"Saya terima nikahnya dan kawinnya Naura Rahmania binti Lukman Hakim dengan maskawin yang tersebut, tunai.”
"Sah?" penghulu pun mengedarkan pandangannya pada kedua saksi pernikahan Rahma dan Anggara.
"Sah" jawab kedua saksi itu serempak, disusul oleh beberapa orang yang turut mengucapkan kata sah saat prosesi akad sudah berakhir.
Akad....lima menit yang merubah segalanya, hanya dengan waktu lima menit, dialah akad yang merubah bakti seorang wanita dari ibu yang melahirkannya kepada laki-laki asing yang datang dan memintanya tiba-tiba.
Rahma menarik nafasnya dalam, saat ini statusnya sudah berubah menjadi seorang istri dari Anggara Prayoga, seorang polisi dengan jabatan yang cukup tinggi di Kepolisian.
Senyum merekah di bibir keduanya saat satu persatu tamu undangan mulai berdatangan dan memberikan ucapan selamat. Pernikahan yang tak biasa karena sang mempelai pria tetap harus memakai baju kebesarannya.
Tepat pukul empat sore acara resepsi dan pertemuan kedua keluarga besar telah usai. Orang tua Anggara yang datang dari Bandung memutuskan untuk kembali saat itu juga karena ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan keesokan harinya. Begitupun Pak Lukman dan keluarganya, mereka pun memutuskan pulang setelah acara selesai.
Tinggallah Rahma dan Anggara yang kini berada di kamar hotel yang telah disiapkan sebelumnya. Selesai membersihkan wajahnya Rahma pun bergegas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Mas, mau shalat berjamaah?" Rahma yang telah berganti baju dengan gamis rumahan melongokkan wajahnya ke arah balkon kamar. Dilihatnya Anggara tengah menyesap sebatang rokok dan menghembuskan asap melalui hidungnya ke langit yang sedang ditatapnya.
Anggara menoleh, dilihatnya Rahma sekilas kemudian dia pun mengalihkan kembali pandangannya ke semula dan melanjutkan aktivitasnya.
"Kamu saja duluan" jawabnya setelah sempat kembali menyesap rokok itu.
Rahma hanya menghela nafas, dia pun kembali ke dalam kamar dan menunaikan kewajiban asharnya seorang diri. Harapan untuk diimami shalat oleh sang suami ternyata hanya sebatas angan.
Rahma membuka mukena dan melipatnya dengan posisi masih bersimpuh di atas sejadah.
"Aku sudah menyiapkan rumah untukmu tidak jauh dari tempatmu mengajar" Anggara yang sudah duduk santai di sofa yang terdapat di kamar itu pun memulai pembicaraan.
"Maksud Mas?" Rahma yang kurang faham dengan perkataan suaminya pun balik bertanya. Kenapa Anggara repot-repot membelikan rumah untuknya di Garut, bukannya setelah menikah seharusnya dia ikut serta kemana pun suaminya pergi yang saat ini sang suami tengah bertugas di Bandung.
"Rahma, ada hal yang perlu kamu tahu" Anggara menjeda ucapannya, terlihat dia menarik nafas dalam sebelum mengungkapkan apa yang selama ini ada dalam benaknya.
"Apa Mas?" tanya Rahma penasaran.
"Aku menikahimu hanya karena kamu adalah satu-satunya perempuan yang diterima oleh keluargaku"
Degg....tiba-tiba sesuatu yang besar terasa menghantam dada Rahma.
"Maksud Mas?" Rahma berusaha menetralkan keadaan hatinya yang kacau ketika mendengar apa yang suaminya katakan.
"Selama ini aku sangat dipusingkan dengan permintaan keluarga besarku untuk segera menikah. Tapi setiap perempuan yang aku bawa selalu di luar standar mereka. Barulah ketika aku membawamu mereka begitu tertarik karena berpikir kamu adalah perempuan yang tepat untuk mendampingiku. Tapi maafkan aku Rahma aku mempunyai seorang kekasih yang saat ini hatinya tengah terluka karena aku memutuskan menikah denganmu" Anggara kembali terdiam sejenak.
Rahma menundukkan kepalanya menyembunyikan matanya yang tiba-tiba berembun. Dia berusaha menahan sekuat tenaga agar embun itu tidak berubah jadi buliran air.
"Bukankah itu bagian dari masa lalumu, Mas?" Rahma berusaha menguasai dirinya, berbicara dengan tegar seolah dirinya baik-baik saja.
"Tidak Rahma, dia adalah masa depanku" ucap Anggara tanpa rasa bersalah.
Degg......dada Rahma kembali dihantam sesuatu yang keras dan kali ini dia benar-benar tidak bisa membendung embun yang berubah menjadi air dan tiba-tiba lolos begitu saja membasahi pipinya. Dia kembali menunduk menyembunyikan air matanya, tidak ingin terlihat menyedihkan.
"Jadi mau kamu sekarang apa Mas?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Rahma, dia tampak mengusap air mata di pipinya. Kembali berusaha tegar dan mencoba mengikuti permainan suaminya
"Pertanyaan itu yang aku tunggu" Anggara beranjak dari sofa yang didudukinya, dia membuka laci meja kecil yang terletak di samping tempat tidurnya.
"Ini adalah kunci rumah yang sudah aku siapkan untukmu, aku membelinya atas namamu sebagai kompensasi karena telah membawamu pada kerumitan hidupku"
"Dalam buku nikah secara resmi di mata agama dan hukum kamu adalah istriku. Tapi maafkan aku Rahma, sebelum aku menikahimu aku sudah berjanji pada kekasihku bahwa aku akan menikahinya setelah aku menikahimu. Dan aku pun berjanji untuk tidak pernah menyentuhmu, karena aku, hatiku dan seluruh jiwa dan ragaku hanya miliknya"
Rahma hanya menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan, apa ini? pernikahan macam apa yang sedang dia bangun saat ini? pikir Rahma.
"Kau tinggallah di sini, tetaplah lakukan aktivitasmu seperti biasa. Aku pun demikian, seminggu sekali atau lebih aku akan datang menengokmu. Aku akan beralasan kepada keluargaku jika kamu tidak bisa meninggalkan tugas mengajarmu di sini" pungkas Anggara
Diapun mengambil kunci mobilnya bersiap untuk pergi.
"Kamu mau kemana Mas?" pertanyaan Rahma berhasil menghentikan langkah Anggara.
"Benar kamu mau tahu?" tanyanya dengan menyunggingkan satu sudut bibirnya dan dijawab anggukan oleh Rahma.
"Aku mau menemui kekasihku, dia sudah terlalu lama menunggu" jawab Anggara sambil melenggang menuju pintu kamar itu.
"Mas" panggilan Rahma kembali menghentikan gerakan Anggara yang sudah memegang pegangan pintu.
"Mungkin buatmu pernikahan kita hanya sebuah permainan, strategi untuk memuluskan langkahmu menuju kebahagiaanmu yang sebenarnya, menurutmu. Tapi maaf, aku tidak bisa menganggapnya demikian. Bagiku pernikahan itu sakral. Perjanjian suci seorang hamba di hadapan Tuhannya. Jika saat ini kamu berpikiran seperti itu aku tidak peduli karena itu adalah urusanmu dengan Tuhanmu, tugasku hanya taat atas apa yang diperintahkan suamiku selama itu tidak bertentangan dengan syariat agama. Jika kamu memintaku untuk tetap tinggal di sini dan mengajar seperti biasa, baiklah akan aku lakukan. Selama ridhomu ada didalamnya aku tenang. Karena kunci kesuksesanku, kunci keberhasilanku saat ini ada pada ridhomu"
Sejenak Anggara terdiam setelah Rahma mengakhiri perkataannya.
"Pergilah Mas, kamu harus tepati janjimu" Rahma kembali bersuara karena melihat Anggara masih bergeming ditempatnya berdiri saat ini.
Sejenak Anggara menoleh pada perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya itu. Terlihat Rahma sedang merapihkan mukenanya untuk kembali dimasukkan ke dalam koper. Sebenarnya ingin Anggara bertanya mengapa Rahma memasukkan kembali mukenanya ke dalam koper. Tapi dering telepon di saku celananya membuat dia membatalkan niatnya itu.
Anggara merogoh saku celananya mengambil ponsel yang sudah berdering beberapa kali. Dilihatnya nama yang tak asing terpampang jelas di layar ponselnya. My Love.
"Hallo, sayang" segera Anggara mengangkat teleponnya dan bergegas keluar dari kamar itu tanpa kembali melihat Rahma yang sudah tak mampu menahan air matanya lagi.
Rahma menangis sejadi-jadinya, tangisan yang tak mengeluarkan suara namun terlihat sangat menyayat hati. Rahma menangis bukan karena menyesali pernikahannya, dia menangis karena ternyata inilah takdirnya menikah hanya sebagai pelengkap status suaminya di mata keluarganya. Ternyata dia tak mampu menjadi satu-satunya wanita yang bertahta di hati suaminya.
Salahkah keputusannya untuk menikah dengan laki-laki itu? Atau ada sesuatu yang harus diperbaiki dari dirinya? Niat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
putri sri andila
ibunya agak egois ya.
2024-05-05
1
Ayatusifa Alhakiki
tidak ada salahnya juga ber ta'aruf tidak ada salahnya juga mencintai di saat sudah halal di sini lah poin nya .
emang cinta disaat halal hati kita bahagia tanpa ada rasa berdosa ,tapi kadang logika berlaku ,apa salah nya si saat ta'aruf bukannya harus ada kesempatan untuk mengenal satu sama lain ,,untuk itu jangan bodoh untuk soal jodoh Allah mengijinkan kita untuk istikharah ,haduueeh baru baca udah bikin greget emosi jiwa😅😅
2024-02-08
1
Mur syidah Syidah
yaa Allah kasian Rahma
2023-09-21
1