7. Emosi

Dani berlari ke ruang IGD, di mana di sana tampak Bibi Rina tampak tak sadarkan diri dan digotong ke ruang lain.

Paman Agus menangis di kursi seraya mencengkram rambutnya dengan kedua tangannya.

"Paman... Kakak di mana? Kakak di manaaaa!!!"

Dani benar-benar sudah seperti hilang akal, ia tak peduli sedang ada di Rumah Sakit. Paman Agus dengan sisa energinya mencoba meraih Dani dan memeluknya erat sambil menangis,

"Sabar Dan... Sabar..."

Paman menenangkan Dani meskipun dirinya sendiri pun tak kuasa menahan sakit di dalam dadanya.

Rasanya sungguh seperti di pukul dengan palu besar dengan kuat. Sakit, sangat sakit.

Dani meraung, ketika akhirnya Paman Agus membawanya masuk ke ruang IGD dan melihat kondisi Kakaknya.

Sementara Satria dan Nania yang akhirnya memutuskan untuk ikut pergi bersama Dani, bahkan memang mereka ke Rumah Sakit menggunakan mobil Satria juga berlari-lari menyusul Dani.

"Bagaimana Windi?"

"Windi baik-baik saja kan?"

"Windi selamat kan?"

Satria dan Nania panik luar biasa, mereka mencoba melihat ke dalam ruang IGD yang tak lama setelah mereka datang, seorang perawat keluar dengan tergesa-gesa.

"Sus, gimana temen kami? Gimana?"

Tanya mereka berdua ribut sekali.

Suster menggeleng sambil berlalu,

Nania yang tentu saja benar-benar ingin mendapat jawaban pasti mengejar si suster,

"Gimana dong sus, yang jelas dong, kita ingin tahu Windi gimana?!"

Nania jadi terbawa emosi,

Suster yang tampak kesal itu menghela nafas, lantas menatap tajam Nania, yang kemudian juga disusul Satria menghampiri Suster tersebut,

"Seharusnya dia dibawa ke Rumah Sakit sejak semalam, dia ada pendarahan, ditambah dia juga memotong urat nadi, ah sudahlah, saya sendiri rasanya tak kuat melihatnya."

Suster itu lantas memilih meninggalkan Nania yang langsung lemas terduduk di kursi panjang Rumah Sakit.

Satri juga sama, ia terduduk di sebelah Nania, keduanya melongo, bingung harus bereaksi apa karena terlalu syok,

"Bagaimana bisa? Dia bahkan masih bicara denganku kemarin."

Kata Satria.

Nania tangisnya juga pecah,

"Windi... aku bahkan masih makan siang dengannya tukeran ayam goreng karena dia suka paha, dan aku suka sayap."

Kata Nania mengenang momen makan siang terakhirnya dengan Windi.

Di ruang IGD, Dani meraung mencoba membangunkan kakaknya.

Menatap wajah pucat kakaknya, melihat sisa air matanya yang masih ada di sudut matanya, mengingat ia menangis dan menjerit-jerit histeris, sungguh hati Dani kini remuk redam.

Satu-satunya orang yang ia miliki dalam keluarganya kini tiba-tiba harus pergi, dan ia pergi dengan cara yang terlalu jahat.

"Ini tidak bisa dibenarkan, aku haru menuntut balas, aku harus membunuh laki-laki itu, katakan padaku siapa Kaaaak, siapaaaaa!!!!!"

Dani yang terus berteriak akhirnya diminta oleh pihak Rumah Sakit untuk dibawa keluar karena menggangu,

Paman Agus terpaksa merangkul Dani agar mau keluar meskipun Dani terus berusaha meraih Windi kakaknya.

"Kakak harus hidup lagi agar bisa bicara padaku, dia harus hidup lagi, dokter hidupkan kakakku lagi, cepaaat!!!"

Dani meraih dokter yang menangani Windi dan menyatakan Windi tak bisa tertolong lagi.

Dani menarik jas dokter dengan kasar, memukuli dadanya sambil menangis lalu ambruk ke lantai.

Tampak sekali ia terguncang,

Bukan hanya tentang kehilangan, tapi rasa bersalah karena ia sebagai adik laki-laki tak bisa melindungi kakaknya.

Sungguh ini terlalu menyakitkan bagi Dani, ini terlalu sulit untuk Dani menerima.

Dani meringkuk di atas lantai IGD, memegangi dadanya yang terasa seperti akan pecah.

Paman Agus begitu iba melihat nasib kedua keponakannya, iapun sama merasa begitu berdosa karena tak mampu menjaga anak-anak kakak perempuannya, hingga sampai ada kejadian yang begitu memilukan seperti ini.

Bagaimana nanti jika kelak aku bertemu Ibu mereka?

Akan ditaruh di mana mukaku saat nanti bertemu dengan Ibu mereka?

Apa yang harus aku jelaskan pada mereka sampai ada orang yang bisa begitu jahat pada Windi hingga menghancurkan hidupnya?

Paman Agus sangat sedih,

"Kami bisa bantu jika harus membawa kasus ini ke jalur hukum Pak,"

Dokter menawarkan bantuan.

"Sekarang kasus pelecehan cukup diperhatikan pihak yang berwajib, jika memang diperlukan kami sangat siap memberikan keterangan."

Kata dokter yang baik hati itu.

Paman Agus mengangguk-angguk mengerti, tapi Dani di tempatnya hanya merintih,

"Aku yang akan membunuh mereka, tidak usah Pak Polisi yang mengurus, biar aku saja, biar aku saja."

Dani memukuli lantai dengan tangannya, dadanya benar-benar terasa sesak, ia tak bisa lagi berpikir apapun lagi.

Kak Windi, kenapa harus dia?

Dia gadis yang baik.

Dia bahkan belum pernah pacaran sejak sekolah.

Dia terus fokus membantu orangtua, apalagi begitu ia harus membiayai dan mengurus Dani seorang diri.

Kenapa?

Kenapa harus Kak Windi?

Kenapa?

Dani rasanya ingin meledak.

**------------**

Terpopuler

Comments

Yuli Eka Puji R

Yuli Eka Puji R

pendarahan kan bukan anak kecil di perkosa pendarahan mana songong klo tau pasti udh di bawa dr semalam

2022-09-25

0

Putrii Marfuah

Putrii Marfuah

kenapa nasibmu begitu win

2022-08-14

0

Erni Sasa

Erni Sasa

ᥬ😭᭄ ᥬ😭᭄ ᥬ😭᭄ ᥬ😭᭄ ᥬ😢᭄ ᥬ😢᭄ ᥬ😢᭄ ᥬ😢᭄ nah kan meweek

2022-08-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!