Seperti rutinitas biasanya, Shaka akan pergi kelapangan bola bersama teman-temannya di sore hari. Shaka memang suka bermain bola, dan aku tidak melarangnya untuk melakukan hal itu. Bermain bola adalah kegiatan yang positif, dan bisa membuat Shaka sehat, juga melatihnya untuk berorganisasi, karena sepak bola juga termasuk olahraga yang melatih kemampuan bekerjasama satu team.
Usai sholat asar Shaka berpamitan pada mama untuk pergi kelapangan, tapi dia hanya melewati ku yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
Pasalnya Shaka sedang marah padaku, gara-gara brownies coklat yang tadi sedang dibungkus di restoran lupa tidak dibawa, padahal Shaka sangat ingin mencicipi brownis coklat itu.
" Ini kan ada orang juga, kok nggak di pamitin sih?", tegur ku saat Shaka berjalan melenggang tanpa pamitan padaku.
" Jadi itu orang ya?, aku kira manekin, soalnya nggak ada suaranya sih sejak tadi", ucap Shaka, dia memang suka sekali menggoda ku agar aku marah dan kesal. Rasanya kami berdua itu susah sekali untuk akur dan hidup damai seperti seorang ibu dan putranya.
Sejak paham keadaan, Shaka hanya tahu kalau aku kakak perempuannya. Berbeda dengan Juna yang tidak pernah sekalipun menolak perintahku, dan tidak pernah sekalipun mendebat ucapanku, karena Juna mengerti bagaimana perjuangan dan penderitaan yang ku alami selama ini.
Shaka sangat senang membantah perintahku, dan sering mendebat ucapan ku. Saat Juna masih di rumah, hanya perlu Juna pelototi, Shaka akan berhenti mendebat ku, tapi sekarang Juna tak di rumah, itu membuat aku dan Shaka semakin sering beradu mulut.
" Mana ada manekin yang jerawatan kaya kakak?, semua patung manekin itu mulus dan putih bersih, kalau kamu nyamain kakak kaya manekin, berarti kakak putih dan bersih dong", ucapku sengaja memuji diri sendiri.
" Yaelah... baru kali ini ada orang yang merasa bangga di samain sama manekin. Kak Raya tuh aneh banget jadi orang".
Shaka terus melenggang keluar, tapi tiba-tiba kembali masuk kedalam rumah sambil berlari.
" Assalamualaikum!", kudengar ada suara salam dari depan pintu.
" Kak Raya, ada Mas Bos tuh nyamperin, buruan keluar, dia bawa kantong besar, sepertinya brownies yang tadi ketinggalan dianterin kesini", ucap Shaka dengan mata berbinar.
Aku pun berjalan keluar sambil menggerutu, " Ada tamu, bukannya di bukain pintunya malah ditinggal masuk lagi, kamu ini bagaimana!", ucapku kesal sambil melotot ke arah Shaka.
Kulihat Shaka cengengesan sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tangan bersamaan, tanda damai.
" Peace ", itu ucapan yang keluar dari mulutnya.
" Wa'alaikum salam", ku buka pintu rumahku, benar sekali, ternyata Bian mengantarkan brownies coklat yang tadi lupa tidak dibawa.
" Aku mau nganterin ini, tadi kalian pulangnya buru-buru jadi ketinggalan deh brownies nya, sekalian sama coklat milkshake buat kamu dan Shaka", ucap Bian sambil menyerahkan kantong plastik tebal berwarna putih dengan logo restoran di tengahnya.
Kantong plastik yang menjadi ciri khas dan tanda pengenal restoran tempat ku bekerja, tiap kali aku melakukan delivery order ke kantor-kantor.
" Makasih banyak Bi..., malah jadi ngrepotin kamu, tadinya aku mau minta tolong ke Rita supaya di bawain pas mau pulang, biar nanti aku ngambil ke rumah Rita yang nggak jauh-jauh banget, eh malah sudah kamu anterin, makasih banget ya".
" Soalnya sejak tadi Shaka ngambek gara-gara brownies nya lupa nggak dibawa", ucapku sengaja keras agar Shaka dengar dari ruang tengah.
Dan benar, Shaka langsung keluar dan manyun kepadaku, " Hai Kak Bian yang baik hati... disuruh masuk sama mama, katanya duduk dulu, jangan ngobrol di depan pintu".
Ucapan Shaka membuatku tersadar, sejak tadi aku belum menyuruh Bian masuk, dan masih mengobrol sambil berdiri di pintu.
" Oh iya, maaf, aku sampai lupa nggak ngajak kamu masuk, ayo masuk dulu Bi, duduk dulu, biar aku buatkan kopi, belum sore banget kan?, baru jam setengah 4, nggak buru-buru pulang?", tanyaku.
Bian langsung masuk dan juga duduk di ruang tamu. Aku pun berjalan ke belakang berniat untuk membuatkan kopi, tapi ternyata mama sudah lebih dulu membuatkan kopi untuk Bian.
" Aduh... makasih banyak bu, malah jadi ngrepotin", ucap Bian berbasa-basi.
" Nggak ngrepotin kok, ibu malah seneng kalau ada teman-teman dari anak-anak ibu yang berkenan main kerumah. Dari dulu teman Raya itu yang paling sedikit datang, dibanding teman-teman adiknya".
" Raya memang tidak pintar bergaul, atau karena adik-adiknya laki-laki jadi temannya lebih banyak".
Mama terus bicara sambil memegang nampan ditangan kanannya.
" Ma, Bian ini kesini bukan sengaja mau main, dia nganterin brownies yang tadi ketinggalan di restoran", ucapku menjelaskan, agar mama tidak terus mengajak Bian ngobrol ngalor ngidul nggak jelas.
" Owh begitu, terimakasih banyak kalau begitu, sini biar ibu potong-potong buat teman ngopi nak Bian", ucap mama.
" Nggak usah Bu, ini saja sudah cukup, itu buat Shaka dan keluarga saja, saya sudah sering makan brownis yang sama, jadi saya minum kopi saja".
Bian menolak untuk ikut memakan brownies yang dibawanya. Tentu saja, kan dia bawa kesini untuk Shaka, bukan untuk dimakan sendiri.
" Kak Bian memang sangat murah hati, makasih ya kak, tapi maaf teman-teman ku sudah nyamperin, mau tanding bola di lapangan, jadi Shaka tinggal dulu ya Kak".
Bian mengangguk sambil menunjukkan jempolnya ", Siip... semoga menang ya", ucap Bian sambil tersenyum menatap Shaka dan teman-temannya berjalan menuju lapangan.
" Ya sudah mama tinggal kebelakang dulu, tadi lagi ngasih makan ayam belum selesai, kalian lanjut ngobrol saja", ucap mama sambil berjalan membawa brownies coklat kedalam, dan meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
" Apa iya ucapan mama kamu, kalau kamu nggak punya banyak teman?, seingat ku waktu SMP kamu akrab sama Kiki dan Dian, bahkan kalian selalu berangkat dan pulang bareng, sekarang bagaimana kabar mereka?" .
Ternyata Bian masih mengingat Kiki dan Dian, mereka berdua memang teman dekatku tapi sebelum aku berhenti sekolah. Bian juga belum tahu tentang aku yang berhenti sekolah secara tiba-tiba di kelas 3. Sangat banyak yang Bian tidak tahu tentang aku.
" Mereka sudah pergi dari desa ini, mengikuti suami mereka yang orang jauh, Dian dan Kiki merantau setelah lulus SMA, dan mereka menikah dengan orang yang berasal dari lain kota. Sekarang mereka tinggal di kota suaminya, bahkan mereka berdua sudah punya anak", jawabku seperlunya.
Bian nampak mengangguk paham, " Kamu sendiri, kenapa belum menikah, disaat teman-teman seusia mu sudah berkeluarga dan bahkan punya anak?".
Ku tatap Bian yang sedang menatapku, menunggu jawaban dariku.
" Kamu pengen tahu aja apa pengen tahu banget?", candaku, agar suasana tidak menjadi terlalu serius.
Aku bisa melihat sekilas ada bayangan mama dibalik pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah. Mama diam-diam mendengarkan percakapanku dengan Bian.
" Ye.... kamu kalau aku lagi nanya serius pasti begitu jawabnya", Bian terlihat kesal.
Aku hanya tersenyum kecut.
" Aku juga pengen seperti teman-teman yang lain, menikah dan bahagia, tapi selama ini kan nggak ada yang ngajak aku nikah, apa iya harus aku duluan yang ngajak nikah?, aku kan cewek, nggak pantes lah kalau ngajak nikah duluan", ucapku.
Memang benar selama ini belum ada laki-laki yang mengajakku menikah, karena aku selalu mundur terlebih dahulu, membuat jarak saat ada yang berusaha mendekatiku.
" Kamu serius Ra, selama ini belum pernah ada laki-laki yang ngajakin kamu nikah?", Bian nampak tidak percaya dengan ucapan ku.
" Serius...., dua rius malahan. Kenapa?, nggak percaya?".
Bian langsung mengangguk.
" Kamu itu cantik Ra... aku juga tahu dari dulu banyak yang suka sama kamu, tapi kamu yang selalu menghindar dari mereka, karena itulah aku tidak berani terang-terangan menunjukkan kalau aku juga tertarik sama kamu".
" Aku takut kalau kamu juga menghindar dariku jika kamu tahu aku menyukaimu".
Akhirnya kudengar juga kalimat pernyataan perasaan yang sebenarnya Bian rasakan padaku, memang sejak dulu aku sengaja mengalihkan pembicaraan tiap kali Bian berusaha menyatakan perasaan cintanya padaku.
Aku tetap diam tak menanggapi ucapan Bian, aku sebenarnya bingung mau memulai dari mana, aku memang berniat mengatakan yang sejujurnya tentang keadaanku kepada Bian.
Bian orang baik, dia tidak pantas dibohongi, bagaimanapun dia harus tahu seperti apa keadaanku yang sebenarnya, tapi aku merasa takut sekaligus malu untuk mengungkapkan semuanya pada Bian.
" Kenapa kamu malah diam Ra..?, apa kamu tidak merasakan hal yang sama?, atau ada laki-laki lain yang kamu suka?".
Aku langsung menggelengkan kepalaku. " Bukan begitu Bi, kamu itu orang baik, sangat baik malahan..., seharusnya kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku yang banyak sekali kekurangan ini".
Akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu yang benar dari mulutku ini.
" Apa maksud kamu bicara begitu Ra?, aku tidak melihat kekurangan apapun dari diri kamu, kamu juga gadis yang baik, dari jaman masih SMP aku sudah mengenalmu, dan dari dulu sampai sekarang, aku tahu kamu gadis yang baik, dan sangat cantik".
Aku menghembuskan nafas panjang. " Ada banyak sekali cerita tentangku yang belum kamu tahu Bi... seandainya kamu tahu keadaanku yang sebenarnya, mungkin kamu akan segera pergi dari sini dan tidak akan lagi sudi menyukaiku", jawabku.
Bian menatapku lekat, " Maukah kamu ceritakan semua cerita tentangmu yang belum aku ketahui itu?, biar aku yang memutuskan setelah mendengar cerita darimu, apa benar kamu tidak layak untukku, atau kamu justru sangat layak untuk bersamaku".
Bian memang pandai merangkai kata, dan obrolan kami terjeda saat ku dengar suara motor papa yang berhenti di depan rumah.
Ku dengar papa mengucapkan salam dan masuk kedalam rumah.
" Eh, sedang ada tamu toh, maaf bapak nggak tahu, soalnya nggak ada motor di depan, apa mobil yang dijalan besar itu milik nak Bian?", tanya papa.
Ku lihat Bian mengangguk, " Betul pak, tadi soalnya mampir kesini langsung dari restoran. Tapi maaf, ini sudah mau pamitan, sudah sore, takut waktu Maghrib masih dijalan, jadi Bian pamit dulu", ucap Bian sopan pada papaku.
Mama juga keluar dan ikut di pamiti oleh Bian.
" Besok di restoran, kita lanjutkan obrolan yang belum selesai tadi. Aku harus tahu semua cerita tentang kamu, sepanjang apapun cerita kamu, pasti akan aku dengarkan, aku tunggu kehadiran kamu di restoran besok".
Itu yang Bian ucapkan saat aku mengantarkan nya pulang, dan kami hanya tinggal berdua di teras rumahku. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Bian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments