Aku langsung mundur dari posisiku sebelumnya, dan ku tutup pintu seketika, namun tangan Yoga menahan pintu yang hendak aku tutup.
" Ra... please jangan begini, biarkan aku ngomong sebentar saja, Ra..... Aku mau minta maaf Ra, tadi siang aku datang, tapi mama mu justru mengusirku. Padahal aku datang kesini dengan niat baik, aku mau minta maaf Ra...!", seru Yoga masih menahan pintu agar tidak tertutup.
Mama yang baru keluar dari dalam rumah melihatku berusaha menutup pintu, mama seperti langsung paham dengan situasi yang sedang terjadi saat ini.
" Pergi kamu dari rumah ini, cukup sekali saja kamu menghancurkan hidup putriku, jangan kamu kembali kesini, kami sudah bahagia tanpa kehadiranmu selama ini, jadi pergi kamu dari sini !", teriak mama yang membantuku menutup pintu rumah.
Akhirnya Yoga mengalah dan melepas tangannya yang sedari tadi menahan pintu rumahku.
" Kalau memang kamu perduli pada Raya dan cucuku, tolong sekarang kamu pergi dari sini, jangan ganggu lagi kehidupan kami, kalau kamu tidak mau pergi aku akan teriak minta tolong tetangga untuk mengusir kamu!", lagi-lagi mama berteriak histeris.
Sekarang aku baru tahu kenapa saat aku baru pulang kerja tadi kulihat mata mama yang sembab, dan mama sampai berbohong jika dirinya sedang sakit kepala.
Ternyata tadi siang Yoga sudah datang kerumah mencariku dan Shaka, tapi mama tidak mengatakan dengan jujur padaku. Mama tidak memberi tahuku jika Yoga sudah datang siang tadi.
" Aku tidak bermaksud mengganggu kehidupan ibu dan Raya, aku hanya ingin melihat anakku, sudah sebesar apakah dia?, apa dia mirip denganku?, jadi tolong ijinkan aku menemuinya barang sebentar saja, aku mohon Ra...".
Suara Yoga masih terdengar jelas berada di depan pintu, aku takut dia akan bertemu dengan Shaka, dan aku tidak rela jika sampai hal itu terjadi.
" Anak kamu sudah aku titipkan di panti asuhan, dan dia tidak ada disini, kalau kamu mau bertemu dengannya sebaiknya kamu temui dia di panti asuhan Muara Kasih di kota sebelah!", teriakku terpaksa berbohong, jika aku menitipkan anakku di panti asuhan. Aku harus membuat Yoga segera pergi dari sini, sebelum Bian datang.
" Kamu serius Ra...?, siapa nama anak kita?".
' Anak kita', katanya, pertanyaan Yoga membuat hatiku sangat perih, seolah tersayat sembilu, setelah sekian lamanya dia masih mengakui kalau dia adalah ayahnya Shaka. Ayah macam apa yang meninggalkan anak beserta ibunya yang saat itu sangat butuh dukungan dan pendampingan. Justru dia menghilang bagai asap rokok yang mengepul di udara. Lenyap tak bersisa. Hanya menyisakan sakit bagi yang menghirupnya.
" Kamu cari tahu sendiri siapa namanya, aku meninggalkannya begitu saja di depan panti asuhan, tanya saja bayi yang mereka temukan 12 tahun yang lalu, kamu pasti akan mendapatkan jawabannya!", teriakku kembali berbohong.
Mama langsung membuka pintu dan mendongakkan kepalanya menatap Yoga, sedangkan aku masih berada di balik pintu.
" Cepat pergi, atau aku panggil tetangga untuk mengusir kamu!", ku lihat mama mendorong tubuh tinggi kekar yang masih berdiri tegak di depan pintu. Meski aku tahu Yoga tidak bergeser sedikitpun. Yoga sekarang sudah menjadi laki-laki dewasa yang kuat dan berbadan kekar, sepertinya hidupnya selama ini sangat makmur, hingga pertumbuhannya begitu pesat. Postur tubuh yang mirip dengan ayahnya yang seorang tentara.
" Baiklah ibu, aku akan pergi dari sini, tapi aku tidak bisa berjanji kalau aku tidak akan kembali lagi".
Kulihat dari celah tirai, Yoga pergi dari teras rumah dan menaiki motor ninja warna merahnya dan pergi dari pelataran rumah ku.
" Jangan panggil aku ibu, karena aku tidak sudi menjadi ibumu !", teriak mama saat Yoga melajukan motornya.
Ku peluk mama agar dia sedikit lebih tenang, aku bisa melihat mama yang sangat marah dan emosi, jika bisa digambarkan ada kilatan api di matanya.
" Sudah ma, dia sudah pergi, mama yang tenang ya..., kenapa mama nggak bilang kalau dia datang ke sini siang tadi?", tanyaku sambil merangkul mama mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Mama masih mengatur nafasnya yang memburu, aku bisa mengerti jika mama masih berusaha menetralkan emosinya.
" Mama kira dia tidak akan datang lagi kesini, mama sudah mengusirnya tadi siang. Tapi dia tidak kapok juga, dasar anak kurang ajar, tidak tahu diri, enak saja mengatakan mencari anaknya, mana ada bapak yang meninggalkan anaknya saat masih dalam kandungan, dasar sontoloyo!".
Ternyata Mama masih saja berbicara kasar, karena kemarahannya belum reda.
" Assalamualaikum..!".
Ku dengar suara Papa dan Shaka sudah kembali dari masjid.
" Ma, sudah ya, jangan sampai Shaka curiga melihat ekspresi mama begini", pintaku memohon pada mama.
" Mama ke kamar saja, mama takut emosi mama masih meluap-luap, bilang mama capek dan mau istirahat lebih awal".
Tanpa menoleh ke arahku saat bicara, mama langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya.
" Wa'alaikum salam", jawabku saat Shaka dan Papa masuk kedalam rumah.
" Widih... ganti baju...pasti mau ada tamu nih malam mingguan, jangan bilang tamunya adalah orang yang sama dengan yang tadi sore nganter kak Raya pulang?".
Tebakan Shaka memang sangat tepat, dia memang anak yang cerdas, dan juga nyebelin, seperti ayahnya. Ups.... apa yang aku pikirkan, kenapa justru aku jadi keinget sama tamu tak diundang yang baru saja membuat darah tinggi mama naik.
Kembali terdengar salam dari depan pintu. Dan ku harap kali ini benar-benar Bian yang datang, bukan Yoga lagi.
" Tuh kan bener Pa, Kak Raya ada yang ngapelin, cie...cie...".
Aku langsung membungkam mulut Shaka, " Jangan berisik, dan jangan bikin malu, ngerti?, kalau Shaka nurut, besok kak Raya kasih uang jajan lebih", bujuk ku pada Shaka.
" Oke deal, janji kelingking", ucap Shaka sambil menyodorkan jari kelingkingnya padaku.
Kami berdua pun saling mengaitkan jari kelingking di tambah cap jempol.
" Biar Shaka bukain pintunya, soalnya Shaka sekalian mau bilang makasih buat milk shake yang dikasih kemarin".
Shaka berlari ke pintu dan membukakan pintunya sambil menjawab salam.
" Kak Raya nya ada Ka?".
Ku dengar suara Bian, syukurlah yang datang Bian, bukan laki-laki menyebalkan tadi.
" Ada Kak... masuk dulu Kak Bian, kak Raya nya lagi di dalam".
Ku dengar Shaka mengajak Bian masuk, dan mengajaknya ngobrol sebentar, mengucapkan terimakasih pada Bian untuk semua traktirannya kemarin.
" Ini kakak bingung Shaka lebih suka rasa apa, jadi kakak belinya yang isi coklat, keju dan kacang", Bian menyerahkan kantong plastik berisi martabak manis yang masih hangat.
" Makasih kak Bian, biar Shaka ambil piring buat tempat martabaknya".
Aku keluar sambil membawa kopi untuk Bian.
" Pakai repot-repot segala bawa jajan, kalau mau main, main saja nggak usah repot-repot begini".
Pantas saja Bian datang agak lama, ternyata dia mampir ke tukang martabak dan membeli martabak terlebih dahulu.
Tapi ada benarnya juga, Bian jadi tidak bertemu dengan Yoga, jika tadi Bian langsung kesini, pasti Bian akan bertemu dengan Yoga, dan mereka kan saling mengenal, apa yang harus aku jelaskan pada Bian jika Bian bertanya tentang Yoga.
" Loh ada tamu, sengaja main kesini apa dari mana nih nak Bian?", papa keluar dan berbasa-basi terlebih dahulu pada Bian.
" Sengaja dari rumah, maaf kalau malam-malam begini bertamu dan jadi ganggu istirahat semuanya".
Shaka keluar membawa piring kosong dan menaruh martabak di piring.
" Nggak papa, masih belum malam banget, ini bapak dan Shaka saja baru pulang dari masjid, kalau malam minggu biasanya ada kultum sebentar habis sholat Isa, makanya pulang ke rumahnya juga agak telat tadi".
Bian mengangguk-angguk paham.
" Silahkan dinikmati kopinya, bapak mau istirahat dulu di dalam, rasanya capek tadi pulang sampai maghrib", ucap bapak sambil masuk kedalam rumah meninggalkan kami bertiga di ruang tamu.
" Kak Bian, Shaka juga mau main di depan sebentar, sudah ditunggu sama teman-teman, maaf ya Shaka tinggal dulu".
Shaka keluar dari ruang tamu, karena teman-temannya sudah menunggu di depan.
Kini hanya tinggal aku dan Bian berdua di ruang tamu.
" Ibu kemana?, kok nggak kelihatan?", tanya Bian saat menyadari sejak tadi tidak melihat keberadaan mama.
" Mama lagi kurang enak badan, sejak aku pulang kerja tadi sore, mama bilang tadi pusing, tapi katanya sudah minum obat dan sudah mendingan, hanya saja masih ingin istirahat, dan sengaja tidur lebih awal hari ini", jawabku mencoba menjelaskan.
Bian mengangguk, " kamu, cantik banget malam ini Ra..., apa kamu sengaja pakai make up karena tahu aku mau kesini?".
Ternyata Bian bisa menyadari jika aku mengoleskan bedak dan lipstik tipis, padahal aku hanya memakai make up sangat tipis.
" Kelihatan ya kalau aku pakai make up?", tanyaku merasa malu.
" Kamu itu nggak pakai make up saja sudah cantik, sekarang kamu sengaja ber makeup karena aku datang, kamu jadi makin cantik. Makasih ya".
Bian menatapku dengan mata berbinar dan penuh cinta, tatapannya begitu dalam membuatku jadi salah tingkah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments