BAB 6

" Usiamu masih sangat muda, tapi kau sudah tidak suci lagi, apakah kau memang gadis seperti yang aku pikirkan? "

Lora terdiam sebentar sembari meremas kain baju yang ia gunakan. Pertanyaan itu, bagaimana dia akan menjawabnya? Akankah orang akan percaya jika dia menceritakan yang sebenarnya? Lora semakin mengeratkan genggaman tangannya mengingat dulu dia pernah menceritakan hal itu kepada salah satu tetangganya demi untuk mendapatkan pertolongan, tapi yang ada dia malah mendapat cacian dan juga peringatan menyakitkan dari tetangganya. Maklum saja, Ayah angkatnya itu sangat ramah, berbaur dengan tetangga, bahkan juga terkenal sangat sopan dan rajin beribadah. Lalu, orang asing di hadapannya ini apakah bisa percaya? Tapi kalau dia diam saja apakah pria di hadapannya akan semakin buruk menilai dirinya?

" Tidak, aku tidak seperti itu. Semua yang terjadi bukan karena aku yang menginginkannya. " Jawab Lora yang tak bisa lagi menahan air matanya yang jatuh ke pipi. Sial! Bayangan, juga ingatan saat menyedihkan di dalam hidupnya itu kembali berputar-putar di otaknya, bagaimana Ayah angkatnya merobek bajunya, menyentuh bagian dalam tubuhnya dengan brutal, tatapannya yang seperti kehausan bisa dengan jelas dia ingat, rasa sakit itu, semuanya terekam dengan jelas di ingatannya.

" Kau sedang menangis? Itu tangis sungguhan, atau hanya untuk menyembunyikan belang mu? "

Lora menyeka air matanya, sejenak dia menarik nafas, lalu menatap Hanzel dengan berani.

" Kalau Tuan punya pendapat yang tidak terbantahkan, bahkan juga tidak akan mempercayai jawabanku, lalu untuk apa Tuan bertanya? Tuan bisa meyakini saja dugaan Tua padaku. "

Hanzel tersenyum tapi sungguh Lora tidak tahu apa maksudnya itu. Apakah dia sedang mengejek ucapan Lora? Ataukah dia sedang mengasihani lewat senyumnya? Apakah ucapannya barusan terdengar seperti kisah drama? Mungkin! Karena keadilan memang tidak layak untuk dia dapatkan, jadi biarkan saja orang mau berpikir apa, toh, dia juga sudah tidak memiliki harga diri sama sekali sekarang ini.

" Kalau kau ingin aku percaya, katakan padaku siapa yang sudah memaksamu melakukanya? "

Deg!

Lora menatap Hanzel yang menatapnya sedikit tajam seperti sedang menyelidik. Lora menelan salivanya, bukan gugup, tapi dia merasa tidak nyaman dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar hanya karena merasa kalau pria yang kini sudah menjadi suami dadakannya itu terlihat seperti sedikit percaya padanya.

" Tuan, apakah anda akan percaya dengan ucapan saya nanti? "

Hanzel tersenyum miring, tatapan matanya tak beralih dan masih tetap menatap Lora seperti sebelumnya.

" Akan ku pertimbangkan nanti, jadi katakan saja siapa orangnya. "

" Ayah angkat ku, dia orangnya. "

Hanzel mengernyit menilai mimik Lora untuk mencari tahu apakah sungguh ucapannya benar? Iya! Dari cara Lora menatap, Hanzel bisa merasakan kejujuran yang dilandasi dengan rasa marah, juga kesedihan. Sebentar Hanzel terdiam, salah satu temannya adalah orang kepercayaan yang ia pekerjakan untuk menjadi pengawas di kebun teh miliknya, tapi menurut dia, Ayah angkat Lora adalah orang yang sangat baik, heh! Tapi orang juga bisa memakai topeng untuk menutupi kebusukannya kan?

" Kau tahu apa resikonya kalau asal bicara kan? "

" Tahu! Aku tahu benar, tapi apa yang aku katakan adalah kebenaran! Dia melecehkan ku saat usiaku enam belas tahun, aku bahkan sudah menceritakan ini kepada salah satu tetangga, tapi aku malah mendapatkan cacian dan juga sumpah serapah. " Lora kembali menitihkan air mata meski bukan niatnya menangis saat bicara barusan.

" Baiklah, mau masuk saja dulu ke kamar. " Ucapnya lalu bangkit.

" Kau bisa menandatangani surat kontrak itu jika mau, kalaupun tidak itu juga akan menguntungkan ku. " Ucap Hanzel sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan pergi dengan mobilnya yang terparkir di halaman rumah.

Hanzel masih terus memikirkan ucapan Lora barusan, Ayah angkatnya? Kalaupun benar, bukankah sama saja kalau laki-laki itu sama brengseknya seperti Ayahnya? Kalau berbohong, tidak mungkin cara bicara dan ekspresi Lora begitu yakin dan terasa kemarahan. Kalau dari yang temannya ceritakan, Lora itu hampir tidak dikenali warga kampung karena hampir tidak pernah keluar rumah.

Hanzel menghela nafasnya dalam-dalam, lalu membuangnya degan cepat. Tidak tahu harus bagaimana memperlakukan gadis yang ia nikahi hanya untuk menggalakan rencana Ayahnya setelah mengetahui ini semua. Sebentar dia merasa bersalah karena telah memaksa gadis itu berhubungan badan di malam pertama pernikahan, tapi mau bagaimana lagi? Saat itu dia pikir akan lebih baik seperti itu, jadi Ayahnya tidak akan memiliki niat untuk menikahi Lora lagi.

" Aku jadi pusing memikirkan ini. Tapi sudahlah, Ibuku tidak perlu menangis-nangis lagi karena takut Ayahku akan membawa istri baru lagi, setidaknya untuk sementara ini saja Ibuku bisa lega, tidak tahu kapan lagi Ayah akan berhenti memikirkan wanita di luar sana. " Ujar Hanzel seraya terus mengemudikan mobilnya menuju pabrik teh miliknya.

***

" Kak Ita, aku boleh pinjam ponselmu tidak? Aku ingin melihat artis kemarin. "

" Eh? " Ita mengernyit bingung.

" Non Lora memang tidak punya ponsel? "

Lora menggeleng, jangankan ponsel, bahkan menyentuhnya saja sangat jarang. Maklum saja dirumah orang tua angkatnya hanya dia yang tidak punya ponsel, kalau anak kedua dari orang tuanya sedang memainkan ponsel, barulah dia iseng-iseng nimbrung hanya untuk sekedar melihat-lihat saja.

" Ini, Non. " Ita menyodorkan ponselnya kepada Lora.

" Non Lora, kalau tidak ada ponsel lebih baik bilang saja kepada Tuan Hanzel, dia pasti akan membelikan untuk Non Lora. "

Lora memaksakan senyumnya.

" Serius, Non. Tuan Hanzel memang terlihat dingin, tapi dia bak kok. "

Lora mengangguk saja karena tidak ingin terus membicarakan tentang Hanzel.

" Kak Ita, bagaimana caranya menggunakan ponsel ini? "

Ita sebenarnya agak heran juga sih, di jaman yang serba canggih ini ternyata masih saja ada orang yang tidak tahu menggunakan smartphone. Ita kemudian berjalan mendekat, memencet tombol untuk menyalakan layar ponsel, lalu menjelaskan kegunaan tombol-tombol yang ada disana.

" Baik, kak Ita, aku mengerti. Aku boleh masuk ke kamarku tidak? Setelah selesai akan aku kembalikan. "

" Iya, silahkan saja Non Lora. "

Di dalam kamar, Lora ternyata lebih memilih untuk memegang ponsel dari pada selembar surat kontrak yang sampai sekarang belum ia tanda tangani. Dia kini sibuk melihat satu persatu unggahan yang ada di media sosial saudari kembarnya, Nora. Mulai dari photo bersama Ayahnya di pantai, pegunungan, tempat wisata air terjun di luar negeri, dan masih banyak lagi. Kalau dilihat beberapa photo yang lain, sepertinya Ayahnya juga sudah menikah lagi dan memiliki satu anak perempuan.

" Apakah kalian begitu bahagia hingga tidak mengingat tentangku? " Lora meletakkan ponselnya, menyeka air matanya, sebentar dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Dia meraih selembar surat kontrak itu, lalu menandatanganinya tanpa ragu.

" Harga diri sudah tidak punya, maka menjadi wanita tidak tahu malu juga bukan hal aneh untukku. "

Bersambung

Terpopuler

Comments

Shyfa Andira Rahmi

Shyfa Andira Rahmi

😭😭😭

2025-01-07

0

Evelyne

Evelyne

koment aaahh... awalnya gw kurang suka di awal...tapi gw penasaran jadi gw lanjut... sekarang sampe di part ini...pingin terus.,moga moga gak terlalu halu deh....😅😊

2022-09-14

0

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

maaf telat mampir 🙏

2022-07-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!