Still Tika POV.
Sebelum malam ini, aku dan Jefri memang sudah sering bertemu. Tentunya tidak hanya berdua saja. Jefri dan teman-temannya menjadi lebih sering terlihat di kedai ketika jam makan siang.
Mereka pun tidak sungkan untuk sekedar mengajakku nongkrong saat malam hari. Aku pun selalu mengiyakan ajakan mereka. Jarang aku menolak ajakan itu.
Sampai pernah di suatu waktu, mereka mengetahui jika aku menyukai meminum kopi. Tak sungkan aku ceritakan kepada mereka tentang sebuah tempat di mana biasa aku menikmati secangkir kopi yang terenak menurutku. Dan lagi, aku sering memtambangi tempat itu.
Hingga akhirnya hampir tiap malam aku dan teman-temannya itu bertemu kembali. Bercanda gurau, membahas politik, atau sekedar merencanakan pertemuan untuk hari esok. Yang jelas dari kegiatan yang rutin itu membuat aku terbiasa dengan kehadiran mereka, terutama dengan Jefri.
Dia orang yang tidak pernah absen, selalu hadir, walaupun sering terlambat. Dia juga selalu melontarkan joke-joke yang membuat kami tertawa terbahak-bahak.
Meski begitu, mereka semua sudah tahu jika aku seorang wanita perokok. Tidak pernah ada salah satu di antara mereka yang merasa risih denganku. Dan sikap berteman mereka yang 'welcome' itu yang membuatku nyaman, walaupun hanya aku perempuan satu-satunya di antara mereka.
**
“Yuk!” ajak Jefri menyenggol lenganku sambil berdiri dari duduknya, “nih nitip bayarin.” Disodorkannya selembar uang seratus ribuan kepadaku.
“Kita berdua duluan ya? Tika mau ngerokok, dntar ketemu di tempat ngopi deh,” pamitnya kepada yang lain.
Aku langsung beranjak menuju kasir, di mana di sana duduk seorang wanita paruh baya yang mungkin pemilik rumah makan ini.
“Berapa, Tante? Lalapan satu sama teh panas,” ucap Jefri. Dari nada bertanyanya seolah sudah kenal lama dengan wanita berumur itu.
“Bayar masing-masing ya?”
“Iya,” anggukku.
“Lalapan 26 ribu tambah teh panas tiga ribu jadi 29 ribu,” ucap beliau halus.
“Trus nasi goreng separo sama teh panas tawar?” ucapku sambil menyodorkan uang seratus ribu rupiah.
“Nasi goreng separo 20 ribu tambah tiga ribu."
Jari kirinya menekan kalkulator yang ada di atas mejanya untuk menghitung dan tangan kanannya menerima uang yang aku sodorkan.
“Berarti totalnya 52 ribu, kembali 48 ya?”
Dibukanya laci penyimpanan uang kemudian disodorkannya lagi uang kembaliannya.
“Makasih Tante,” ucapku. Belum sempat aku menarik uang kembalinya, tiba-tiba beliau sudah menangkap tanganku terlebih dahulu.
“Kamu pacarnya Jefri ya?” tanya beliau antusias. Aku sontak menoleg ke belakang, tetapu tidak lagi menemukan sosok Jefri di belakangku. Kemudian kembali menatap wanita paruh baya tersebut.
“Bu—bukan, Tante, cuman temennya kok,” jawabku spontan.
“Oh, kali aja pacarnya, biar nanti tante kasih tahu ke mamahnya Jefri, dia 'kan gak pernah bawa ceweknya ke rumah. Apalagi kenalin pacarnya ke keluarga,” celetuk wanita itu santai.
Aku hanya tersenyum garing. Kemudian menerima uang kembalian itu dengan lembut.
“Hayo ngomong apaan?” sambar Jefri dari belakangku, hingga membuatku berdelik kaget.
“Enggak ada kok, Tante cuman nanya aja dia siapanya kamu.” Wanita itu menjawab.
“Oh, udah ya, Tante, Jefri pamit dulu, soalnya masih ada yang dicari lagi, entar tokonya tutup,” pamit Jefri kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Wanita itu pun menyodorkan tangannya, “Emang ga nongkrong malam ini?”
“Nongkrong dong, Tante, bye Tan.” Jefri berpamitan.
Aku pun ikut bersalaman setelah Jefri selesai menyalami tangan wanita itu sekalian pamit pulang. Mungkin itu keluarganya, aku bermonolog dalam hati.
**
Dalam mobil Jefri hanya diam dan sesekali dia membalas chat di ponselnya yang berbunyi. Aku mulai meliriknya, dia masih asik membalas chat itu dengan salah satu tangannya di atas kemudi setir.
“Nih kembaliannya tadi, 71 ribu.” Aku menyodorkan uangnya.
“Loh kok banyak? Taruh di sana aja.” Tunjuk Jefri dengan gerakkan kepalanya.
“Bayar masing-masing.”
“Kenapa ga sekalian aja tadi bayar punya kamu juga?”
“Ga usah, aku ada uang pas kok,” tolakku halus. “Emang sekarang kita mau ke mana? nyari apaan?” tambahku.
“Oh itu, ga ada kok, 'kan kamu mau ngerokok, ya udah silakan,” ucapnya santai.
Diletakkannya ponselnya di dashboard tengah. Dibukanya kaca jendela sedikit, setelah AC mobil dimatikan. Kemudian dia kembali mengambil kotak rokoknya dan memulai ritual merokoknya. Aku yang tadi hanya memperhatikannya kini mulai mengambil rokokku dan ikut menyalakannya.
Ya, aku memang perokok, dulunya saat kuliah hampir setiap hari aku merokok. Aku bakar uang jajan hanya untuk membeli rokok, ya dibakar. Kalian mengertikan maksudku? *lol
Tapi saat ini aku merokok jika hanya ingin saja. Karena aku masih merokok di belakang orangtuaku.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
novi 99
masih belum paham alurnya...
tapi tetap kubaca dulu
2020-12-16
1
Putry Yani Denty Sari
cerita nya aqu jadi gk ngerti bagusan cerita awal
2020-07-04
4
Triyani Muafa
udah ngerokok agresif hm hm
2020-04-12
2