Aku terus mendengarkan percakapan mama dan papa yang terdengar sudah mulai bisa menerima keadaan ku, kebencian dan rasa marah yang kemarin-kemarin masih sangat terasa, malam ini sepertinya semuanya sudah mereda.
Saat mataku mulai terasa mengantuk, dan hendak terpejam, ku dengar suara ketukan dari jendela kamarku terdengar, sebenarnya siapa yang malam-malam begini iseng mengganggu istirahat ku. Ku buka sedikit tirai jendela kamarku dan ku intip keluar, tak ada apa-apa. Aku jadi merasa takut sendiri, jelas-jelas tadi ada yang mengetuk jendela kamarku.
Akhirnya ku tutup lagi tirai nya dan ku matikan lampu kamarku agar aku tidak terlihat dari luar. Khawatir ada orang iseng yang mengintip dari luar.
Pagi-pagi sekali aku terbangun dari tidur dan ku dengar suara kompor yang menyala. Mama memang selalu masak pagi-pagi sekali, agar saat berangkat kerja sudah ada makanan untuk aku dan adikku yang berada di rumah.
Mulai pagi ini aku diperbolehkan mama untuk keluar rumah, sekedar jalan-jalan di bebatuan halaman rumah menyambut matahari pagi. Karena semalam itulah yang disarankan dokter kandungan saat melihat kakiku yang sedikit membengkak.
Namun sebelum keluar biasanya mama akan memakaikan jaket longgar agar perut buncit ku tidak kelihatan.
Aku pun keluar rumah dan bolak-balik berjalan-jalan di bebatuan kerikil tanpa alas kaki seperti saran sang dokter. Ku lihat ada sesuatu yang janggal di depan jendela kamarku, ada satu pot tanaman yang terguling , sepertinya semalam memang ada seseorang yang berusaha mengintip ku dari luar jendela. Setelah mengetahui hal itu aku jadi berpikir harus lebih hati-hati dan waspada, jangan-jangan ada orang jahat yang sedang memata-matai aku.
Karena melihat hal itu aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengatakan semuanya pada mama dan papa yang sedang bekerja sama mencuci baju. Dulu memang biasanya aku yang membantu mama mencuci, namun sekarang papaku yang membantu mama, semenjak perutku semakin buncit dan susah untuk berjongkok.
" Kalau benar ada yang diam-diam mengintip mu, mulai saat ini sebaiknya kamu lebih berhati-hati, jangan sampai ada yang tahu tentang perutmu yang membesar".
" Banyak-banyak istirahat di rumah saja, nggak usah keluar-keluar rumah, mama nggak mau rencana kita berantakan".
Ucapan mama benar, dan aku harus lebih hati-hati lagi mulai saat ini.
Mama dan papa berangkat bekerja seperti biasanya, aku lagi-lagi sendirian di rumah, di temani televisi yang aku nyalakan terus menerus meski tak ku tonton acaranya.
Setidaknya aku tidak merasa kesepian jika ada suara dari televisi. Sekitar jam 9 ku dengar pintu rumah yang diketuk, sepertinya ada tamu, siapa gerangan orang yang bertamu pagi-pagi begini?.
Rumahku memang termasuk yang jarang ada tamu datang di pagi atau siang hari, karena biasanya mereka tahu rumah pasti sepi, karena pemilik rumah sedang bekerja.
Aku intip siapa yang datang melalui jendela, ku lihat Yoga sedang berdiri di depan pintu rumahku, masih mengenakan seragam sekolah, dan juga jaket kulit berwarna hitam yang biasa di pakainya.
Untuk apa dia datang kesini pagi-pagi begini?, apa dia tidak berangkat sekolah?, mana papa dan mama lagi nggak ada di rumah, aku bukakan pintu atau aku biarkan saja dia berdiri di depan sampai dia pulang sendiri. Toh aku tidak mengundangnya datang, bahkan mama dan papa melarang ku bertemu lagi dengannya. Dan aku juga malas untuk bertemu dengannya.
Ku biarkan saja Yoga terus mengetuk-ngetuk pintu rumahku, aku justru mengunci semua pintu dan jendela rumahku agar Yoga tidak bisa masuk ke dalam.
" Raya... Ra... aku mau ngomong sama kamu Ra...., aku mohon keluar sebentar, biarkan aku ketemu sama kamu sebentar saja !".
Ku dengar suara Yoga berteriak memanggil- manggilku dari teras rumah. Sengaja ku keraskan volume televisi agar aku tidak mendengar suaranya. Tapi sayangnya Yoga seolah pantang menyerah. Dia terus menggedor pintu rumahku dan terus berteriak memanggil- manggil namaku.
Sebenarnya aku khawatir justru tetangga rumahku yang akan keluar karena suara teriakan Yoga yang cukup keras sejak tadi tak berhenti-henti.
" Kalau kamu nggak mau keluar, maka dengarkan aku ngomong Ra..., aku nggak akan maksa kamu keluar rumah, tapi tolong dengarkan apa yang aku sampaikan!".
Yoga masih saja berteriak, akhirnya ku matikan televisi dan aku menuju ruang tamu, aku pun berdiri di balik pintu rumah.
" Apa kamu sudah di sana Ra ?, jadi kamu nggak mau keluar dan menemui ku lagi?, pasti kamu sangat sangat membenciku sekarang".
Ku dengar Yoga mulai berbicara dengan nada normal, seolah sedang bercakap-cakap saling berhadapan, meski sebenarnya kami tidak saling melihat karena terhalang pintu rumah.
" Raya, aku minta maaf, aku tahu kamu kecewa karena sikapku yang pengecut, tapi perlu kamu tahu, aku masih mencintaimu, aku akan tetap mencintaimu meski sekarang kamu membenciku Ra...!".
" Tapi maaf, aku tidak bisa menuruti keinginanmu untuk menikah saat ini, aku masih butuh orang tuaku, tapi aku janji sama kamu, kelak saat aku sudah sukses dengan kemampuanku sendiri, aku pasti akan datang lagi mencarimu".
" Terimakasih karena sudah mempertahankan anak kita, suatu hari nanti aku pasti akan kembali, dan kita akan kembali bersatu Ra...".
Aku bisa mendengar suara Yoga yang bercampur dengan isak tangisnya. Entahlah apa yang aku rasakan saat ini, aku sudah terlanjur kecewa dengan Yoga, dan semua ucapannya sudah tidak ada yang bisa aku percaya, sekali dia berbohong, maka aku sudah tidak bisa mempercayai ucapannya lagi.
Hatiku terasa sangat sakit saat Yoga kembali mengatakan janji-janji manisnya. Apa yang dia katakan?, masih mencintaiku?. Apa seperti ini cara nya mencintaiku?. Dengan membiarkan aku dan keluargaku menanggung semuanya sendiri. Sedangkan dia... dan keluarganya, justru angkat tangan, dan bahkan menginjak- injak harga diri keluargaku.
Seenaknya saja mengatakan anak kita, janin dalam perutku ini adalah anakku. Hanya anakku, karena hanya aku dan keluargaku saja yang menginginkan kehadirannya.
" Pergi kamu dari sini, sebelum aku telepon papa untuk mengusir mu !, aku sudah tidak lagi mencintaimu, saat ini justru aku sangat membencimu dan semua keluargamu yang jahat itu!".
" Dan jangan pernah menyebut anak ini anak kita, karena dia hanya anakku !. Kamu dan keluargamu tidak menginginkannya, bahkan memintaku untuk menggugurkannya. Itu sama saja kalian menyuruhku membunuhnya!. Karena itu, anggap saja bayi ini sudah mati seperti keinginan kalian, dan jangan pernah lagi datang ke rumah ini, karena aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi !, kamu jahat !".
Aku sudah tidak bisa menahan tangis yang sejak tadi ku tahan, ku tinggalkan Yoga yang masih berdiri di depan pintu rumah ke dalam kamar. Dan ku tumpahkan air mata yang sejak tadi sudah ku tahan.
" Sebesar apapun kamu membenciku, suatu saat nanti aku akan datang lagi dan membuatmu kembali jatuh cinta kepadaku Raya. Karena aku sangat-sangat mencintaimu, aku pasti akan datang lagi !".
" Dan jika pada saat aku kembali ternyata kamu sudah bersama orang lain, maka akan aku pastikan, agar kamu kembali ke pelukanku, karena kamu hanya milikku Ra, sekarang dan untuk selamanya!".
Meski sudah ku tinggalkan, ternyata Yoga masih terus berteriak-teriak di teras rumahku. Beruntung tiba-tiba papaku pulang, dan menyuruhnya untuk pergi.
Ku dengar Yoga terus meminta maaf pada papaku, dan mengatakan semua hal yang dikatakannya padaku tadi kepada papa. Tapi sayangnya sepertinya papa sama sepertiku, yang sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata manis Yoga. Kami sudah terlanjur kecewa dan benci dengan Yoga dan keluarganya.
Yoga pun akhirnya pamit pergi karena papa mengancam akan menghubungi orang tua Yoga, dan memberi tahu mereka jika putranya masih tetap datang ke rumah kami meski sudah di larang.
Bisa ku dengar suara motor Yoga yang menjauh dari rumahku. Papa mengetuk pintu menyuruhku membuka kunci rumah, dan aku pun keluar dari kamar dan membukakan pintu untuk Papa.
" Kamu menangis?".
Itu pertanyaan pertama yang papa sampaikan saat melihat wajahku yang masih lembab, dan mataku yang sedikit lebam.
" Apa yang dikatakan Yoga sama kamu?".
Aku hanya menggelengkan kepalaku, " Tidak apa-apa Pa, dia mengatakan semua yang dikatakan nya sama papa tadi, sama".
Papa menghembuskan nafas panjang dan menepuk-nepuk punggung ku.
" Kamu yang sabar ya Ra... nggak usah dengerin lagi rayuan gombal nya. Sekali sudah berbohong maka kita tidak perlu lagi percaya dengan kata-katanya".
Aku langsung mengangguk paham dengan apa yang di ucapkan Papa.
" Raya mau tidur siang dulu Pa, Raya sudah sangat ngantuk, harus di pejamkan sebentar biar nggak pusing", ucapku pada Papa yang baru pulang kerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Teteh Lia
semakin seru Kaka... makasih udah double up hari ini .🙏😘
2022-05-11
2