"Sial!" Umpat Vier segera turun dari mobil untuk melihat anak yang ditabraknya.
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan berbahaya? Selain membahayakan orang lain kamu juga bisa membahayakan dirimu sendiri, apa yang kamu lakukan di jam segini berlarian di jalan?" Vier mencoba menarik nafas mengendalikan amarahnya, apalagi saat anak itu menunduk dan meneteskan air mata.
Vier menghembuskan nafasnya perlahan, seharusnya dia tidak boleh memarahi anak sekecil itu, tapi entah kenapa dirinya yang panik, membuatnya amarahnya meluap begitu saja.
Vier mengusap wajahnya kasar menyadari kesalahannya, dirinya kemudian berjongkok, di depan anak perempuan itu dan mengelus lembut rambutnya.
"Maaf Om, maafkan aku," ucap anak itu dengan suara serak bahkan sesenggukan.
"Om maafkan, dan Om juga minta maaf karena tadi sudah memarahi kamu, Om tadi hanya takut terjadi sesuatu padamu," kata Vier masih mengelus lembut rambut hitam dan panjang anak perempuan itu.
"Ayo bangun!" Kata Vier membantu anak perempuan itu bangun dan terkejutnya dia saat melihat anak perempuan itu.
"Bukankah dia gadis kecil yang kemarin?" Ucap Vier dalam hati setelah mengamati anak perempuan yang sekarang justru ketakutan dan meremas jari-jari tangannya melihat tatapan Vier.
Tet
Tet
Suara klakson mengingatkan Vier, bahwa dirinya masih berada di tengah jalan.
"Ayo ikut masuk ke mobil Om dulu!" Vier pun mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Tapi anak itu menggeleng, menolak ajakan Vier. Vier yang melihat itu mengernyitkan dahi bingung.
"Kenapa?"
"Maaf Om," kata Anak itu yang kemudian langsung berlari masuk ke dalam sekolahnya, meninggalkan Vier yang termenung sendirian.
Setelah tersadar, Vier masuk ke dalam mobil, memarkirkan mobil kemudian kembali turun sambil terus melihat ke dalam sekolah.
"Om Vier!" Teriak anak perempuan cantik dengan rambut yang diikat ekor kuda dan berlari ke arah Vier.
Vier segera berjongkok menangkap tubuh mungil gadis yang tak lain adalah Aira keponakannya.
"Bagaimana hari ini? Apa menyenangkan?" Tanya Vier mencium pipi chubby keponakannya.
"Senang tapi juga tidak."
Mendengar jawaban keponakannya Vier mengernyitkan dahi.
"Rara senang sebenarnya tapi tidak senang karena Reynan yang terus mengomeli Rara seperti Mama."
"Mengomeli Rara seperti Mama?" Vier dibuat bingung lagi mendapat jawaban seperti itu.
"Iya Paman, tadi Rara jatuh, karena buru-buru mau keluar, terus setelah itu Reynan malah mengomeli Rara. Katanya Rara tidak hati-hati, ceroboh, seperti adiknya Rain, tapi Paman, kok bisa Reynan sama Rain sekolahnya sama-sama, kan mereka bilang kakak-adik. Rara sama adik tidak sekolah bersama, bahkan adik Rara masih ada di dalam perut Mama, apa nanti kalau adik bayinya sudah lahir, adik bayinya segede Rara, lalu bisa sekolah bareng Rara ya?" celoteh Aira dengan ekspresi seolah-olah dirinya sedang berpikir.
"Ya tidak juga sayang, teman Rara bisa sekolah sama-sama karena mereka lahirnya bersamaan, seperti Mama dan Om dulu," Vier bingung harus menjelaskan bagaimana, semoga dengan penjelasannya kali ini, keponakannya itu tidak lagi bertanya yang membuat Vier pusing harus bagaimana menjawab.
"Oh bisa ya Om, terus…"
"Rara sayang kita pulang ya, Mama sama Papa pasti nungguin Rara," Vier cepat-cepat memotong ucapan keponakannya jika tidak mungkin sampai sore Vier baru bisa pulang.
"Ya Om, ayo kita pulang! Rara lapar," kata Rara mengelus perutnya.
"Baru jam berapa sudah lapar saja," gumam Vier mengacak rambut ponakannya dan menggandengnya menuju mobil.
Saat Vier akan menjalankan mobilnya, Vier melihat dua anak kecil yang kemarin dia temui.
"Itu Om, Reynan dan Rain," Aira dengan berteriak menunjuk Reynan dan Rain yang baru keluar dari gerbang.
"Jadi mereka bersaudara," gumam Vier dan kembali melanjutkan niatnya untuk pulang.
Tak butuh waktu lama, Vier kini sudah sampai di halaman rumah Kakaknya.
Alno yang mendengar suara mobil, segera keluar.
"Papa!" Teriak Aira dan berlari ke arah papanya.
"Bagaimana keadaan Vira Kak?" Tanya Vier yang kemudian mencium punggung tangan kakaknya.
"Sudah membaik," pasalnya sedari tadi pagi istrinya terus mual dan muntah-muntah, makanya Alno meminta tolong kepada Vier untuk mengantar dan menjemput putrinya.
"Ya sudah Kak, aku harus ke kantor lagi." pamit Vier.
"Tidak istirahat atau barangkali mau makan dulu?"
"Hmm tidak, lagian ini juga belum waktunya makan siang, kita bertemu nanti malam di rumah papa."
"Baiklah, kamu hati-hati, tidak perlu ngebut," pesan Alno dan Vier pun mengangguk mengiyakan.
Vier melanjutkan mobilnya ke kantor, tapi pikirannya terus tertuju pada anak perempuan yang hampir ditabraknya.
Dan tanpa berpikir panjang, Vier memutar balik mobilnya kembali ke sekolahan keponakannya.
Vier merasa lega sekaligus khawatir, lega karena kedua anak itu masih disana, khawatir karena sudah setengah jam berlalu tapi kedua anak itu masih ada di sekolah, apakah orang tuanya tidak khawatir sama sekali, bagaimana ada yang menculik anak-anak yang lucu seperti mereka, begitulah yang Vier pikirkan saat ini. Tanpa sadar tangan Vier mengepal merasa marah entah pada siapa.
Vier turun dari mobil dengan terburu-buru menghampiri kedua anak itu.
"Kalian belum pulang?" Tanya Vier membuat dua anak kecil yang tadi duduk dengan kepala menunduk segera mengangkat kepalanya.
"Om," ucap Raina ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh kakaknya.
"Om yang kemarin kan?" Tanya anak laki-laki yang duduk di samping anak perempuan itu.
"Iya, kalian kenapa belum pulang? Mama atau papa kalian belum menjemput?" Tanya Vier yang berjongkok di depan kedua anak kecil itu.
"Mami tidak bisa menjemput karena sedang bekerja, kata Mami, bibi yang akan menjemput, tapi sampai sekarang bibi belum juga datang," kata anak laki-laki itu menjelaskan, entah kenapa Reynan berani menjelaskan hal itu pada orang yang baru dua kali ditemuinya.
"Terus Papi kalian?"
"Papi pergi jauh, kita tidak tinggal bersama, kita hanya tinggal sama mami dan bibi."
Vier menatap kedua anak itu bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ayo, kalian ikut Om!" Kata Vier berdiri dan mengulurkan kedua tangannya.
Reynan segera menyambut uluran tangan Vier. Sementara Rain segera menahan tangan Reynan.
"Kak jangan, ingat pesan mami," ucap Rain menatap kakaknya, mengingatkan pesan Maminya.
Vier bingung apa yang anak perempuan itu maksud.
"Tidak apa-apa dek, biar Kakak yang akan menjelaskan sama mami."
"Kenapa? Tanya Vier yang sudah sangat penasaran kenapa kedua anak itu justru membicarakan hal yang tidak dia mengerti.
"Mami melarang kami ikut dengan orang asing," jawab Reynan.
"Kakak!" Teriak Rain yang kesal karena kakaknya menjawab paman itu.
Vier langsung memandangi Rain dan tersenyum, mendekat dan memeluknya.
"Om bukan orang asing, kalian kenal dengan Aira? Om adalah omnya," kata Vier memperkenalkan dirinya.
Kedua anak itu pun memandangi Vier yang sudah melepaskan pelukannya dan kembali mengulurkan tangannya.
"Jadi bagaimana? Apa kalian mau ikut dengan Om?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
mgknkah mereka anak Vier??
2023-04-23
0