Selamat membaca ...
——————————
Still Lisa POV.
Awalnya, kami makan dengan suasana kondusif. Tapi secara tiba-tiba saja Tika mengoceh, menanyakan berbagai macam hal pada Max. Mulai dari Universitas terbaik, jurusan kuliah yang paling banyak diminati, pekerjaan yang pantas untuknya kelak dan masih banyak hal yang lainnya lagi. Membuat Max akhirnya harus menegur adiknya itu.
"“Udah makan dulu deh! Nanti aja ngobrolnya, aku jadi gak bisa menikmati makananku sendiri ini.” Max mulai protes, membuat Tika berdecak kesal sambil mencibir kakaknya itu.
Sedangkan aku hanya memperhatikan mereka berdua saja. Mengamati cara mereka berdua saling berinteraksi kemudian mendengarkan semua obrolan yang mereka bicarakan. Dari awal sampai sekarang.
Begitulah diriku. Aku lebih banyak diam untuk mendengarkan mereka, lagi pula aku juga tahu diri. Walaupun ada kemungkinan Max juga menganggapku sebagai adiknya, tapi hal itu tidak merubah apa yang sudah otakku dapatkan.
Aku sungguh mengagumi semua hal dan apa pun yang menempel pada tubuhnya. Dia terlihat sempurna sebagai seorang lelaki. Bahkan dia bagaikan seorang pahlawan bagi Tika—juga bagiku. Sebab aku tahu, saat aku kehilangan kedua orangtuaku, dialah orang pertama yang membiarkanku untuk terus bersekolah hingga saat ini. Dia yang meminta kepada tante Ida untuk meneruskan biaya sekolahku.
Ya, aku ingat betul kejadian itu.
Tepat seminggu setelah kepergian kedua orangtuaku. Mereka sekeluarga masih berkumpul di rumahku. Sampai suatu malam, saat aku hendak ke dapur, aku mendengar mereka yang sedang berbicara pada om Reza di halaman belakang rumah.
“Udahlah, Mah, 'kan sebelum om Rizal sama istrinya pergi ke Maldives, Mamah udah janji sama mereka buat jaga Lisa. Kalau sudah gini, Mamah harus tepatin janji Mamah dong." Max mengatakan sebuah perjanjian yang di mana semua itu seketika harus terjadi.
“Gak apa-apa, Bu. Biarkan biaya sekolah Lisa menjadi tanggungan saya. Lagi pula, saya sudah sangat berterima kasih masih diizinkan untuk terus bekerja. Malah saya diberikan naik jabatan.” Om Reza ikut berbicara saat itu.
Aku mendengar jelas semua obrolan mereka bertiga. Terlebih lagi saat aku mendengar bahwa biaya sekolahku ternyata tidaklah murah, sebab aku satu sekolah dengan Tika. Aku sempat shock mendengar kabar itu, rasanya tidak percaya dengan keadaan saat itu. Dan karena perkataan dari Max-lah, akhirnya tante Ida setuju untuk menjadi wali-ku di sekolah dan menjadi penanggung jawab atas semua biaya yang akan dikeluarkan nantinya.
Itulah mengapa aku semakin hari semakin mengaguminya saja. Belum lagi semenjak aku rutin menginap di rumah mereka, dia baik sekali.
“Lis? Lisa?!” tegur Tika yang lalu menyenggol lenganku. Aku terkejut begitu kesadaranku kembali terkumpul lalu menoleh padanya. Menjawabnya dengan sebuah dehaman. “Gua tadi nanya, itu kentang boleh dong dibagi?”
Aku melongo mendengar pertanyaan Tika yang ... sebenarnya tidak terlalu penting, tapi mungkin penting baginya saat ini. Aku tersenyum lalu menyodorkan piring makanku padanya, agar ia dapat mencomot kentang goreng yang ia inginkan.
Entah mengapa aku merasa Max makan dengan secepat kilat, sebab makananku dan Tika saja belum selesai, tapi ia sudah berhasil menyelesaikan makanan yang ia pesan, bahkan piringnya terlihat rapi, maksudku bersih.
“Kalian makannya santai aja, aku mau ngerokok dulu,” ucap Max lalu berdiri, melangkah menuju tempat cuci tangan. Lalu kembali lagi melewati meja kami dan keluar untuk menyulut rokoknya.
Secara diam-diam, mataku terus saja memperhatikan lelaki itu. Tubuh kekarnya, dadanya yang bidang, tengkuk lehernya yang proposional serta bibirnya yang tebal membuatku harus dengan susah payah menelan saliva-ku. Sungguh lelaki idaman.
Rasanya tidak rela jika mataku harus berkedip saat ini, kehilangan beberapa detik gerak-gerik darinya. Memerhatikan caranya menghisap rokoknya, lalu mengembuskan asap itu. Dengan cueknya Max memainkan benda tipis persegi panjang yang sekarang ditatapnya. Rasanya hati dan otakku tidak ada henti-hentinya untuk memujanya, selalu saja terpesona.
“Heh! Lu perhatiin abang gua, ya?” tegur Tika tiba-tiba, aku terpekik lalu menjadi salah tingkah dibuatnya. Akibatnya membuat lidahku kelu untuk berucap, sedangkan Tika terus saja menggodaku menebak-nebak yang aku lakukan dan menghubung-hubungkannya dengan kakaknya yang gagah itu. Ya bener sih, gagah aku akui. Tapi tidak, Tika tidak boleh tahu jika aku mengagumi sosok kakaknya itu. Jangan!
Dengan susah payah aku memaksakan lidah dan mulutku untuk berucap. “Apaan sih? Enggaklah, orang tadi kebetulan aja liat keluar.” Aku mengelak, tapi elakkan itu belum terlalu sempurna.
Sedangkan Tika seakan tidak mau mendengar alasan apa pun, dia terus saja menggodaku, menyenggol-nyenggol lenganku sambil mengatakan sorakkan 'ciee'.
“Ah, elu mah alesan mulu! Bilang aja lu suka abang gua. Biar ntar gua bantuin,” tawar Tika padaku.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Lovely
cemburu deh si Tika 😕
2021-07-23
0
🌼 litlle bee 🐝 🌼
waduuhh Tika mulai jaga jarak niihh
2020-04-24
1
Triyani Muafa
maka nya jadi cewek jangan gampangan baru kenal aja dah berani nyosor gak tau dah punya pasangan apa belum
2020-04-12
1