak usah banyak bicara," jawab Laki-laki itu dengan wajah sombongnya.
Ia sudah banyak melihat wanita seperti Juminten, pura-pura jatuh. Pura-pura marah, minta tanggung jawab, nomer telepon, setelah itu mereka akan mencari celah untuk dekat dengannya.
Juminten mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Laki-laki sombong ini, apa yang dia pikirkan? Apa dia pikir semua masalah bisa diselesaikan dengan uang? Apa semua kesalahan bisa selesai dengan harta? Bahkan sekedar kata maaf saja tidak ia ucapkan untuk Juminten.
"Kenapa melotot?Oh ... aku tahu kau bingung kan mau bilang berapa."
Pria itu menengok ke arah sepeda onthel Juminten yang sudah di sandaran di tepi jalan, kerusakannya tidak begitu parah. Pria itu mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan tiga lembar uang merah pada Juminten.
"Ambil, ini lebih dari cukup untuk sepeda butut kamu." Juminten tidak bergeming, ia menatap semakin marah pada pria itu.
"Kurang? ok, aku bukan orang pelit." Pria itu mengambil uang lagi.
"Ini pasti cukupkan? Aku yakin sepeda itu saja, harganya tidak sampai segini."
Juminten merampas uang itu. Laki-laki itu tersenyum, benar dugaannya. Orang seperti warna dihadapannya memang mengincar uang saja.
Juminten mengangkat tangannya sampai sejajar dengan wajah pria itu, tepat di depan mata sipitnya. Juminten merobek uang itu kemudian melemparkannya ke wajah pria itu.
"Uang mu, aku tidak butuh!" tegas Juminten, sorot matanya tajam menatap pria itu.
"Wanita tidak tahu malu, masih untung aku mau kasih uang!"
"Kamu yang tidak tahu malu, udah salah nggak minta maaf! Apa kamu pikir semua bisa di beli pake uang, dasar bodoh kamu! Apa kamu nggak pernah belajar yang namanya sopan santun!" oceh Juminten.
Dylan memelototkan matanya, baru kali ini seseorang mengatainya bodoh, dan dia adalah seorang wanita dekil.
"Terus kamu mau apa?!" teriak Dylan kesal, jika saja dihadapannya ini seorang pria, Dylan akan langsung menghajarnya.
"Minta maaf padaku!"
"Cih, siapa kamu. Jangan mimpi aku melakukannya!"
"Minta maaf atau aku akan teriak sampai semua orang keluar!" kekeh Juminten, bagaimanapun ia harus memberikan pelajaran pada laki-laki sombong ini.
"Teriak saja, memang siapa yang akan datang," ujar Dylan menantangnya.
Juminten tersenyum licik.
"Tolong ....!Tolong .... aku mau di perkosa!Tolong .. Lepaskan aku tolong!" Teriakan Juminten menggema.
Jalanan itu memang sepi. Namun, masih ada beberapa rumah warga di sana. Dylan yang panik segera membekap mulut wanita itu, bisa habis di hajar warga jika ada yang datang.
"Emh ...emh!" Juminten berusaha meronta, Dylan memeluknya dari belakang dan satu tangannya membekap mulutnya.
"Diam! atau aku akan benar-benar melecehkan mu," ancam Dylan sambil berbisik.
Beraninya dia. Lihat saja.
Juminten mengigit tangan Dylan yang membekapnya, kali ini giliran Dylan yang menjerit kesakitan.
"Dasar Gila, kenapa kamu mengigit ku?!"
Dylan mengibaskan tangannya yang baru dilepaskan Juminten, gigitan yang cukup kuat. Tangan Dylan sampai memerah dengan bekas gigi Juminten yang terlihat jelas.
"Biar impas, salah sendiri nggak mau minta maaf." Juminten melenggang pergi.
Wanita itu berjalan menuju sepedanya, kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda karena laki-laki sombong itu.
"Dasar Gila, wanita gila. Jangan sampai aku bertemu dengannya lagi," Dylan menggerutu, tangannya masih terasa nyeri dan kebas karena gigitan wanita itu.
Dylan masuk ke mobil, ia juga harus segera melanjutkan perjalanannya. Sungguh hari yang sial bertemu dengan wanita rabies seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Isna Maria Prianti
tidak semua apa apa bisa dibeli pakai uang lan dylan😌
2024-04-02
0
Bzaa
Dylan ketemu lawan seimbang
2023-02-22
0
Arsyad Al Ghifari 🥰
jodohmu itu dilan 🤣🤣
2022-08-08
1