Keinginan Mirna

Pagi ini Juminten menyantap sarapannya dengan tidak bersemangat, memikirkan empat juta rasanya sudah membuat bulu kuduk Juminten berdiri. Lebih serem dari ketemu kunti.

Dimas menatap heran pada Tantenya itu, biasannya Juminten paling cerewet kalau Dimas tidak lekas menghabiskan sarapan. Lha ini malah kebalikan. Wanita itu terlihat lesu, dia hanya terus mengaduk nasi goreng di piring.

"Mbak, nggak dodol ta?"

[ "Mbak, nggak jualan?" ] tanya Dimas sambil menyendokan makanan ke mulutnya.

Juminten menggeleng pelan, ia menarik nafas dalam.

"Nggak, Pean ko kerjo opo ora? Aku katene ketemuan ambe koncoku, nitip Ibu ya bekne Mbak durung muleh."

[ "Nggak, kamu nanti kerja apa nggak? Aku mau ketemuan sama temenku, nitip Ibu seumpama Mbak belum pulang." ]

"Siap Mbak," jawab Dimas, remaja itu bangkit dari duduknya dengan membawa piring kotor ia pergi ke dapur.

"Awakmu jane kurir opo sih, Dim?"

[ " Kamu sebenarnya kurir apa sih, Dim?" ] tanya Juminten penasaran, apalagi Dimas di bayar cukup mahal untuk ukuran kurir.

Dimas bahkan memberi uang 100 ribu pada Neneknya, padahal remaja itu baru berkerja selama seminggu. Itupun tidak setiap hari, dia baru mengantarkan paket 3 kali saja.

"Em ... Kerajinan tangan Mbak, anterinnya harus hati-hati. Makanya mahal, udahlah Mbak yang penting kerjaan halal," jawab Dimas sambil berlalu masuk ke kamar Mirna.

Juminten pun hanya bisa menghela nafasnya, semoga saja apa yang Dimas katakan benar. Dimas keluar dari kamar Neneknya, setelah berpamitan.

"Mbak, aku berangkat dulu. Assalamualaikum." Dimas meraih tangan Juminten yang masih basah.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati."

"Iya Mbak," sahut Dimas.

Juminten masuk ke kamar Mirna, Ia kemudian duduk dipinggir ranjang. Dengan lembut, Juminten memijat kaki Mirna. Kedua mata sayu mirna menatap lekat pada gadis yang sedang duduk di depannya.

Andai dia bisa bicara, banyak kata yang ingin Mirna ucapan.

"Emh ... Egh ..." Mirna berusaha bicara, tetapi hanya suara itu yang ia keluarkan.

"Wonten nopo Bu, mau apa? Minum?"

Juminten yang tadinya fokus memijit kaki Mirna, menoleh.

[ "Ada apa Bu, mau apa? Minum?" ]

Mirna menggeleng pelan. Ia masih berusaha mengerakkan lidahnya, tetapi tetap saja tak ada kata jelas yang terucap.

Mata bening Juminten menatap sang Ibu dengan sendu, rambut beliau sudah memutih, pipinya sangat tirus. Penyakit ini sudah benar-benar sudah menggerogoti raganya. Dulunya Mirna merupakan perempuan yang berparas cantik, meski dia seorang.

Kini semua luntur, seiring berjalannya waktu. Di tambah tekanan batin atas kepergian anak berserta sang suami dalam satu waktu.

"Bu sepurane, Jum mboten ngerti. Ibu pengen apa?"

[ "Bu maaf, Jum nggak ngerti Ibu pengen apa?" ]

Mirna terus berusaha mengerakkan bibirnya, mencoba untuk mengatakan sesuatu. Juminten menatap bingung, ia tahu Ibunya ingin mengatakan sesuatu.

Nafas Mirna tersengal, tenaganya seolah terkuras karena berusaha untuk bicara. Juminten segera meraih air diatas nakas.

"Ibu tenang ya." Juminten mengusap lembut lengan Mirna. Dengan perlahan ia mengarahkan sedotan ke mulut ibunya.

Mirna mengangguk, ia menyesap air melalui lubang kecil sedotan plastik berwarna putih itu. Air membasahi tenggorokan Mirna, nafas wanita itu berangsur tenang.

"Jum, ngerti Ibu kepingin ngomong sama Jum. Sabar ya Bu, sebentar lagi Ibu pasti sembuh, nanti Ibu bisa ngomong sepuasnya," ujar Juminten sambil tersenyum. Sebuah senyum tulus untuk sang Ibu.

Mirna pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kedua wanita itu sama-sama tahu, kesembuhan itu sesuatu yang jauh untuk mereka raih. Selama ini mereka hanya pergi ke puskesmas untuk berobat, untuk ke dokter spesialis atau terapi rutin Juminten masih belum bisa. Ekonomi adalah alasannya, Juminten harus bekerja sendirian menyekolahkan Dimas sekaligus untuk pengobatan Mirna.

Juminten memeluk tubuh kurus Mirna, mengusap lembut punggung wanita itu.

"Bu, Juminten pamit sek ya. Arep metu diluk, enek urusan," pamit Juminten setelah melepaskan pelukannya.

[ "Bu, Juminten pamit dulu ya, mau keluar sebentar, ada perlu," Pamit Juminten setelah melepaskan pelukannya. ]

Mirna mengangguk. Juminten meraih tangan kecil yang kurus itu, kemudian menciumnya dengan takzim. Wanita itu pun melangkah keluar, setelah menutup pintu rumah Juminten pergi rumah bercat hijau.

"Assalamualaikum, Mbak Ana!" panggil Juminten.

"Wa'alaikumsalam!" Sahut seorang wanita dari dalam rumah.

Tak lama seorang wanita bertubuh subur keluar, wanita yang memakai daster merah itu tersenyum melihat Juminten.

"Lapo Jum?" tanya Mbak Ana.

[ "Ada apa Jum?" tanya Mbak Ana. ]

"Mbak, aku nitip Ibu ya. Tolong sampean inguk," jawab Juminten.

[ " Mbak, aku nitip Ibu ya. Tolong di lihat sebentar," Jawab Juminten. ]

"Iya. tenang ae, ko tak inguk e."

[ "Iya, tenang saja, nanti aku lihat." ]

Juminten tersenyum lega.

"Matur suwun nggeh, Mbak Ana," ujar Juminten tulus.

[ "Terima kasih ya. Mbak Ana," ujar Juminten tulus. ]

Ana masih saudara dengan Mirna, mereka saudara sepupu. Juminten sering meminta tolong pada budhenya itu.

Setelah itu, Juminten segera pergi ke jalan besar mengunakan sepeda. Ia melanjutkan perjalanan dengan naik mikrolet, Alamat yang di kirimkan si empunya mobil cukup jauh. Bisa kemalaman di jalan, kalau Juminten harus mengayuh sepeda sampai ke sana.

.

.

.

.

.

"Kafe Bulan... Cafe Bulan," gumam Juminten sambil mengurut jajaran gedung yang ada di hadapannya.

Akhirnya Juminten menemukan kafe itu. Dengan langkah ragu, Juminten masuk ke gedung mewah itu. Juminten bingung, siapa yang akan dia temui di sana.

Telepon seluler Juminten berdering, wanita itu segera mengambil dan menggeser logo hijau di layar pipih yang telah retak itu.

"Halo, Saya sudah sampai di Kafe," ucap Juminten cepat, bahkan sebelum si penelepon sempat mengucapkan halo.

"Apakah Anda memang topi merah?"

"Iya."

"Tolong lihat ke arah kanan."

Juminten segera menoleh, seorang pria memakai jas rapi berdiri tak jauh darinya. Juminten mengangguk, ia segera mematikan ponsel dan berjalan cepat menuju meja pria itu.

"Silahkan duduk," Ujar laki-laki itu dengan sangat sopan.

"Iya," jawab Juminten canggung. Ia pun duduk di kursi yang ada dihadapan pria itu.

"Apa Anda mau minum sesuatu Nona?"

"Tidak, terima kasih."

Kafe semewah ini, mana mampu Juminten membeli minuman di situ, meskipun tenggorokannya terasa kering. Lebih baik uangnya ia tabung dari pada dihamburkan untuk segelas minuman.

Raka tersenyum, ia melambaikan tangan untuk memanggil pramusaji di kafe itu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pramusaji itu dengan ramah.

"Tolong segelas lemon tea untuk Nona ini."

"Eh ... Nggak, Mbak saya nggak pesen!" tegas Juminten. Ia menggoyangkan ke sepuluh jarinya, dengan raut wajah cemas.

"Saya yang akan bayar. Nona tidak usah khawatir," ucap Raka.

"Tapi Pak saya-."

"Tolong buatkan saja sesuai pesanan," potong Raka cepat.

"Baik, Mohon tunggu sebentar." Pramusaji itu pun berlalu.

Juminten tersenyum kikuk, ia tidak menyangka pria yang ia rusak mobilnya sebaik ini. Sebuah ide terbersit di benak Juminten, mungkin dia bisa meminta keringanan untuk pembayaran uang ganti rugi mobilnya.

"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih sudah mentraktir saya minum. Kalau bisa kita langsung saja ke inti dari pertemuan ini," ucap Juminten. Gadis itu tidak bisa meninggalkan ibunya lebih lama.

Entah kenapa Juminten terus merasa gelisah, ia harus segera menyelesaikan masalahnya dengan bapak ini.

"Baik." Raka mengeluarkan secarik kertas dari tas kerjanya, lalu memberikannya pada Juminten.

Juminten menerima kertas itu dengan tangan gemetar, rasanya seperti menerima rapot setelah ujian nasional, mendebarkan.

"Ini adalah bukti pembayaran dari bengkel tempat kami melakukan perbaikan, dan seperti yang Anda lihat. Jumlahnya seperti yang saya informasikan pada Anda kemarin, empat juta rupiah."

Mata Juminten tak bisa berkedip, menatap ke angka yang tertulis di kertas panjang itu.

Terpopuler

Comments

Bzaa

Bzaa

orang baik pasti dikelilingi orang2 baik, semoga ada yg membantu mbak jum

2023-02-22

0

Rini Haerani

Rini Haerani

Moga aza JUM ada yg nolongin bayar

2022-09-28

0

lihat semua
Episodes
1 Goresan Cinta.
2 Keinginan Dimas
3 Familiar
4 Gigitan sayang
5 4 Juta
6 Keinginan Mirna
7 Pertemuan kedua
8 Firasat
9 kritis
10 Tamu tak terduga
11 percepatan rencana
12 Menantu pilihan
13 Perdebatan
14 Terpaksa
15 Penawaran Dylan
16 Merajuk
17 Hampir
18 Izin Jessica
19 Bertemu Jessica
20 Tanda tangan
21 Cantik
22 Terpesona
23 Mendadak sah
24 Sendiri
25 Jawaban
26 Hadiah
27 Maling cilok
28 ke pasar
29 Fobia
30 Perhatian Mayleen
31 Gagal
32 Sebagai Teman
33 Di percepat
34 Pesta
35 Bali
36 Pantai
37 Heru Prasetyo
38 Pulang
39 Terpaksa
40 Makan siang
41 Gol ..!!!!!
42 Pusing
43 Bibit premium Lho!
44 Apa mau mu?
45 Kukang
46 Kembali berdua
47 Meleset
48 Makan siang bersama
49 Sakit
50 Bodoh
51 Bertemu
52 Pulang
53 Bukan
54 Ke rumah Mama
55 Konferensi pers
56 kesempatan
57 Saran
58 Waspada
59 Kanda
60 Penasaran
61 Mari berpisah
62 Tak bisa bersama
63 Belum saatnya
64 Aku mencintaimu
65 Manjat
66 Bahagia
67 Wo ai Ni, season 2
68 Bab 2
69 Bab 3
70 Bab 4
71 Bab 5
72 Bab 6
73 Bab 7
74 Bab 8
75 Bab 9
76 Bab 10
77 Bab 11
78 Bab 12
79 Bab 13
80 Bab 14
81 Bab 15
82 Bab 16
83 Bab 17
84 Bab 18
85 Bab 19
86 Bab 20
87 Bab 21
88 Bab 22
89 Bab 23
90 Bab 24
91 Bab 25
92 Bab 26
93 Bab 27
94 Bab 28
95 Bab 29
96 Bab 30
97 Bab 31
98 Bab 32
99 Bab 33
100 Bab 34
101 Bab 35
102 Bab 36
103 Bab 37
104 Bab 38
105 Bab 39
106 Bab 40
107 Bab 41
108 Bab 42
109 Bab 43
110 Bab 44
111 Bab 45
112 Bab 46
113 Bab 47
Episodes

Updated 113 Episodes

1
Goresan Cinta.
2
Keinginan Dimas
3
Familiar
4
Gigitan sayang
5
4 Juta
6
Keinginan Mirna
7
Pertemuan kedua
8
Firasat
9
kritis
10
Tamu tak terduga
11
percepatan rencana
12
Menantu pilihan
13
Perdebatan
14
Terpaksa
15
Penawaran Dylan
16
Merajuk
17
Hampir
18
Izin Jessica
19
Bertemu Jessica
20
Tanda tangan
21
Cantik
22
Terpesona
23
Mendadak sah
24
Sendiri
25
Jawaban
26
Hadiah
27
Maling cilok
28
ke pasar
29
Fobia
30
Perhatian Mayleen
31
Gagal
32
Sebagai Teman
33
Di percepat
34
Pesta
35
Bali
36
Pantai
37
Heru Prasetyo
38
Pulang
39
Terpaksa
40
Makan siang
41
Gol ..!!!!!
42
Pusing
43
Bibit premium Lho!
44
Apa mau mu?
45
Kukang
46
Kembali berdua
47
Meleset
48
Makan siang bersama
49
Sakit
50
Bodoh
51
Bertemu
52
Pulang
53
Bukan
54
Ke rumah Mama
55
Konferensi pers
56
kesempatan
57
Saran
58
Waspada
59
Kanda
60
Penasaran
61
Mari berpisah
62
Tak bisa bersama
63
Belum saatnya
64
Aku mencintaimu
65
Manjat
66
Bahagia
67
Wo ai Ni, season 2
68
Bab 2
69
Bab 3
70
Bab 4
71
Bab 5
72
Bab 6
73
Bab 7
74
Bab 8
75
Bab 9
76
Bab 10
77
Bab 11
78
Bab 12
79
Bab 13
80
Bab 14
81
Bab 15
82
Bab 16
83
Bab 17
84
Bab 18
85
Bab 19
86
Bab 20
87
Bab 21
88
Bab 22
89
Bab 23
90
Bab 24
91
Bab 25
92
Bab 26
93
Bab 27
94
Bab 28
95
Bab 29
96
Bab 30
97
Bab 31
98
Bab 32
99
Bab 33
100
Bab 34
101
Bab 35
102
Bab 36
103
Bab 37
104
Bab 38
105
Bab 39
106
Bab 40
107
Bab 41
108
Bab 42
109
Bab 43
110
Bab 44
111
Bab 45
112
Bab 46
113
Bab 47

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!