Pria bertopeng yang mendatangi mereka di dalam hutan, membuat desiran angin terasa sangat kasar. Mereka bertarung berlawan arah dari angin di sana, serangga dan burung-burung pun pergi menghindari area pertarungan mereka.
Trang! Trang!
Bilah dari kedua pedang itu beradu satu sama lain. Yang aneh, adalah pedang yang terbuat dari bayangan milik pria bertopeng tersebut seolah benar-benar pedang nyata. Segala cara mereka berusaha saling mendesak, namun berujung terhenti di tengah pertarungan.
Keduanya melangkah mundur. Terutama Yongchun, pedangnya kini berlumur darah namun bayangan itu tampak tak memiliki bekas luka yang seharusnya ada.
“Apa maksudnya ini?” gerutu Yongchun. Bertanya-tanya mengapa darah milik pria itu ada sedangkan tubuhnya tak terlihat ada bekasnya.
Tetapi, bertanya-tanya dalam pikirannya saja tidak akan membuat jawaban itu muncul. Begitu juga dengan sosok pria bertopeng sekali lagi melesat jauh lebih cepat, menerjangnya dengan beberapa pedang berupa bayangan yang kini melayang-layang ke udara.
Satu persatu pedang bayangan yang melayang di udara itu menghujam Yongchun dari atas, ada beberapa yang meleset dan juga ada beberapa yang mampu menggores setiap bagian tubuhnya. Tak mampu menghalaunya karena pandangan terbatas, Yongchun memaksa diri untuk melangkah maju menghadapinya.
“Kutanya siapa dirimu sebenarnya? Kenapa melawanku?” Sembari menanyakan hal yang mungkin pria itu takkan menjawabnya, Yongchun mengayunkan pedang itu secara vertikal.
Srakk!
Namun, apa yang barusan ia tebas bukanlah pria itu. Samar-samar yang ia ingat hanyalah seperti wujudnya adalah bayangan juga. Kemudian menghilang begitu ia tebas, Yongchun meninggalkan bekas itu di tanah, di mana harusnya posisi pria bertopeng ada di sana.
“Kenapa hanya bayangan yang terlihat? Ugh, rasanya mataku sakit.” Yongchun mengusap kedua matanya.
“Kak Asyura! Jangan seperti itu!” pinta Nia yang meraih kedua tangan Yongchun agar tak lagi mengusap matanya.
Lantaran, kedua mata milik Yongchun terluka. Berdarah-darah sampai darah itu menggenang di bawah kakinya. Yongchun merasa heran mengapa mata ini terluka, dan kemudian ia menyadari kalau ternyata darah yang melumuri pedangnya bukanlah milik pria bertopeng melainkan darahnya sendiri, yang di mana itu berasal dari kedua matanya.
“Hahaha ...mengerikan sekali. Aku merasa bersemangat saat bertarung dengan pria itu,” celetuk Yongchun.
Bruk!
Ia melemah, kedua kaki itu tak lagi mampu menopang tubuhnya yang gemetar. Duduk dengan darah menggenang di bawah seraya ia mengerang kesakitan luar biasa.
Kain yang ia gunakan untuk menutupi mata itu merembes basah, sehingga Nia pun melepasnya sebentar.
“Aku rasa melepasnya untuk saat ini tidak jadi masalah. Apakah tak apa?” tanya Nia.
“Iya. Tidak masalah.”
Nia melihat apa yang sebelumnya terjadi. Baik dari wujud sampai senjata-senjata itu adalah bayangan sehingga tidak bisa diserang hanya dengan pedang kosong (tidak dialiri dengan tenaga dalam).
“Apakah ini baik-baik saja? Darahnya terus keluar.” Nia sangat khawatir. Hendak melakukan sesuatu namun tak bisa melakukan apa pun. “Seandainya ada kak Relia,” gumam Nia.
“Tidak. Tidak masalah, Nia. Ngomong-ngomong apakah kau melihat sesuatu darinya? Pria itu bertopeng dan ada bayangan ...”
“Iya. Aku melihatnya. Semua yang kakak serang itu hanya bayangan. Tadinya aku ingin memberitahu hal ini sebelum kalian bertarung tetapi bayangan yang lain membuatku tak bisa bicara. Maafkan aku yang tak berguna,” sesal Nia.
“Tidak usah begitu menyesal. Aku juga awalnya mengerti selama menyerang dia tapi karena pandanganku terbatas karena kain ini, aku jadi tak bisa memastikan yang sebenarnya. Lagipula daripada itu, sepertinya semenjak kain ini dilepas, para pemimpin kultus 7 Surgawi menyadarinya.” Yongchun berpikir bahwa hal itu sedikit masuk akal dengan intimidasi dan pertarungan yang barusan dilakukan.
Nia dan Yongchun pergi ke daerah sungai. Segera Nia membersihkan kainnya dan Yongchun membasuh semua luka yang ia derita. Meski terasa perih, ini bukan apa-apa.
Beruntung saja, karena kedua matanya terluka maka aura yang biasa terpancar kini meredup layaknya lilin meremang karena angin.
Tak banyak dari para pendekar yang menyadari namun pada akhirnya mengira-ngira bahwa itu berasal dari pemimpin kultus.
Kemudian mereka kembali ke kediaman pemimpin Wang. Banyak dari pengikut Wang di sana memperhatikan pakaian yang Yongchun kenakan.
“Mereka memperhatikanku karena pakaianku rusak, ya? Hah, padahal aku ingin datang dengan tidak mencolok. Justru begini malah jadi sebaliknya, untung saja aku sudah membasuh semua lukaku sehingga tidak ada yang menyadari bahwa aku sempat bertarung dengan seseorang.”
Tapi tentu saja, para pendekar amatir jelas tak mengetahui apa yang telah terjadi. Namun Wang Xian tidak.
“Aku tahu betul, aura yang kau keluarkan cukup besar. Kadang kau bisa menekannya dan kadang juga tidak. Tapi apa-apaan tadi? Aku merasakan auramu menjadi remang-remang. Apa yang kau lakukan di luar?” Wang Xian menyambut mereka di pintu kediaman utama, alisnya yang tebal membuat ia terlihat seolah sedang marah.
“Maafkan aku. Aku hanya sedikit terluka, tak perlu kau panggilkan tabib atau siapa pun. Aku hanya ingin beristirahat saja,” kata Yongchun.
Sebelum masuk, Yongchun bertanya, “Ada yang ingin kutanyakan, apa kau mengenal pria berambut putih dan bertopeng?”
Wang Xian tampak berpikir sebentar lalu berkata, “Pria itu kemungkinan besar, Pemimpin Yin.”
***
Lagi-lagi nama pemimpin kultus disebutkan. Meski hanya mendengar "Yin" saja sudah membuat ia merasa harus berhadapan dengannya sekali lagi. Pemimpin kultus Yin sudah tahu bahwa aura yang sebelumnya keluar dengan deras adalah miliknya. Tergantung apakah pemimpin Yin mengatakan hal ini ke lainnya atau tidak.
Di dalam ruangan, tempat peristirahatan Yongchun, bersama Nia.
“Kak, apakah di sini mirip dengan KT dulu?” tanya Nia.
“Ya, kurang lebih begitu. Tapi sepertinya mereka memiliki kekuatan tenaga dalam. Seperti meminjam kekuatan alam, aku pun tak sebanding dengan mereka hanya dengan pedang kosong,” jawab Yongchun.
“Ngomong-ngomong kak, apa maksud percakapan kakak dengan wanita itu sebelumnya? Yang mengira bahwa aku adalah adiknya kak Asyura.” Setelah lama menunggu, Nia pun akhirnya bertanya hal ini.
“Wanita itu, Yu Jie. Dia putri Kaisar Ming. Aku hendak dinikahkan olehnya agar penyatuan negeri timur berjalan lancar. Ah ...” Semua perkataan Yongchun terucap begitu saja. Di akhir ia merasa menyesal.
“Oh begitu rupanya.” Nia mendekat dengan wajah kesal, tetapi ia mengerti bahwa ini demi penyatuan negeri timur.
Ia menghela napas panjang. “Kakak memang selalu begitu. Apa pun demi wilayah kita, siap mengembannya walaupun nyawa menjadi taruhan. Aku takut jika suatu saat nanti kakak akan jatuh lagi,” gumam Nia.
Yongchun terkekeh-kekeh kemudian berkata, “Jangan berkata yang tidak-tidak. Lalu, berhenti menyebutku kakak atau yang lain juga menganggapmu sebagai adikku.” Sembari mengecup keningnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
kenta jaya
well/Sleep/
2024-06-10
0