" Ayo diminum kopinya, keburu dingin", ucapku karena sejak tadi Bian terus menatapku tak berkedip, aku khawatir Bian tidak bisa mengontrol diri dan menciumiku lagi seperti tadi sore. Tapi mungkin pikiranku yang berlebihan, mana berani Bian melakukan hal itu disaat kedua orang tuaku berada di dalam rumah.
" Iya nanti aku minum, kalau sudah nggak terlalu panas. Ra.... kamu tahu nggak, sejak tadi waktu aku sampai di rumah, entah kenapa pikiranku terus tertuju sama kamu. Rasanya aku ingin cepat-cepat menghalalkan kamu, jadi besok aku tidak pergi ke restoran. Aku mau ke rumah orang tuaku malam ini juga, pulang dari sini".
" Mungkin lebih cepat aku menyampaikan niatan ku pada ayah dan ibu, akan lebih baik. Aku sudah tidak sabar ingin hidup bersama satu atap dengan kamu".
Aku sangat tahu yang Bian rasakan, dia sama sepertiku yang saat ini perasaannya sedang meluap-luap, karena perasaan yang terpendam selama belasan tahun, akhirnya berani di ungkapan, tentu membuat dirinya menjadi sangat bersemangat.
Kadang aku merasa takut karena Bian begitu mencintaiku, karena sesuatu yang berlebihan itu sebenarnya tidaklah baik. Apa yang akan terjadi jika Bian tahu jika ayah kandung Shaka adalah orang yang dikenalnya.
Mengapa dunia ini menjadi terasa begitu sempit sejak aku mengetahui bahwa Yoga dan Bian saling mengenal satu sama lain. Meski Bian sudah tahu tentang keadaanku yang sebenarnya, tapi mungkinkah dia bisa menerima jika ternyata yang merenggut mahkotaku adalah temannya sendiri?.
" Jadi nanti kamu langsung ke rumah orang tuamu sepulang dari sini?, bawa motor?", tanyaku sambil melongok ke luar rumah menuju motor yang dipakai Bian.
Motornya sama dengan motor Yoga, hanya berbeda warna saja, milik Yoga tadi berwarna merah, sedangkan motor Bian berwarna hijau. Apa mungkin mereka juga masuk klub motor yang sama?, sedekat apakah mereka berdua?, aku masih terus bertanya-tanya.
Bian mengangguk, " Iya nanti ke rumah ibu mau bawa motor saja biar bisa nerobos, jadi cepet sampai, sudah lama sekali tidak membawa motor, tadi terasa aneh waktu menaikinya".
" Harus dibiasakan lagi bawa motor, biar bisa ajak kamu jalan-jalan naik motor seperti anak-anak muda lainnya", ucap Bian sambil cengengesan.
" Kamu tahu nggak Ra...?, dari dulu waktu masih SMA, setiap kali liat teman-teman SMA bawa motor, dan boncengan sama pacar mereka, aku tuh pengen banget bisa ketemu kamu lagi, dan melakukan hal yang sama seperti mereka, boncengan motor sama kamu, menyusuri jalanan sambil kamu memeluk punggung aku", ucap Bian sambil tatapannya menerawang jauh, mungkin dia sedang membayangkan apa yang sedang diucapkannya.
" Kedengaran aneh ya keinginanku itu?, pasti kamu mengira masa remajaku sangat bahagia dan penuh warna. Tapi sayangnya nggak seperti itu Ra... sejak pindah sekolah dan nggak ketemu kamu lagi, aku juga membatasi mengenal teman cewek. Kebanyakan teman-temanku itu cowok. Dan Riko sengaja ngajak aku gabung dengan Mapala di SMA ku, selain kebanyakan anggota Mapala itu cowok, waktuku juga jadi ku habiskan untuk hal-hal yang positif, seperti mengenal alam lebih dekat".
" Bukan untuk jalan-jalan ke mall, dan godain temen-temen cewek kayak ABG-ABG labil".
Baru kali ini Bian menceritakan masa lalu nya padaku, sekaligus menyampaikan keinginannya yang terpendam untuk bisa ber boncengan motor denganku. Bian memang paling pandai berkata-kata, seolah aku menjadi satu-satunya, membuat aku makin meleleh.
Seandainya saja kami bisa bersatu sedikit lebih awal. Mungkin saat ini aku dan Bian sudah hidup bahagia menjadi pasangan suami istri.
Aku tidak berpikir terlalu jauh kan?, tentu saja tidak, karena tujuan aku dan Bian menjalin hubungan adalah untuk menuju ke jenjang pernikahan. Usia kami berdua sama-sama sudah tidak muda, dan kami tahu berpacaran terlalu lama juga tidak akan baik bagi kami yang sama-sama saling mencintai.
Mungkin hanya akan menambah banyak dosa dan dosa... dari dosa kecil hingga yang besar.
" Jadi kamu ikut Mapala?, sering naik turun gunung dong Bi?, apa ada cewek yang ikut Mapala juga?", tanyaku pura-pura tidak tahu, padahal tadi baru saja ku lihat fotonya bersama semua teman laki-laki.
" Kalau anggota ada sih yang cewek, cuman jarang ikut kalau naik gunung. Kalau kamu gimana Ra?, suka naik gunung nggak?, kalau kamu suka, kapan-kapan aku ajak kamu ikut naik, pas ada acara camp".
" Biasanya para alumni akan mengadakan acara naik gunung bersama saat peringatan ulang tahun terbentuknya organisasi. Apa kamu mau ikut?, kalau mau pasti bakalan seru banget Ra..., nanti aku kenalin kamu sama teman-temanku, Riko juga selalu ikut, karena dia aktif di Mapala. Jadi nanti kamu nggak kaya orang ilang, ada aku dan Riko yang kamu kenal".
Aku mengangguk setuju, meski aku belum pernah naik gunung, tapi jangan ditanya, kekuatan kakiku melebihi mereka yang biasa naik gunung. Karena aku terbiasa berjalan cukup jauh dan naik turun tangga sambil membawa box makanan setiap kali kebagian jatah mengirim delivery order ke perusahaan-perusahaan yang bergedung tinggi tapi liftnya sering rusak.
" Tapi harus ijin sama mama dan papa dulu kalau mau ikut acara kamu. Aku nggak bisa janji bisa ikut, soalnya tergantung ijin dari mama dan papa", jawabku.
" Benar juga, pasti mama dan papa kamu akan khawatir jika anak perempuannya diajak naik gunung sama laki-laki yang statusnya hanya teman biasa. Aku berharap saat ada acara naik gunung, status kita sudah ada peningkatan lagi. Entah kita sudah menikah atau sudah bertunangan. Biar aku bisa ngajakin kamu dan dapat ijin dari kedua orangtuamu".
Aku hanya mengangguk dan mengamini dalam hatiku. Berharap semuanya akan dipermudah jalannya oleh Yang Maha Kuasa.
" Apa kamu juga punya hobi Ra?, selama ini aku perhatiin, kamu nggak pernah melakukan hal-hal yang lebih spesifik", ujar Bian.
Tentu saja aku tidak pernah melakukan apapun yang aku sukai sering-sering, waktuku habis untuk bekerja dan beristirahat di rumah. Tapi sebagai wanita normal aku juga punya hobi, meski jarang aku lakukan.
" Punya", jawabku singkat.
" Apa?, masak?, bahkan kamu tidak pernah masak di restoran", gumam Bian.
" Bukan masak, kalau masak jelas bukan hobi aku, itu keahlian kamu, mungkin masakan ku dan masakan kamu masih enak masakan mu Bi...".
Tentu saja, Bian sangat jago masak, masakannya sudah persis dengan masakan koki restoran yang sangat enak, itu mengapa Bian membuka usaha di bidang kuliner, karena dia jago masak.
" Terus apa dong hobi kamu?".
Aku menatap Bian lekat, " Aku kasih tahu tapi jangan ketawa ya Bi...".
Bian mengangguk setuju, namun sambil tersenyum karena melihatku malu-malu mengatakannya.
" Sebenarnya aku suka main piano, nggak tau kenapa, dulu tiap kali Bu Retno guru seni musik mengajarkan kita bermain piano, aku senang sekali. Tiap kali menekan tuts piano dan menghasilkan alunan musik yang indah, rasanya hati ini jadi tenang dan damai".
" Sayangnya aku tidak mampu untuk membeli barang mahal semacam piano itu, jadi aku tidak pernah lagi bermain piano semenjak sekolahku selesai. Bisa main juga cuma beberapa lagu saja, yang dulu diajarkan Bu Retno saat praktek seni musik".
Bian menatapku lekat, dia itu terus memperhatikan aku setiap kali aku berbicara. Seolah dunianya tertuju dan hanya fokus kepadaku.
" Di rumah ibuku ada piano milik ibu, dulu ibu juga suka memainkan piano saat aku masih remaja, tapi sekarang sudah jarang ku dengar karena kami sudah tidak tinggal bersama", ujar Bian.
" Aku ingat betul Ra, waktu penilaian praktek seni musik pas kenaikan kelas 7, kamu bermain piano dengan lagu India, sampai semua orang bertepuk tangan mendengar permainan jarimu yang sangat lincah, lagu apa dulu ya?, yang terus akhirnya kamu disuruh tampil di panggung waktu acara kelulusan kakak kelas 9, karena kamu pandai banget main pianonya".
Aku mengangguk membenarkan ucapan Bian, memang dulu aku pernah tampil di panggung saat masih kelas 7, memberi persembahan di perpisahan siswa siswi kelas 9. Dua lagu luar negeri yang aku bisa, satu instrumen lagu berjudul 'Khushiyaan Aur Gham' dari India yang menjadi soundtrack film Man, dan satu lagi instrumen dari lagu berjudul 'From the Beginning till Now' dari Korea Selatan yang menjadi soundtrack drama Korea yang berjudul Winter Sonata.
Tidak akan pernah aku lupakan kenangan itu, dimana semua orang menatap kagum ke atas panggung saat jari-jariku memainkan tuts piano dengan lincahnya.
Sayangnya masa indah itu hanya sebentar saja, karena kebodohanku sendiri, aku merusak masa remajaku yang seharusnya sangat indah menjadi masa remaja penuh tangis dan sindiran dari tetangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments