Rahma menjatuhkan tubuh di atas kursi kerja miliknya, waktu menunjukkan pukul dua belas tepat. Suasana siang hari yang begitu terik membuat Rahma beberapa kali mengusap keringat di kening dan ujung hidungnya setelah keluar dari aula memberikan materi tentang pengenalan profil pancasila kepada para peserta didik baru.
Dia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kantor dengan tatapan yang semu. Suasana ruang guru masih sepi karena sebagian besar guru sedang berada di ruang rapat untuk persiapan perkemahan Jumat, Sabtu, Minggu yang akan diikuti seluruh peserta didik baru dan sebagian lagi masih berada di aula membersamai anak-anak pengurus OSIS.
Pikiran Rahma menerawang, karena tiba-tiba bayangan Anggara melintas di pikirannya. Setelah resepsi pernikahan Maya selesai Anggara memutuskan untuk menginap di rumah kedua orang tua Rahma. Kamar pribadi Rahma yang dulu ditempatinya di rumah itu masih sama karena sang ibu sengaja membiarkannya agar Rahma bisa tetap menggunakannya saat pulang. Kendatipun demikian setiap hari ibunda Rahma selalu membersihkan kamar itu hingga tampak begitu terawat.
Rahma tetap saja merasa gugup jika harus berduaan dengan Anggara. Apalagi dari sikap dan tatapannya kini Anggara terasa berbeda. Walaupun mereka tidur terpisah seperti sebelumnya tetapi berada dalam satu ruangan terasa berbeda bagi Rahma. Sempat terlintas di benaknya, mungkinkah suaminya itu berubah pikiran? mungkinkah di hati Anggara sudah ada cinta untuknya?
Rahma menautkan setiap peristiwa yang terjadi selama kebersamaan mereka kemarin. Mulai dari Anggara yang bersikap seperti suami yang cemburu ketika dirinya diperhatikan laki-laki lain saat resepsi Maya, hingga Anggara yang bersikap perhatian bahkan terhadap hal kecil sekalipun seperti menanyakan apakah Rahma haus atau tidak.
Anggara bahkan membawakan makanan untuk Rahma tanpa diminta, membuat Rahma heran dengan sikap suaminya itu karena tidak terbiasa dengan perhatiannya.
Flash back
"Terima kasih, Mas" ucap Rahma saat menerima makanan yang sengaja dibawanya dari salah satu stand dessert.
"Heummh" jawab Anggara sambil memasukan satu suapan buah potong ke mulutnya. Dia pun duduk di kursi kosong di samping Rahma, saat ini mereka tengah beristirahat setelah mengganti kedua orang tua Rahma mendampingi mempelai pengantin di pelaminan.
"Lusa aku ada dinas luar, mungkin sekitar dua minggu aku akan berada di Papua" Anggara memulai obrolannya dengan Rahma sambil menikmati setiap suapan potongan buah yang terasa segar di mulutnya,
"Iya Mas" jawab Rahma, bingung harus menanggapi apa. Pasalnya untuk pertama kalinya Anggara memberitahu Rahma perihal agenda kegiatannya, Rahma bahkan berpikir keras kenapa tiba-tiba suaminya itu berubah.
"Tolong kirim rekening kamu, aku akan mentransfer uang bulanan untukmu mulai sekarang" lanjut Anggara yang semakin membuat Rahma terperangah, sejak pertama kali menikah hingga beberapa bulan telah berlalu baru kali ini Anggara membahas tentang uang bulanan,
Selama ini Rahma tidak mempermasalahkan hal itu. Penghasilannya sebagai guru cukup untuk Rahma memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kesepakatan di awal pernikahan baginya menjadi catatan jika dia tidak akan berharap banyak pada suaminya itu, termasuk masalah nafkah lahir.
"Kenapa?" tanya Rahma polos,
"Kenapa apanya?" Anggara balik bertanya,
"Kenapa tiba-tiba mas mau memberiku uang bulanan?" Rahma pun memperjelas pertanyaannya,
"Memangnya perlu alasan untuk seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya?" ujar Anggara yang membuat Rahma semakin terperangah,
"Lalu kenapa baru sekarang?" balas Rahma yang masih menatap dalam suaminya yang malah asik menikmati buah potong yang ada di hadapannya,
"Belum terlambat kan? sudahlah, kirimkan saja nomor rekeningmu. Aku akan mentransfernya sekarang, sekaligus dengan bulan-bulan sebelumnya"
"Hah? tidak usah mas, bulan sebelumnya semua keperluanku sudah terpenuhi, lagian sudah berlalu juga" tolak Rahma dengan alasan serealistis mungkin,
"Terserah padamu mau digunakan untuk apa, yang penting aku sudah mengirimkannya. Melaksanakan kewajibanku untuk menafkahi kamu, memenuhi kebutuhanmu. Cepatlah kirimkan nomor rekeningmu" Anggara berkata tegas. Entah apa yang merasukinya, saat ini Anggara bersikap seperti seorang suami pada umumnya.
Rahma pun merogoh ponsel yang berada dalam tas selempangnya tidak ingin menjadi perdebatan dia pun mengirimkan nomor rekeningnya ke nomor Anggara.
Ting....tidak menunggu waktu lama, Rahma menerima notifikasi di ponselnya, menandakan jika transferan Anggara sudah masuk.
"Mas....ini tidak salah?" Rahma membulatkan matanya saat melihat nominal uang yang dikirim Anggara ke nomor rekeningnya,
"Kenapa? kurang?" tanya Anggara menantang,
"Hah? tidak tidak, justru aku rasa ini terlalu besar" jawab Rahma jujur, bagaimana tidak, nominal uang yang dikirim Anggara sangat besar menurutnya hampir lima kali lipat gajinya sebagai guru, tentu hal ini membuat Rahma semakin tak tentu rasa dan pikirannya.
Sementara Anggara hanya mengulum senyum saat melihat reaksi sang istri yang begitu kaget menerima kiriman uang yang menurutnya tidak seberapa. Selama ini Anggara biasanya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membayar sekali belanja kekasihnya. Dia bahkan menyediakan kartu khusus untuk digunakan kekasihnya. Sungguh pemandangan kontras yang Anggara lihat saat ini.
Pekerjaan Anggara sebagai polisi adalah cita-citanya, dia ingin mengikuti jejak sang ayah yang begitu gagah dan berwibawa di matanya saat mengenakan baju kebesarannya. Kedua orang tua Anggara tidak bisa menghalangi keinginan Anggara itu, walau pun sebenarnya sang ibu menginginkan jika putra semata wayangnya itu menjadi seorang pengusaha seperti dirinya.
Beberapa supermarket yang merupakan perusahaan turun temurun dari keluarga sang ibu kini masih berada di bawah pengelolaan ibunya karena Anggara tidak bersedia melanjutkan estafet kepemimpinan di perusahaan itu, dia lebih memilih menjadi seorang polisi karena terinspirasi oleh sang ayah. Maka tidak heran jika pundi-pundi rupiah yang dimiliki Anggara tidak pernah berkurang.
"Terima kasih Mas, semoga rezeki mas semakin berlimpah dan berkah" akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulut Rahma, menerima pemberian suaminya sebagai nafkah yang merupakan sebuah kewajiban untuk dipenuhi suaminya.
Walau bagaimana pun kewajiban memenuhi nafkah adalah tugas suami dan Rahma tidak mau menghalangi Anggara dalam melaksanakan tugasnya.
"Aamiin" Anggara pun mengamini do'a Rahma yang terdengar tulus di telinganya, hatinya menghangat saat mendengar ungkapan do'a dari istrinya, terasa damai dan menenangkan. Anggara tidak mengerti mengapa dia selalu merasa nyaman saat bersama Rahma.
"Kebakaraaaaan....." teriakan Lisna di depan wajahnya membuat Rahma terlonjak kaget, saking antengnya melamun dia tidak menyadari jika Lisna dan beberapa guru sudah berada di ruangan tempatnya berada saat ini.
"Astaghfirulloh, Lisna....kamu bikin kaget saja" sentak Rahma yang benar-benar kaget dengan teriakan sahabatnya itu, dia sampai menyebut nama Lisna tanpa panggilan Bu saking kagetnya.
"Hahaha......" tawa Lisna pecah begitu pun dengan guru lain yang melihat kekagetan Rahma turut tertawa karena merasa lucu,
"Habis dari tadi kita salam gak di jawab, anteng aja melamun. Tidur aja sekalian" ejek Rahma dengan tawa yang masih tak tertahankan,
"Bu Rahma anteng banget ngelamunnya, ngelamunin apa sih Bu sampe segitunya?" sahut guru lain yang diakhiri kekehan,
"Ibu masih belum move on dari liburannya ya? hehe...."sela guru lainnya,
"Aah...kalian bisa saja. Saya habis dari aula merasa capek dan ngantuk mau coba tidur malah kebawa ngelamun, hehe ..." kilah Rahma dengan wajah merona karena merasa malu,
"Ada apa? di rumah aman kan?" Lisna sudah kembali ke mode seriusnya, dia bertanya pelan agar tak ada yang mendengarnya.
Lisna tahu jika sahabatnya pasti sedang ada masalah, lama mengenal Rahma membuat dirinya faham betul bagaimana sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, semuanya baik-baik saja" jawab Rahma dengan menampilkan senyum manisnya,
"Oya, tadi kamu dipanggil ke kantor yayasan ada apa?" Lisna mengalihkan pembicaraan, dia baru ingat jika setelah upacara seharusnya Rahma mengikuti rapat persiapan perkemahan, tapi urung karena penjaga sekolah yang tiba-tiba memanggilnya untuk segera ke kantor yayasan atas perintah kepala sekolah yang tak lain adalah Regi.
"Tadi aku kena teguran karena menerima hadiah oleh-oleh liburan dari siswa" jawab Rahma jujur,
"Hah, teguran? kenapa?" tanya Lisna penasaran,
"Iya, hadiah termasuk gratifikasi. Pak Tama bilang jangan sampai hal itu menjadi kebiasaan yang pada akhirnya merusak citra sekolah dan yayasan. Apalagi kita sebagai lembaga pendidikan harus menjadi pelopor untuk tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apapun" jelas Rahma menyampaikan kembali apa yang disampaikan Tama saat dirinya dipanggil ke kantor yayasan,
"Cihh ... kita kan gak minta, lagian itu kan bentuk apresiasi murid sama gurunya" asumsi Lisna,
"Tapi tidak menurut hukum, kata Pak Tama" sahut Rahma, dia membuka botol minum yang dibawanya dari rumah lalu meneguknya isinya yang tinggal seperempatnya lagi,
"Haus Bu? bilang dong" ejek Lisna, dia kembali tertawa melihat tingkah sahabatnya itu sembari menyodorkan botol air mineral baru yang dibawanya dari ruang rapat.
"Terima kasih, bestie ..." ucap Rahma sambil mengerlingkan satu matanya,
"Terus hadiahnya disita dong? atau dibalikin?" Lisna masih penasaran perihal hadiah yang diterima Rahma dari salah satu murid mereka,
"Enggak, untuk sekarang Pak Tama mengizinkan aku untuk menerimanya tapi tidak untuk selanjutnya" jawab Rahma,
"Emang apa hadiahnya?
"Ini" Rahma menunjuk bungkusan yang ada di hadapan mereka berdua, Lisna pun penasaran dan mengambilnya,
"Boleh aku buka?" tanya Lisna meminta izin namun tangannya sudah bergerak membuka bungkusan kotak persegi panjang itu. Rasa penasarannya sangatlah besar, untunglah Rahma menjawabnya dengan menganggukan kepalanya.
"Woowww, amazing keren banget, cantik, jadi pingiinnnn...." Lisna menggenggam jam tangan itu sambil menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, Rahma hanya tersenyum melihatnya.
"Kamu tahu berapa harga jam tangan merk ini?" tanya Lisna antusias,
"Enggak" Rahma menggelengkan kepalanya,
"Bentar, kita cek update harga terkininya" Rahma merogoh ponsel di saku baju semi balzernya, jarinya menari-nari di atas layar benda pipih itu, mulai berselancar mencari informasi yang dibutuhkannya.
"Nih" Lisna menyodorkan ponselnya ke hadapan Rahma,
"Hah, gak salah ini" harga yang cukup fantastis menurut Rahma untuk sebuah jam tangan, biasanya dia hanya membeli jam tangan yang harganya kurang dari lima ratus ribu, itu pun jarang karena dirinya hanya membeli lagi jika miliknya sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Tapi jam tangan yang saat ini ada di depan matanya sungguh berharga fantastis untuk ukuran Rahma,
"Pantas saja Pak Tama tadi berbicara begitu" batin Rahma yang tiba-tiba teringat ucapan Tama saat dirinya bilang akan mengembalikan jam tangan ini.
"Untuk sekarang aku akan memberikan toleransi, terimalah hadiah itu tapi tidak untuk ke depannya. Sepertinya kamu sangat berharga bagi anak itu, kasihan dia jika kamu menolaknya"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Tinaristina
yaps berharga u anak it dan berharga jg u pa Tama kan ea kn kn kn🤗
2022-09-02
1