Saat sedang ingin makan siang, ia dikejar oleh para pendekar di kalangan biasa. Suatu ketika ia berhasil kabur dengan menceburkan diri ke dalam sungai, Asyura melihat seorang wanita tenggelam ke dasar sungai. Rasanya seperti laut, meski arus sungai tidak ada, entah mengapa setiap bergerak rasanya semakin diberatkan oleh beban yang ia tak ketahui.
Setelah menyelamatkan wanita itu dari ajalnya. Tak lama kemudian pendekar dengan kuasa dan harta datang. Terlihat dari pakaian yang ia kenakan adalah orang kaya dan penting di wilayah ini.
“Hentikan ini! Dia bukan yang membuatku tercebur ke dalam sungai yang dalam. Justru karena dialah aku selamat dari mara bahaya ini,” tutur wanita itu. Kedua orang itu memanggilnya seorang putri bernama Yu Jie.
“Berat juga kalau bertarung dalam kondisi basah. Lain kali aku takkan melakukannya lagi,” celetuk Asyura dalam benaknya seraya mengibaskan kedua tangan dan rambutnya.
“Putri Yu Jie, apakah itu benar?”
“Ya. Aku menjaminnya. Kau kemarilah,” pinta Yu Jie pada Asyura untuk menghampiri dirinya.
“Pertama, aku, Yu Jie berterima kasih karena kau telah menyelamatkanku. Lalu kuperkenalkan, pria dengan alis sedikit tebal ini adalah Wang Xian. Kemudian pria yang mengenakan baju hitam ini adalah Yang Jian. Mereka berdua adalah pemimpin kultus 7 Surgawi yang berada di bawah kaisar,” jelas Yu Jie yang kemudian terbatuk-batuk.
Pria bernama Wang Xian, melepas lapisan pakaiannya yang kemudian ia pakaikan untuk Yu Jie agar merasa hangat. Lantaran Yu Jie tak ingin pulang lebih dulu sebelum berbicara dengan Asyura.
Asyura menoleh ke arah mereka, lalu menghampirinya. Tetap berdiri menghadap mereka yang masih duduk menunggu Yu Jie.
“Ada butuh sesuatu?” tanya Asyura. Sama sekali ia tak menunjukkan kesopanan.
“Tidak. Aku hanya ingin berterima kasih padamu. Jika bertemu lagi, maka akan kuberi beberapa keping emas untukmu. Jadi, bisakah aku mengetahui siapa dirimu?” Yu Jie bertanya.
Asyura menyeringai. “Aku penguasa wilayah bagian timur tengah. Asyura!” ungkapnya tanpa basa-basi.
“Mana mungkin itu adalah kau! Siapa kau sebenarnya?” Wang Xian berteriak.
“Sudah kubilang bahwa aku adalah Asyura. Meski tak ingat nama margaku apa, tapi aku tetaplah dia. Dia adalah aku. Apa perlu kubuktikan?” Asyura bernada sok mengancam, setengah bilah pedang itu terlihat. Tanda ia bersiap menyerang mereka.
“Asyura? Memang benar kalau semua ciri-ciri dari kabar burung itu mirip denganmu. Tapi bagaimana mungkin orang buta berjalan tanpa dampingan sama sekali. Bahkan kau bisa berjalan, berlari bahkan menghindari seranganku.” Wang Xian kembali berbicara.
“Yang harusnya kau terluka hanya karena kekuatanku yang tidak menyentuh, tapi kau sama sekali tidak terluka. Siapa kau sebenarnya?” imbuhnya dengan bertanya.
“Wang Xian, dia tak mungkin bicara jujur kalau ada Yu Jie di sini. Lebih baik aku antarkan dia kembali ke Istana Wulan,” ujar Yang Jian. Ia membantu Yu Jie berdiri lalu menuntunnya kembali menuju istana.
“Pemimpin Wang, jika dia benar tentang identitasnya maka janganlah ke istana. Karena jika dia ke sana, maka dia akan menerima hukuman mati karena telah menyusup ke wilayah ini.” Yu Jie meminta dengan perasaan cemas. Kalut akan perasaannya sendiri.
Wang Xian mengangguk mengerti. “Baiklah, putri.”
“Putri? Dia itu sejenis tuan putri yang hidup mewah di istana, ya?” Dalam batin, Asyura bertanya-tanya mengenai keberadaan Yu Jie pada saat itu.
“Kau!” Wang Xian berdiri dan menatapnya lebih tajam. “Ikut denganku, sekarang.”
Karena merasa tidak ada pilihan lain. Dan jika asal menyerang maka dirinya mungkin tak selamat di wilayah ini, Asyura pun menuruti keinginannya.
Mereka melewati jalan yang sebelumnya Asyura gunakan. Termasuk jembatan kecil itu. Jembatan yang sudah rusak dengan beberapa orang yang kini terus mendengus kesal.
“Apa ini ulahmu?” tanya Wang Xian. Asyura mengangguk.
“Jembatan yang sudah dibuat susah payah jadi rusak. Kau harus tanggung jawab,” tukasnya dengan nada mengancam.
Tidak disangka bahwa Asyura akan kembali ke pondok kecil itu. Yang ternyata pondok kecil itu adalah milik Wang Xian. Beruntung, tidak ada barang atau apa pun yang ia sentuh di sana.
“Aku ingin diapakan?” tanya Asyura. Setelah Wang Xian menyuruhnya duduk, ia membawakan dua gelas berisi air tawar.
“Jangan buat aku kesal, wahai orang asing! Tidakkah kau mengerti bahwa pondok ini lebih berperasaan daripada dirimu?” ujarnya mendengus.
“Apa maksudmu?” tanya Asyura tak mengerti. Ia mendesah lelah.
“Ya. Pondok ini dibangun untuk tempat peristirahatan untukku atau yang lain juga bisa. Melindungi kita dari segala ancaman, hujan, angin kencang dan bencana lainnya,” tutur Wang Xian, kemudian ia meneguk segelas air miliknya.
“Tidak. Aku barusan dikejar sampai sini. Apanya yang melindungi kita dari segala ancaman?” Asyura melengos, tidak setuju dengan semua ucapan Wang Xian.
Tak!
Wang Xian menaruh gelasnya dengan kasar. Kembali ia menatap wajah Asyura dengan tajam, terbesit dalam benak bahwa pria yang berada di hadapannya ini benar-benar tidak buta.
“Beruntung kau bertemu dengan Yu Jie yang baik hati. Jika tidak, pasti sudah kuhabisi dirimu. Lalu, bisakah aku bertanya siapakah dirimu yang sebenarnya?”
“Sudah aku bilang. Aku ini penguasa wilayah timur tengah. Meskipun banyak orang bilang bahwa aku ini kejam, tapi lihatlah orang-orang yang tadi terjatuh di jembatan. Apakah ada yang mati? Tentu tidak, 'kan.” Asyura menjawab dengan seadanya.
“Tadi kau menyebut dirimu begitu. Lalu namamu adalah Asyura?” tanya Wang Xian memastikan.
Asyura kembali tersenyum dan berkata, “Benar sekali. Apa kau ingin membunuhku juga? Silahkan, itu jika kau bisa.” Asyura jelas meremehkan dan merendahkan harga diri seorang pendekar yang langsung berada di bawah perintah Yang Mulia.
Wang Xian berdiri. Menarik pedangnya dengan cepat mengarah ke pangkal leher Asyura. Tatapannya tidak berubah, Asyura yang mendongak ke atas pun tahu hal itu. Wang Xian menjadi marah.
“Jika bisa katamu. Kau yakin? Tidak menyesal akan keputusanmu,” ucapnya membuat suasana itu menegang.
Namun Asyura tetap menyunggingkan senyumnya seraya menggenggam bilah pedang dengan tangan kosong. “Aku sudah bilang, jika ingin membunuhku maka silahkan. Kalau kau bisa tentunya.” Dengan cepat pergerakannya tak bisa dilihat Wang Xian. Asyura berdiri sejajar dengan ujung pedang yang mengarah ke lehernya.
Mereka sama-sama berhadapan satu sama lain. Dengan acungan pedang yang mengarah leher mereka langsung, hanya dengan mendorongnya sedikit maka pasti salah satu atau keduanya akan terluka.
Dalam situasi keheningan, desiran angin tak jelas asalnya terdengar seolah membisikkan sesuatu ke telinga mereka. Cahaya masuk melewati setiap celah di pondok, keduanya terdiam saling menatap dengan tajam.
“Apa benar, kau adalah Asyura? Pendekar buta yang mampu membantai semua pendekar di kala itu?” Wang Xian kembali menanyakan hal tersebut.
“Jika kau ingin berkata bahwa, "Apakah aku benar-benar buta?", itu lebih baik daripada menerima mentah-mentah kabar burung tak jelas begitu. Lagipula membantai bukan kata yang cocok,” ketus Asyura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
kenta jaya
yuk/Sleep/
2024-06-10
0