Kaki Juminten melangkah dengan tergesa-gesa, mengikuti langkah Wawan yang telah mendahuluinya.
Wawan berhenti kemudian berbicara dengan seorang laki-laki, setelahnya Wawan masuk bersama pria itu kedalam ruang rawat.
Sedangkan Juminten, gadis itu justru menghampiri seorang wanita yang tengah duduk di kursi tunggu, wajahnya terlihat sangat sedih.
"Nyonya," sapa Juminten dengan raut wajah terkejut, mungkinkah tamu yang di maksud Wawan adalah wanita itu.
Mayleen tidak menjawab, ia segera bangkit dari duduknya lalu memeluk erat Juminten. Juminten hanya diam membeku, ia bingung dengan sikap Mayleen yang tiba-tiba memeluknya.
"Benar kamu anaknya Mirna?" tanya Mayleen setelah melepaskan pelukannya.
Juminten hanya mengangguk. Mayleen menatap wajah Juminten dengan mata berkaca-kaca, ia menyentuh wajah Juminten dengan kedua tangannya. Gadis itu hanya diam, membiarkan Mayleen mengusap lembut pipinya dengan penuh kasih. Layaknya seorang Ibu yang telah lama tak berjumpa dengan sang buah hati.
Tetesan kristal bening mulai mengalir di pipi Mayleen yang masih tampak kencang, di usianya yang mulai senja.
"Ah ...Maaf aku terbawa suasana, kau pasti ingin bertemu Ibumu kan," ucap Mayleen sambil mengusap air matanya.
"Iya Nyonya," jawab Juminten kaku.
"Ayo kita masuk." Mayleen menarik lembut tangan Juminten.
Ruangan itu sangat luas, dengan fasilitas yang nyaman dan lengkap. Juminten segera mendekat sang Ibu yang masih memejamkan matanya, Anna, wawan Parman sudah ada di ruangan itu.
"Ibu," panggil Juminten lirih. Ia memegangi tangan Mirna yang terasa dingin.
"Ibumu, butuh operasi Jum," ungkap Anna.
[ "Ibumu, butuh operasi Jum," ungkap Anna. ]
"Operasi, Budhe?"
Anna mengangguk dalam, keadaan Mirna kritis. Ada penyumbatan pembuluh darah di kepala, operasi pun sebenarnya tidak menjamin Mirna bisa sembuh dari stroke. Tetapi tindakan itu harus dilakukan agar keadaan Mirna tidak semakin buruk.
Juminten memandang wajah Mirna dengan sedih, wajah itu terlihat pucat dan tua termakan oleh waktu. Di usianya yang senja dia harus menderita seperti ini.
Mayleen hanya diam, dia memberikan ruang untuk Juminten dan keluarganya. Meskipun begitu, mata Mayleen tetap lekat menatap gadis itu.
"Mau Dokter ngolek i awakmu. Budhe gupuh Jum, mrene mau ga ngowo opo-opo. KK, KTP Mirna, aku ya ga ngowo."
[ "Tadi Dokter nyari kamu, Budhe tergesa-gesa Jum, ke sini tadi tidak bawa apa-apa. KK, KTP Mirna, aku juga tidak membawanya." ]
"Inggeh Budhe."
[ "Iya , Budhe." ]
Tak, lama seorang suster masuk ke ruang rawat VIP yang di tempati Mirna.
"Apakah anak pasien sudah datang? Administrasi harus segera di selesaikan," ujar sang suster.
"Iya Sus, saya." Juminten melangkah kearah sang suster.
"Mari ikut saya."
Jump mengangguk, ia kemudian berjalan mengekor pada suster itu. Setelah beberapa saat Juminten kembali kamar rawat dengan wajah yang tertunduk lesu, raut wajahnya mengatakan gadis itu tidak sedang baik-baik saja.
"Kenapa Nak, kenapa wajahmu muram?" tanya Mayleen. Ia menyambut Juminten, mengajaknya duduk di sofa yang ada di sana.
Juminten menoleh pada wanita yang terbaring lemah diatas brankar, kemudian beralih pada wanita paruh baya yang duduk disampingnya.
"Budhe sama Pakde saya kemana, Nyonya?" tanya Juminten, setelah mengedarkan pandangannya di ruangan sepi itu.
"Aku menyuruh mereka pulang, mereka pasti lelah apalagi Budhemu masih punya anak kecil, kasihan kalau di tinggal terlalu lama," jawab Mayleen sambil mengusap rambut Juminten yang kusut.
Anna memang masih mempunyai seseorang anak umur 8 tahun, Juminten mengerti, ia tidak bisa terus-terusan merepotkan Budhenya. Selama ini dia sudah cukup merepotkan Anna dengan menitipkan Mirna saat dia berjualan.
"Nyonya, Kenapa Nyonya sangat baik kepada kami?" tanya Juminten dengan wajah tertunduk. Ia cukup bingung dengan situasi saat ini.
Ia hanya dua kali bertemu dengan Mayleen. Satu kali ia membantu Mayleen, tetapi itu bukan alasan yang cukup untuk membuat seseorang membantu Mayleen menanggung semua biaya perawatan Mirna selama di rumah sakit ini.
"Aku mengenal Ibumu, aki sudah mencarinya selama dua tahun belakangan ini, Jum," jawab Mayleen tenang.
"Nyonya kenal Ibu saya?" Mayleen mengangguk.
"Apa Nyonya salah satu majikan Ibu saya dulu?"
Mayleen menggeleng.
"Bukan, tapi aku salah satu sahabat dari majikan Ibumu."
Mirna pernah bercerita pada Juminten, dia dulu adalah seorang pembantu rumah tangga, akan tetapi dia berhenti bekerja setelah Juminten lahir. Namun, Mirna tidak pernah bercerita siapa saja majikannya, dia hanya bercerita berkerja di Yogyakarta.
"Lalu, untuk apa Nyonya mencari Ibu saya? Apa Nyonya ingin mencari keberadaan teman Nyonya itu. Maaf Nyonya, Ibu saya sudah lama tidak berkerja sebagai asisten rumah tangga. Ibu bilang sejak saya lahir dia sudah tidak berkerja sebagai asisten rumah tangga lagi dan pindah ke Surabaya ini, dan maaf saya tidak bisa menerima uang Nyonya begitu saja. Saya akan berusaha mengembalikannya, saya juga sudah bicara dengan dokter untuk memindahkan Ibu ke kamar rawat kelas 3," ujar Juminten panjang lebar.
Mayleen tersenyum, ia meraih tangan Juminten dan menggenggamnya erat. Sifat Juminten yang mandiri dan keras kepala seperti ini, sungguh sangat sama dengan seseorang yang ia kenal. Mayleen yakin dia tidak salah mengenali Juminten.
"Kita bicarakan itu nanti ya, Jum. Yang penting kita fokus dulu untuk kesembuhan Ibumu. Apa ada yang dikatakan suster padamu?" tanya Mayleen mengalihkan pembicaraan mereka.
"Operasi Ibu sudah di jadwalkan, saya hanya disuruh pulang untuk mengambil data diri Ibu," jawab Juminten.
"Kalau begitu, biar Parman saja yang mengantarkan. Sekalian juga ambil baju ganti untuk Mirna, adikmu juga belum pulang kan? nanti saja dia ke sini untuk melihat Mirna."
"Tapi Nyonya-."
"Sudah, kamu pulang dulu, ambil semua yang diperlukan. Kita bicarakan yang lainnya nanti. Okey," ucap Mayleen dengan penekanan di akhir kalimat. Ia menepuk
Mayleen tahu Juminten ingin menolak untuk diantar Parman. Meskipun merasa sungkan, Juminten menyetujui ucapan Mayleen. Tidak ada waktu untuk berdebat sekarang, operasi Mirna sudah di jadwalkan besok. Semua harus Juminten lengkapi hari ini juga. Berkat Mayleen, operasi Mirna bisa segera di jadwalkan, wanita baik hati itu membayar semua biaya yang diperlukan. Juminten hanya tinggal melengkapi data diri Mirna saja.
Juminten pun pulang dengan diantar oleh Parman, ini adalah pengalaman kedua Juminten naik mobil mewah. Setelah tadi dia menumpang mobil Dylan.
"Pak, Apa memang benar, Nyonya mencari Ibu saya?" tanya Juminten yang masih penasaran.
"Iya Nona, Nyonya Mayleen mencari Ibu Anda di Yogyakarta tahun lalu, tapi beliau tidak menemukan Ibu Anda di sana. Nyonya juga menyewa seorang detektif, hingga pada akhirnya memperoleh informasi kalau Nyonya Mirna pindah ke Surabaya, di sekitar daerah ini," jawab Parman dengan lugas.
Juminten mengangguk kecil, dia masih penasaran. Apa yang membuat Mayleen begitu ingin bertemu dengan Ibunya? yang notabenenya hanya seorang pembantu rumah tangga sahabatnya. Bukankah ia bisa langsung mencari sahabatnya itu? Kenapa harus mencari Mirna?
Berbagai pemikiran berkecamuk dalam hati Juminten. Namun, Juminten segera menepisnya. Mayleen benar, urusan yang lain bisa dipikirkan nanti, sekarang ia harus fokus pada kesehatan Mirna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Isna Maria Prianti
lanjut makkk
2024-04-02
0
Bzaa
semangat Jum💪💪💪
2023-02-22
0
Unyil_unyu
apakah juminten sebenarnya anak horang kaya Thor....????
2023-01-07
0