Acara graduasi siswa kelas akhir pun telah usai tepat pukul satu siang. Rahma dengan buru-buru menuju mushala karena belum melaksanakan shalat dzuhur.
Di saat yang bersamaan, Tama sang ketua yayasan pun tengah memasuki mushala.setelaj sebelumnya dia mengantarkan tamu kehormatan yang diundang pihak yayasan.
Tama memerhatikan semua gerak gerik Naura yang terlihat sangat terburu-buru, dia pun melihat jam yang melingkar di tangannya sudah hampir setengah dua pantas saja dia begitu buru-buru, rupanya adzan dzuhur sudah terlalu lama terlewati. Tama pun menuju tempat wudhu pria.
"Kamu mau menghadap Pak Tama sekarang?" Lisna yang menyusul Rahma ke Mushala pun bertanya saat mendapati sahabatnya itu sudah selesai dengan kewajibannya, sementara dirinya baru saja akan mengenakan mukena.
"Nanti atuh, aku lapar kita makan dulu ya. Setidaknya aku perlu energi untuk menghadapi kenyataan yang akan terjadi beberapa saat ke depan" jawab Rahma penuh dramatis,
"Haha....memangnya kamu mau diapain sama ketua yayasan ganteng itu?" ejek Lisna dengan tawa masih tersisa di bibirnya.
"Siapa tahu aku akan dipecat karena tidak profesional, jadi harus siap-siap karena butuh energi yang cukup untuk menerima kenyataan." Rahma kembali menjawab pertanyaan Lisna dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin.
"Ishhh...enak aja, masa kesiangan sedikit langsung main pecat, gak lucu!" gerutu Lisna dengan wajah cemberut.
"Sudah-sudah sekarang cepet shalat, aku sudah lapar banget nih" titah Rahma yang sudah membuka mukena dan kembali menyimpannya di tempat sebelumnya, dia pun terkekeh melihat ekspresi wajah sahabat sekaligus teman sejawatnya itu.
Rahma dan Lisna pun keluar bersamaan dari masjid sekolah, Rahma memakai sepatunya dan langsung berjalan ke arah ruang guru diikuti oleh Lisna. Tanpa mereka sadari Tama memperhatikan mereka dari sudut lain masjid itu. Bahkan dia sempat mendengar dengan jelas obrolan Rahma dan Lisna karena keadaan Masjid yang sudah sepi.
"Naura Rahmania...." gumamnya pelan, menatap kepergian Rahma yang semakin menjauh dari jangkauan pandangannya.
"Alhamdulillah, kenyang....." Lisna mengusap perutnya setelah menikmati sepiring nasi putih dengan lengkap dengan lauk pauknya. Dia kembali menatap Rahma yang masih menikmati dessert dengan santainya, tidak ada sedikitpun raut kekhawatiran atau ketegangan di wajahnya dia tampak biasa saja padahal setelah ini dia harus menghadap ketua yayasan .
Ting....pemberitahuan pesan masuk di ponsel Rahma mengalihkan fokusnya, dia mengambil ponsel yang di simpan di atas meja di hadapannya. Anggara.
"Jika sudah selesai, cepatlah pulang ada yang mau aku bicarakan"
pesan singkat dari suaminya membuat Rahma mempercepat makan hidangan penutup itu, segera mengetik balasan dari pesan suaminya itu.
"Baik" jawabnya singkat,
"Kenapa?" perubahan tingkah laku Rahma membuat Lisna tertarik untuk bertanya,
"Suamiku menyuruhku segera pulang jika.sudah selesai" jawan Rahma jujur, dia kembali menyimpan ponselnya dan mengambil tisu untuk mengelap mulutnya yang sudah selesai menghabiskan dessert itu.
"Kamu harus menemui dulu Pak Tama, biar gak menambah daftar kesalahan" saran Lisna pada sahabatnya,
"Iya, sekarang aku akan ke kantornya" Rahma pun beranjak dari tempatnya duduk, dia bersiap merapikan sedikit jilbabnya sebelum menuju kantor ketua yayasan.
"Selamat berjuang!" pekik Lisna sebelum sahabatnya itu pergi, dan dibalas dengan acungan kepalan tangan oleh Rahma sambil berlalu. Beberapa guru lain tampak melihat ke arah mereka karena pekikan Liani yang cukup keras saat menyemangati Rahma.
Sampainya di depan kantor ketua yayasan, Rahma menghentikan langkahnya. Sejenak dia menenangkan diri, menarik nafas panjang menghilangkan kegugupan di dadanya. Sebenarnya sejak tadi hatinya tidak tenang, pikirannya terus berputar memikirkan berbagai kemungkinan apa yang akan disampaikan ketua yayasannya setelah kejadian tadi pagi.
Rahma harus menyiapkan diri dengan berbagai kemungkinan, termasuk jika dipecat. Dia harus bersiap segera mencari pekerjaan di tempat lain untuk menunjang kehidupannya. Pasalnya setelah sebulan menikah dia tetap tidak pernah menggunakan uang yang diberikan suaminya. Entahlah setelah tahu misi yang sebenarnya Anggara menikah dengannya sejujurnya membuat hatinya hancur, Rahma bertekad untuk sebisa mungkin tidak menanggungkan kehidupannya pada suaminya, termasuk dalam hal kebutuhan sehari-hari.
"Mau bertemu siapa Bu?" seorang petugas kebersihan yang baru keluar dari kantor yayasan menyapanya dengan ramah.
"Saya mau menemui Pak Tama, Pak. Beliau tadi meminta saya menemuinya di ruangannya" jawab Rahma apa adanya.
"Mangga Bu, silahkan. Pak Tama ada di ruangannya" jawab petugas kebersihan itu dengan sopan.Rahma pun mengangguk dan membuka pintu kaca besar kantor yayasan itu.
Dia melihat ke sekeliling, tampaknya tidak ada orang di kantor itu. Sepertinya semua pegawai yayasan turut menikmati acara akhir graduasi yang masih digelar, yaitu acara yang lebih santai.
"Assalamu'alaikum" Rahma mengucapkan salam dengan agak keras, berharap ada orang di sana dan mendengar ucapan salamnya
Ceklek... suara pintu ruangan yang di pintunya bertuliskan Ruang Ketua Yayasan pun terbuka. Seseorang nan gagah dan tampan keluar dari ruangan itu dengan wajah datar.
"Wa'alaikumsalam" jawabnya menatap Rahma dengan tatapan yang sulit diartikan hingga membuat gadis itu tetap berdiri mematung ditempatnya.
"Duduklah, aku mau bicara" Rahma pun berjalan ke arah sofa yang ditunjukkan Tama, mereka kini duduk berhadapan. Masing-masing duduk di sofa single dan terhalang oleh meja yang cukup panjang.
"Maafkan atas keteledoran saya tadi pagi Pak, saya tidak sengaja terlambat. Untuk ke depannya saya akan berusaha untuk selalu tepat waktu datang ke sekolah" Rahma lebih dulu membuka percakapan, dia kembali membahas kesalahannya tadi pagi yang datang kesiangan karena urusan pribadi.
Tama masih diam, diam terus memandangi Rahma yang berbicara dengan menundukkan kepalanya. Siap menerima apapun konsekuensi dari kesalahannya.
"Hanya itu yang ingin kamu jelaskan?" tanya Tama masih dengan suara datar.
Rahma mendongak, melihat ke arah Tama yang ternyata masih menatapnya. Pandangan mereka pun bertemu, membuat Tama semakin menikmati pemandangan indah itu. Wajah ayu dan cantik seorang Naura Rahmania tampak natural tanpa polesan make up selepas dia berwudhu untuk shalat dzuhur tadi.
"Maksud Bapak?" tanya Rahma bingung dengan ucapan atasannya itu.
"Naura, benarkah kamu tidak ingat aku?" susul Tama dengan pertanyaan lainnya.
"Sekarang kita sedang berdua aku harap kamu bisa bersikap selayaknya kita teman, bukan atasan dan bawahan. Jujur aku penasaran dengan ucapan kamu tadi pagi. Kamu mengatakan jika suamimu pulang. Benarkah kamu sudah menikah? kapan? aku mengikuti setiap perkembangan kehidupan kamu dan aku sudah menentukan waktu yang tepat untuk memintamu pada kedua orang tuamu. Tapi apa yang kudengar tadi pagi membuatku syok, tapi aku berusaha tidak percaya. Tolong jelaskan, kuharap dugaanku salah" Tama berbicara panjang lebar, dia mengungkapkan apa yang ada di hatinya saat ini.
Rahma menarik napasnya dalam, mengisi setiap rongga di paru-parunya agar dapat dengan tenang berbicara menanggapi apa yang disampaikan atasannya itu.
"Pertama-tama saya mohon maaf Pak, saya masih bingung kenapa saya harus menganggap Bapak teman, sementara saya tidak mengenal Bapak sebelumnya" Rahma menjeda ucapannya melihat respon Tama yang masih menatapnya dengan wajah datarnya, dia pun berbicara dengan menatap Tama. Memberanikan diri untuk mengingat sebenarnya siapa laki-laki yang ada di hadapannya ini.
"Kita pernah satu sekolah dulu di SMP" jawab Tama singkat hingga masih meninggalkan tanda tanya besar dibenak Rahma.
"Maaf Pak saya tidak ingat kalau kita pernah satu sekolah" Rahma jujur, setelah pikirannya melayang ke beberapa tahun silam dia sungguh tak kunjung menemukan ingatan tentang laki-laki di hadapannya itu.
"Lalu benarkah kamu sudah menikah?" Tama mengulangi pertanyaan utamanya.
"Iya Pak, saya sudah menikah?" jawab Rahma jujur.
Deg ..... tiba-tiba hati Tama merasakan sakit, lututnya lemas mendengar jawaban jujur Rahma.
"Kapan?" tanyanya lesu
"Sebulan yang lalu Pak, mohon maaf saya tidak mengundang Bapak, guru juga hanya sebagian yang datang. Acaranya mendadak, awalnya hanya mau khitbah tapi kesepakatan dua keluarga memutuskan kami untuk langsung menikah" jelas Rahma memberitahu Tama keadaan yang sebenarnya.
"Kamu tega Naura!" gumam Tama pelan dengan suara yang sedikit bergetar namun masih terdengar oleh Rahma. Tama menunduk menyembunyikan wajahnya saat mengatakan kalimat itu.
"Maaf Pak, maksud Bapak?" Rahma memberanikan menanyakan maksud ucapan atasannya itu.
Tama mendongak, menatap Rahma dengan mata memerah karena menahan tangis. Rahma semakin dibuat heran oleh sikap Tama.
"Aku sudah lama menyukaimu Naura, aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk memintamu kepada kedua orang tuamu. Sudah lama aku menyukaimu, aku tertarik padamu hanya saja saat itu aku belum berani mengungkapkannya karena masih memastikan kesungguhan perasaanku. Sekarang aku sudah siap, siap menunjukkan perasaanku padamu yang sesungguhnya tapi ternyata takdir tidak memihakku" Rahma melongo mendengar pengakuan Tama, dia sungguh tidak menyangka jika dirinya dicintai begitu dalam oleh seorang laki-laki yang katanya mengenalnya sudah lama padahal sungguh Rahma tidak bisa mengingat tentang laki-laki yang ada dihadapannya itu yang mengatakan sudah hadir di masa lalunya.
Tama menutup wajahnya, menyeka air mata yang hampir saja keluar dari sudut matanya. Matanya semakin memerah menahan segala rasa yang ada di hatinya saat ini.
"Maafkan saya Pak, sungguh saya tidak mengerti dengan semua ini" ucap Rahma jujur, dia bingung dengan kenyataan yang dihadapinya saat ini. Menghadapi seorang laki-laki yang terlihat begitu terluka karena pernikahannya.
"Siapa laki-laki itu?" tanya Tama dengan suara masih sedikit bergetar.
"Maksud Bapak?"
"Suami kamu" jelas Tama cepat,
"Suami saya seorang polisi, saat ini dia bertugas di Polda Jawa Barat" jawab Rahma.
"Kenapa secepat itu kalian menikah?" tanya Tama masih dengan kepala tertunduk menanyakan hal itu,
"Saya rasa kita tidak cukup dekat untuk saling berbicara mengenai masalah pribadi Pak, itu privasi saya" jawab Rahma tegas, sungguh dia tidak ingin lebih jauh mengungkapkan tentang pernikahan dirinya, apalagi ini pada laki-laki yang mengaku mencintainya.
" Kamu mencintainya?" susul Tama masih dengan pertanyaan yang terdengar ekstrim di telinga Rahma.
"Maaf Pak, saya..." ucapan Rahma terhenti.
"Jawab saja Naura, saya hanya ingin tahu" Tama menyela ucapan Rahma.
"Sa...saya... " Rahma kembali terbata, ragu untuk menjawab pertanyaan itu. Dia menyadari pernikahannya dengan Anggara hanya di atas kertas, tapi sungguh dia tidak ingin siapapun mengetahui kenyataan itu.
Dia menarik napasnya panjang, sejenak memejamkan matanya berupaya mengalirkan oksigen ke otaknya agar bisa berpikir jernih.
"Menikah dengan orang yang kita cintai adalah harapan, tapi mencintai orang yang kita nikahi adalah kewajiban"
Tama mendongak mendengar jawaban Rahma...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Aabece
kalo sampe doktoral, lama banget itu kuliahnya ya. maaa iya rahma nunggu tanpa kepastian. bukan nunggu lagi, nggak tau malahan. emang enak 😁
2023-08-10
1
Sheyva
seruuuu kak...lanjut
2022-07-21
2