Bu Herni nampak shock, dan kembali menghitung jarinya. " Sudah 16 minggu, itu berarti janin dalam perutku sudah mulai bergerak, dan semakin kuat. Kamu akan ibu beri pil yang lebih kuat lagi, tapi kamu harus langsung meminumnya malam ini juga, sebelum kamu tidur, jika tidak, mungkin bayi dalam perut kamu sudah tidak bisa lagi di gugurkan".
Aku bisa melihat raut kekhawatiran di wajah Bu Herni. Aku sendiri juga tidak tahu kalau ternyata janin itu masih ada di dalam perutku. Apa iya obat dari beliau tidak mempan padaku?.
Aku pulang dengan di antar oleh Yoga, saat itu tepat jam 3 aku sampai rumah. Rumahku sepi, kosong, semuanya sedang melakukan rutinitas seperti biasanya. Yoga yang sudah sangat lama ingin kembali melakukan hubungan **** denganku, kembali merayuku untuk melakukannya.
Memang sejak ketahuan aku hamil, kami sudah tidak pernah melakukannya lagi.
" Kita lakukan sekali lagi ya Ra... nanti malam kan kamu minum pil dari ibuku, berarti apa yang kita lakukan kali ini akan aman. Kamu tidak usah khawatir. Lain kali aku pasti akan memakai pengaman saat kita berdua melakukannya".
Yoga terus merayuku dan kembali membimbingku ke dalam kamar. Melakukan sentuhan-sentuhan lembut di sekujur tubuhku, membuatku lagi-lagi tidak bisa menolak keinginannya.
Jujur aku menikmatinya, aku menyukai cara Yoga memperlakukan aku dan membawaku seolah terbang ke awang-awang. Kami pun melakukannya lagi, ku hitung ini yang ke lima kali kami melakukannya. Masih tetap sama di kamarku. Kali ini bahkan aku sungguh menikmati permainan ranjang kami. Seolah akulah yang menguasai Yoga.
Yoga tahu betul jika aku juga menginginkannya, karena terbawa suasana dan sentuhan melenakan yang Yoga lakukan, kami melakukannya lagi, bahkan kali ini aku yang berada di atas. Aku yang awalnya malu-malu kini menjadi sangat bersemangat.
Suara ******* yang lolos dari mulut kami membuat pergulatan yang kami lakukan menjadi lebih bergairah.
Yoga tersenyum lebar melihat sikapku yang menjadi sangat agresif. Dia memelukku sangat erat usai kami sama-sama mencapai puncak kenikmatan.
Saat itu aku langsung mandi, begitu juga dengan Yoga yang ikut mandi di kamar mandi rumahku. Kami berusaha menghilangkan jejak dari aroma usai bercinta dari tubuh kami.
Yoga pamitan dari rumahku pukul 4 sore saat Juna pulang dari TPQ, dan Papa pulang dari menarik ojek. Semuanya masih baik-baik saja.
Hingga malam tiba, sebelum tidur aku mengambil tiga butir pil yang diberikan oleh Bu Herni tadi siang. Aku juga mengambil sebotol air putih dari dapur dan membawa ke dalam kamarku. Pintu kamar aku tutup rapat agar tidak ketahuan. Namun sepertinya gelagat ku sudah dicurigai oleh mama sejak tadi.
Mama tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan melihatku sedang memegang botol dan hendak meminum tiga butir pil pemberian Bu Herni.
" Apa itu Ra..., kamu sakit?, kok minum obat?".
Mama langsung mendekat ke arahku, aku yang panik tentu saja langsung menggenggam tiga butir pil yang hendak ku minum dengan erat.
Ku lihat mama curiga, memintaku membuka genggaman tanganku, dan menunjukkan obat yang hendak aku minum tadi.
Mama nampak mengernyitkan kening karena tidak tahu obat apa yang hendak ku minum. Hanya saja saat mama melihat botol kecil wadah pil itu mata mama langsung melotot, dan merampas tiga pil pemberian Bu Herni dari tanganku. Juga membawa botol kecil tempat dari pil itu.
Tidak ada komentar apa-apa, tiba-tiba mama pergi begitu saja keluar dari rumah, membawa motor matic miliknya.
Saat pulang, aku baru tahu, ternyata mama pergi ke rumah bidan desa dan menanyakan tentang pil itu. Mama sangat shock saat mendengar penjelasan dari bidan desa, jika pil yang hendak aku minum adalah pil penggugur kandungan. Pil itu tidak dijual di sembarang tempat, hanya orang tertentu yang bisa membeli pil itu, dan harga pil itu sebutirnya 750.000.
Aku melihat kemarahan di mata mama, seolah seperti ada api yang menyala di dalam matanya, sampai aku tak berani menatap mata itu lagi.
" Apa kamu hamil Ra...?, tolong jawab pertanyaan mama!", suara mama yang penuh penekanan dan lumayan keras membuat papa yang sedang menonton bola diruang tengah ikut masuk kedalam kamarku.
" Kenapa Ma?, sama anak bicaranya yang pelan, jangan teriak-teriak begitu".
Papa masih membelaku, karena papa belum tahu apa yang sedang terjadi.
Aku menggelengkan kepala, lagi-lagi aku berbohong, dan tidak mengakui jika aku sedang hamil.
Mama tiba-tiba menarik tanganku kasar dan menyuruhku naik ke boncengan motor nya. Mama membawaku kerumah bidan desa yang tadi didatanginya.
" Tolong periksa keadaan Raya Bu Bidan", ucap Mama sambil mendorongku kedepan.
Bu Bidan yang sudah paruh baya itu mengangguk dan menyuruhku merebahkan diri di kasur periksa.
" Sudah sebesar ini janinnya. Mungkin usianya sekitar 15 atau 16 minggu, kalau sudah ada pergerakan berarti sudah 16 minggu lebih", ujar Bu Ara, bidan desa yang memeriksaku.
" 16 minggu?!", tanya mamaku penuh penekanan.
Bu Ara kembali mengangguk. " Coba diingat kapan Raya terakhir datang bulan, mungkin sekitar empat bulan yang lalu", ujar Bu Ara.
Aku semakin menunduk dan tak berani menatap ke arah mamaku.
" Bu Wina, sebaiknya ibu bisa menahan emosi ibu untuk sementara waktu. Karena ibu bisa membuat Raya semakin takut". Ku dengar Bu Bidan mencoba menenangkan mamaku.
" Nak Raya, kalau Bu Ara boleh tahu, siapa yang memberikan pil ini sama Raya?, soalnya pil ini tidak diperbolehkan untuk dibeli oleh orang biasa. Hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan membeli pil ini. Harga pil ini sebutirnya 750.000, jadi Bu Ara yakin bukan Raya yang beli ini".
Aku masih terus menunduk, dan semakin menunduk, tak berani menatap mama maupun Bu bidan yang sedang berdiri di hadapanku.
" Apa Yoga yang melakukannya?, jawab mama Ra...!".
Aku tidak berani menjawab, aku semakin takut dengan kemarahan mamaku.
" Yoga siapa Bu Wina?", Bu Bidan mencoba bertanya.
" Pacarnya Raya namanya Yoga, dia putra Bu Bidan Herni ", jawab Mama masih dengan suara gemetar menahan amarah.
Ku lirik ekspresi Bu Ara, dia nampak sangat shock. Karena aku tahu, sebagai sesama bidan pasti Bu Ara mengenal ibunya Yoga.
" Jadi Yoga pacar kamu?, saya sih datang kerumahnya, pas dia dikhitan sekitar 4 tahun yang lalu, ya Allah, anak jaman sekarang kadang membuat kita jadi harus lebih berhati-hati".
" Pantas saja kamu bisa mendapatkan pil ini, jadi Bu Herni yang memberikan sama kamu?, Bu Herni sudah tahu jika kamu hamil oleh putranya?".
Aku semakin menunduk saat Bu Ara kembali bertanya, seolah dia tahu semuanya. " Tolong jangan beri tahu siapa-siapanya, saya yang bersalah, jangan sampai orang lain tahu", ucapku dengan suara gemetar saking takutnya.
" Masya Allah Raya... mama sudah gagal mendidik kamu, mama sudah gagal menjadi ibu yang baik".
Ku lihat mamaku menangis histeris dan terpuruk di atas lantai. Bu Ara mencoba menenangkannya.
" Biarkan aku meminum pil itu Bu Bidan, aku tidak mau membuat malu mama papa, dan juga keluarga Yoga", tangis ku, sambil memohon di kaki mamaku yang terkulai lemas di lantai.
" Tidak bisa, bagaimanapun bayi dalam kandungan kamu itu sudah bernyawa Ra... dosa besar melenyapkan nyawa bayi yang tidak berdosa!".
" Apalagi dosis pil yang diberikan Bu Herni ini cukup tinggi, selain bisa mengugurkan janin dalam kandungan mu, mungkin juga akan memberikan efek lain pada tubuhmu. Saya khawatir kamu bisa kenapa-kenapa".
Ucapan Bu Ara memang benar, sejak beberapa hari yang lalu bayi dalam perutku sudah mulai bergerak, meski masih pelan, tapi aku bisa merasakan gerakannya. Dan tentang efek samping setelah meminum pil itu, aku memang tidak tahu tentang itu, tapi jika Bu Ara mengatakan pil itu bisa membuatku kenapa-kenapa. Jujur aku juga takut untuk meminumnya.
" Lalu kami harus bagaimana Bu Ara?", mamaku terlihat meminta solusi pada Bu Ara.
" Lanjutkan saja kehamilan ini, biarkan sampai bayi ini lahir, kalau bisa Raya jangan keluar rumah sampai bayi ini lahir. Bu Wina dan Pak Tono bisa mencoba datang dan minta pertanggung jawaban ke rumah Bu Herni. Beliau kan seorang bidan juga, harusnya beliau lebih tahu bahayanya mengkonsumsi pil penggugur kandungan itu, karena efek sampingnya bisa berimbas pada Raya", ujar Bu Ara.
Akhirnya kejadian malam itu menjadi rahasia antara Bu bidan Ara dan keluarga ku.
Wina pun menceritakan semuanya pada suaminya, Tono nampak sangat terpukul mendengar jika anak gadisnya sudah dihamili oleh sang pacar, harapan masa depan cerah seketika berubah menjadi suram. Tono merasa gagal menjadi ayah yang baik, dan merasa gagal karena tidak bisa menjaga putri semata wayangnya itu.
" Kita kesana sekarang Ma!".
Tono nampak sangat emosi dan mengajak istrinya untuk datang ke rumah Yoga. Namun waktu sudah malam, jam dinding menunjukkan pukul 10 malam, tidak pantas seseorang bertamu semalam ini.
Mama Wina pun menahan Papa agar sabar dan mendatangi rumah Yoga esok harinya.
Pagi-pagi Tono sudah siap untuk datang ke rumah Yoga, namun Wina harus berangkat kerja, jadi Wina meminta untuk datang kerumah Yoga malam harinya.
***
Usai maghrib, Mama dan Papa pergi kerumah Yoga. Tentu saja untuk membahas masalah kehamilanku. Aku ikut serta dengan mama dan papa.
Kami bertemu dengan kedua orang tua Yoga, ternyata ayah Yoga, Pak Priyo tidak tahu menahu tentang masalah ini. Ku lihat beliau sangat marah dan langsung menggampar pipi Yoga dengan sangat keras, hingga darah segar mengalir di bibirnya yang sobek.
Adegan yang selama ini aku khawatirkan akhirnya terjadi juga di depan mata kepalaku sendiri. Ku lihat Bu Herni memeluk Yoga sambil menangis dan meminta ampunan pada suaminya.
Semua penghuni rumah itu sangat shock melihat kemarahan sang tuan rumah. Apa lagi saat mamaku mengembalikan pil penggugur kandungan yang diberikan Bu Herni padaku. Ku lihat Pak Prio menatap tajam istrinya.
" Ini semua karena kamu terlalu memanjakan putramu itu, dia jadi nggak tahu diri, nggak bisa jaga kehormatan keluarga, sampai hamili anak gadis orang, bikin malu saja!".
Pak Priyo masih terus berteriak memarahi sang istri. Mama dan Papaku masih diam, hingga pak Priyo merasa tenang dan duduk angkuh di depan kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments